Jalaluddin Rakhmat, Foto : Dok. Ijabi |
KULIAHALISLAM.COM – Jalaluddin Rakhmat lahir di Bandung pada 29 Agustus
1949 dan wafat Februari 2021 akibat Virus Corona. Ia adalah sarjana ilmu
komunikasi lulusan Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan Master of Science dari
IOWA State University.
Jalaluddin
Rakhmat menyatakan sekali setiap tahun, jauh di suatu tempat di padang pasir
Arabia, sekelompok umat Islam berdesak-desak melempar jumrah di Mina. Ratusan
ribu manusia, dengan pakaian yang sudah lusuh, dengan rambut yang penuh debu,
dengan keringat yang membasahi tubuh, berkumpul di sebuah tempat yang kecil.
Iringi-iringan manusia ini bergerak sejak Jumratul Ula, Jumratul Wustha sampai
Jumratul Aqabah.
Kelihatan jutaan tangan terangkat
dan batu-batu kecil berhamburan, sementara angkasa Mina bergemuruh dengan suara
takbir. Dalam lautan manusia yang begitu dahsyat, tangan-tangan pelempar tampak
begitu kecil, tetapi dalam gerakan serentak, tangan-tangan kecil ini membentuk
konfigurasi kekuatan raksasa yang menabjubkan, suatu kesatuan ummah yang
berpadu dalam akidah dan ibadah.
Tidak jauh dari Mina, terletak
Arafah, suatu padang pasir yang membentang lenggang sepi dan tanpa warna,
selain bukit-bukit batu yang muncul di sana-sini. Pada 9 Dzulhijah, ketika
mereka berkumpul di sana, Arafah dipenuhi kemah yang beraneka ragam. Hampir
sejuta manusia datang ke situ. Pagi-pagi mereka berkeliaran, sebagian mendaki
Jabal Rahmah mengenang perilaku Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebagian lain berjalan-jalan sekedar
menyaksikan pesona konferensi umat manusia seluruh dunia. Tetapi, ketika
Matahari mulai tergelincir, azan Zuhur dikumandangkan semua manusia
menghentikan semua kegiatannya selain Tahmid, Tahlil dan Takbir.
Mulut-mulut yang
semula berbicara dengan berbagai bahasa, sekarang bergema dengan ucapan yang
sama. Pada saat itulah, menurut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Allah
turun ke langit dunia membanggakan
jamaah Haji dihadapan para Malaikat-Nya :
“Hamba-hamba-Ku, dengan rambut kusut dan penuh debu dari sudut-sudut negeri yang
jauh, tiba di sini mengharapkan surga-Ku. Sekiranya dosamu sebanyak bilangan
pasir, atau sejumlah butiran hujan dan gelembung lautan, Aku akan
mengampuninya. Berangkatlah hai hamba-Ku dengan ampunan-Ku atasmu”.
Inilah wuquf di Arafah, inilah
inagurasi jamaah Haji, inilah saat yang paling mendebarkan dalam seluruh perjalanan
mereka yang suci. Tidak jarang, di segala-segala suara Talbiyah, terdengar
isakan tangis anak manusia yang menyadari dosa-dosanya yang lalu. Begitu
sucinya peristiwa ini, sehingga kalau ada orang yang mati di Arafah, hendaknya
ia dikuburkan dengan kain Ihram yang dipakaianya.
Kelak di hari akhir, ujar Rasulullah
: “ Dia akan dibangkitkan dengan pakaian hajinya, dia akan bangun seraya
mengucapkan Labbaik, allahumma
labbaik agar dikiranya ia masih berada di Arafah”. Suara Talbiyah sudah
bergema sejak tanggal 8 Dzulhijah, ketika rombongan jamaah Haji meninggalkan
Mekkah menuju Arafah.
Sepanjang jalan tidak henti-hentinya berzikir : Labbaik allahumma labbaik. Labbaika la
syarika laka, labbaik. Innal hamda wan-ni’ mata laka wal-mulk, la syarika laka
(Kami datang memenuhi panggilan-Mu, kami datang memenuhi pnggilan-Mu; Ya Allah,
kami datang memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu; sesungguhnya
segala pujian, karunia dan kekuasaan semua kepunyaan-Mu).
Jamaah Haji dari bermacam-macam
bangsa dan bahasa berdzikir dengan bahasa yang sama. Pakaian mereka pakaian
ihram yang sama. Laki-laki semua memakai pakaian putih, tidak berjahit dan
membuka setengah dada. Tidak ada beda raja dengan hamba sahaya, pembesar dengan
rakyat jelata, sarjana dengan orang biasa. Semua sama di hadapan Allah, semua
kecil di depan penguasa alam semesta.
Inti Ajaran Islam
Ibadah Haji sesungguhnya mengungkapkan inti ajaran Islam :
Tauhidul Ibadah dan Tauhidul Ummah, mempersatukan pengabdian dan mempersatukan
ummah. Bayangkan, setiap hari jutaan manusia beribadah dengan cara yang sama
dan membaca bacaan yang sama.
Bahkan gemakan ketika saudara-saudara kita wukuf
di Arafah, kita pun di sini wukuf pula dengan melakukan ibadah puasa. Ketika
mereka menggemakan Takbir di bukit-bukit Mina, di sini kita gemakan takbir yang
sama. Dari kesatuan ibadah ini lahir kesatuan ummah.
Islam bukan saja mengajarkan bahwa
semua manusia sama di hadapan Allah, tetapi Islam juga mengutuk sifat mental
yang melebihkan satu kelompok manusia atas kelompok yang lain. Merasa mempunyai
derajat yang lebih tinggi daripada orang lain karena keturunan, kekuasaan,
pengetahuan dan kecantikan, dikutuk oleh Islam sebagai Takabur.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Akan dihimpun orang-orang yang sewenang-wenang dan takabur di hari kiamat sebagai
butir-butir debu. Mereka akan diinjak-injak oleh manusia, karena sangat hinanya
di sisi Allah”.
Cambuk Keadilan Islam
Setelah Rasulullah sallallahu alaihi
wasallam meninggal dunia, asas persamaan dan keadilan ini dilanjutkan oleh
sahabat-sahabatnya. Suatu hari, seorang rakyat kecil berangkat dari Mesir
menuju Madinah.
Ditempuhnya jarak yang jauh hanya untuk mengadukan haknya
kepada Umar bin Khattab. Ia berkata pada Umar bin Khattab: “Ya Amirul
Mukminin, suatu hari aku bertanding menunggang kuda dengan anak Amr bin Ash,
Gubernur Mesir. Ia memukulku dengan cambuknya sambil menyombongkan diri”.
Umar bin Khattab segera mengirim
surat kepada Gubernur Amr bin Ash. Dimintanya ia dan anaknya datang pada musim
Haji. Setelah selesai Haji, di muka orang banyak, Umar melempar cambuk kepada
rakyat kecil dari Mesir itu dan berkata : Pukulah anak orang yang mulia itu,
sekarang anak orang besar itu harus meraung-raung dalam cambuk keadilan Islam”.
Namun pengadu itu itu hanya berkata : Aku sudah cukup memukul orang yang
memukulku.
Ketika itu Umar bin Khattab berkata
pada Amar bin Ash dengan suatu perkataan yang baru digunakan Eropa pada
Revolusi Perancis dan digunakan oleh Amerika Serikat ketika Declaration of
Independence ditulis :
“Wahai Amr bin Ash, mengapa kau perbudak manusia,
padahal mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka ? Memperbudak manusia
berarti melanggar Tauhidul Ummah yang menjadi batu penyangga ajaran Islam.
Memberbudak manusia berarti mendehumanisasikannya, merendahkan martabatnya,
merampas hak-hak asasinya dan memperlakukannya sebagai robot tanpa pikiran dan
perasaan. Memperbudak manusia berarti memasung kebebasan untuk menyatakan
pendiriannya, menjakankan keyakinannya dan mengejar cita-cita hidupnya”.
Perusak Tauhidul Ummah
Dalam sejarah, paling tidak ada tiga
hal yang sering merusak Tauhidul Ummah yang sering menyebabkan sekelompok
masyarakat memperbudak kelompok lain. Ketiga hal itu adalah keturanan, kekusaan
dan kekayaan. Kebanggan karena keturunan bukan saja telah menimbulkan
feodalisme tetapi juga imperialisme.
Di Amerika, seperti kata Martin
Luther King : “Orang Negro masih dengan sedih dipasung dalam belenggu
segregrasi dan diskriminasi”. Sedangkan di Indonesia, keturunan masih sering
dipergunakan untuk melegitimasi hah-hak istimewa dan menyingkirkan orang-orang
yang tidakan dikehendaki.
Ummat manusia harus menundukan
kepala dan merenungkan kembali sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
: “Tidak ada kelebihan orang kulit putih atas orang kulit hitam kecuali karena
amal saleh”.
Allah mengingatkan kita tentang Firaun yang menyeret ribuan budak
untuk membangun Piramid, kuburan para Raja. Dewasa ini masih banyak kita lihat
Fir’aun kecil yang tertawa gembira di atas penderitaan orang lain.
Firaun-Firaun
kecil yang menggunakan wewenang untuk berbuat sewenang-wenang. Allah berfirman
: Sesungguhnya manusia itu sewenang-wenang bila ia merasa dirinya berkecukupan
(Q.S Al-Alaq 6-7).
Hikmah Kisah Nabi Ibrahim
Alaihisallam
Nabi Ibrahim alaihisallam
mengajarkan kita Tauhidul Ibadah dengan doanya: Sesungguhnyab salatku, hidup
dan matiku kepunyaan Allah Rabbul Alamin. Tidak ada syarikat bagi-Nya dan aku
diperintahkan untuk itu, serta aku termasuk orang yang pertama berserah diri,
(Q.S Al-An’am ayat 162-163).
Untuk melenyapkan perbudakan, kita
memerlukan manusia-manusia yang mencontoh Nabi Ibrahim alaihisallam dan
keluarganya. Dalam Al-Qur’an, Nabi Ibrahim digambarkan sebagai orang yang
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, sehingga perintah apapun ia lakukan,
walaupun harus bertentangan dengan pikiran dan perasannya. Ketika Nabi Ismail
alaihisallam lahir, Alllah menyuruhnya membuang Ummu Ismail dan anaknya di
sebuah lembah gersang.
Tatkala Nabi Ibrahim meninggalkan
mereka dengan semua Ghariba air (wadah air yang terbuat dari kulit). Ummu
Ismail bertanya : Mau kemana engkau Ibrahim ? engkau tinggalkan kami di lembah
yang tiada siapa pun dan apapun ?
Nabi Ibrahim tidak menjawab. Ketika Ummu
Ismail bertanya : Kepada siapa engkau titipkan kami di sini ? Ibrahim menjawab
: kepada Allah. Ummu Ismail menjawab dengan penuh keimanan : Kalau begitu, aku
rela karena Allah.
Ketika Nabi Ibrahim alaihisallam
diperintahkan untuk menyembelih Nabi Ismail alaihisallam, dimintanya pendapat
anaknya, walaupun ia sudah siap melakukannya.
Nabi Ibrahim berkata: “Bagaimana
pendapatmu ?” Nabi Ismail menjawab : lakukan apa yang diperintahkan oleh Allah,
InsyaAllah Allah aku akan berasabar (Q.S As-Shaffat ayat 102). Ini adalah
tauhidul ibadah, hanya menghambakn diri kepada Allah.
Pasrahkan diri sepenuhnya kepada
ketentuan Allah, walaupun pikiran dan perasaan memberikan anjuran yang lain.
Seorang ilmuwan dan profesional yang tauhiduln ibadah ialah bila suatu saat
digoda untuk memanipulasikan data dan angka, maka ingatlah Allah.
Tauhidul
ibadah bagi seorang pemuda yang mulai memilih hidup dengan bimbingan agama, walaupun
kawan-kawannya mengejeknya sebagai Muslim yang fanatik atau kampungan dan harus
banyak kehilangan kesenangan masa mudanya, maka ia bisikan kembali ucapan Ummu
Islmail dan putranya : “Aku ridha dengan ketentuan Allah, Engkau akan
mendapatkan aku, Insya Allah sebagai orang yang berasabar”.
Hanya dengan Tauhidul ibadah semacam
itulah, kita akan berhasil menegakan suatu masyarakat yang lepas dari segala penindasan dan
penjajahan, suatu masyarakat adil dan makmur yang menjadi tujuan pembangunan
Indonesia sekarang ini. Masyarakat yang ditegakan di atas keadilan sosial yang
merata bagi seluruh rakyat Indonesia.