KULIAHALISLAM.COM – Muhammadiyah
‘Aisyiyah melalui Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, MPKU PP Muhammadiyah, dan RSIJ
Cempaka Putih mengadakan kegiatan Seminar dan Lokakarya Nasional (SEMILOKNAS) dengan
mengusung tema Kebijakan dan Peran Serta
Organisasi Kemasyarakatan dalam Mendukung Terciptanya Kesehatan Jiwa Keluarga
Indonesia dalam Mencerahkan Peradaban Bangsa. Kegiatan ini diselenggarakan
secara hybrid di Aula AR Fachrudin
lantai II Gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Prof. DR.
HAMKA (Uhamka) dan platform Zoom Meeting
pada Rabu (3/8).
Sambutan Ketua Panitia Elisa K. Dewi |
Kegiatan
ini merupakan rangkaian acara menjelang Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan
‘Aisyiyah pada 18-20 November 2022. Dalam kegiatan Seminar Nasional ini, turut dihadiri
sejumlah narasumber di antaranya ialah Dr. H. Hamim Ilyas,M.Ag,; Prof. Dr. Ir.
Euis Sunarti, M.Si, Dra. Ely Risman Musa, Psikolog,; dan dr. Era Catur Prasetya, SpKJ. yang
membawakan materi mengenai Kesehatan jiwa dari perspektif pandangan keagamaan
Muhammadiyah, ketahanan keluarga, psikologi dan psikiatri.
Kegiatan
seminar dan lokakarya ini pun diikuti oleh pimpinan, lembaga, majelis di
Aisyiyah dan Muhammadiyah, MKES, MPKU,
serta organisasi otonom baik di tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten, dan
kota serta organisasi kemasyarakatan di tingkat nasional. Kegiatan lokakarya
juga mengikutsertakan aktivis Kesehatan jiwa dan para pakar kebijakan Kesehatan
jiwa.
Kegiatan
ini turut dihadiri oleh Elisa Kurniadewi selaku ketua panitia acara, Hamim
Ilyas selaku narasumber sesi 1, Prof Euis Sunarti selaku narasumber sesi 1, dan
Era Catur Prasetya selaku narasumber sesi 2.
Elisa
Kurniadewi mengungkapkan bahwa penyelenggaraan kegiatan seminar nasional dan
lokakarya ini didukung oleh kepedulian Muhammadiyah bagi tantangan kesehatan
kesehatan jiwa di Indonesia. Riskesdas tahun 2018 menghasilkan prevalensi
gangguan emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas meningkat 1,6 kali
dari 6 persen menjadi 9,8 persen pada tahun 2013 hingga 2018.
“Begitu
pun dalam kurun waktu yang sama, prevalensi gangguan jiwa berat meningkat 4
kali lipat dari 1,7 persen menjadi 7 persen. Bahkan data Aplikasi Keluarga Sehat
tahun 2015 menghasilkan 15,8 persen keluarga mempunyai gangguan jiwa berat. Indonesia masih menghadapi masalah
penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif yang diduga menyebabkan
kerugian ekonomi sebesar 84,6 triliun (77,42 triliun rupiah digunakan untuk
pengobatan pribadi dan 7,2 triliun digunakan untuk biaya sosial),” tuturnya.
Ia menambahkan, tingginya permasalahan
kesehatan jiwa pun relevan dengan tantangan kekerasan domestik. Data berdasarkan
catatan Komnas Perempuan tahun 2019, selama 12 tahun menunjukkan kekerasan
seksual terhadap perempuan meningkat hampir 8 kali lipat. Begitu juga Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa meningkatnya prevalensi
kasus kekerasan anak.
“Kasus yang tercatat pada tahun 2010 hingga
2017 sebanyak adalah 26.954 kasus. Mirisnya dalam kasus kekerasan anak yang
berujung kematian, pelaku terbanyak adalah ibu kandung (44 persen), disusul
oleh ayah dan ibu tiri (22 persen), ayah kandung (18 persen), pengasuh (8
persen), tante dan kerabat lain (8 persen). Begitu pun laporan OECD-PISA 2018
yang dirilis tahun 2019 menunjukkan bahwa 41 persen siswa di Indonesia pernah
mengalami perundungan yang akan berdampak bagi mutu dan kesehatan jiwa bangsa
dalam jangka panjang,” imbuhnya.
Prof Euis Sunarti mengatakan bahwa secara
khusus, Indonesia juga mengalami darurat penyimpangan seksual. Data Kementerian Kesehatan tahun
2012 menduga bahwa ada 1.095.970 LSL (lelaki sama lelaki) di Indonesia padahal
tahun 2009 totalnya hanya 800 ribu jiwa dan kecenderungan ini semakin
bertambah. Menurut Laporan LGBT Nasional Indonesia (2013) jumlah organisasi
LGBT di Indonesia juga terus berkembang.
“Setidaknya
ada 2 jaringan nasional dan 119 organisasi yang didirikan di 28 dari 34 provinsi
di Indonesia. Sebagian besar di antaranya produktif berperan di sektor
kesehatan, media informasi, hiburan dan pelaksanaan kegiatan sosial serta
pendidikan. Meningkatnya jaringan ini pun ditunjukkan dengan gencarnya kampanye
gerakan ini di media. Data Drone Emprit pada bulan September hingga Oktober
2021 menunjukkan bahwa peningkatan pencarian informasi LSL di media sosial semakin
meningkat,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan beragam tantangan
kesehatan jiwa ini tidak bisa tertanggulangi dengan baik lantaran
ketidaksetaraan akses bagi layanan kesehatan jiwa. Laporan Organisasi Kesehatan
Dunia pada tahun 2017 menunjukkan bahwa Indonesia hanya mempunyai 48 RSJ dan
269-unit layanan kesehatan jiwa di RSU. Di sisi lain, tenaga pemberi layanan
Kesehatan jiwa masih terbatas.
“Data
Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa hanya terdapat 600 hingga 800 psikiater di
Indonesia yang di mana per orang harus melayani 300 ribu hingga 400 ribu pasien
yang tersebar secara tidak merata. Begitu juga total tenaga psikologi klinis
yang terjun langsung di sektor kesehatan dan rumah sakit hanya 1.143 orang pada
tahun 2019. Hal ini jauh di bawah standar WHO yaitu per tenaga psikolog atau psikiater
melayani 30 ribu orang,” tambahnya.
Hamim Ilyas menyampaikan bahwa beragam
masalah kesehatan jiwa perlu mendapat perhatian khusus dan harus diselesaikan
oleh berbagai lini dengan program lintas sektor. Muhammadiyah dan Aisyiyah mempunyai
potensi dalam berkontribusi pada layanan kesehatan jiwa dengan kekuatan struktur ddimulai dari Provinsi hingga
kelurahan atau desa, serta ratusan ribu Amal usaha kesehatan Muhammadiyah
‘Aisyiyah (AukesMA).
“Muhammadiyah
mampu melaksanakan banyak hal termasuk di antaranya adalah mengedukasi
masyarakat, membantu peningkatan layanan kesehatan jiwa, melakukan program
promotif, preventif, kuratif ataupun rehabilitatif guna meningkatkan mutu hidup
masyarakat serta ikut serta dalam proses advokasi kebijakan,” katanya.
Rekomendasi
dan program guna merampungkan beragam persoalan kesehatan jiwa bakal dibahas
dalam lokakarya yang dilakukan hari ini. Secara khusus lokakarya membahas tentang
konsep Rumah Sehat Jiwa yang diharapkan bisa menjadi solusi berbagai
permasalahan kesehatan jiwa dengan pendekatan individu, kelompok dan komunitas.
Sebagai solusi yang tidak terpisahkan, penting untuk memperkuat sikap orang tua
dan keluarga dalam mendidik serta mendampingi anak-anaknya supaya tumbuh baik
dan sehat secara fisik, mental, maupun spiritual.