Kuliahalislam. Batil (batal) merupakan suatu pekerjaan yang diperintahkan agama yang dilakukan oleh mukallaf dengan tidak memenuhi rukun atau syarat yang telah ditentukan. Lawan dari batil atau batal adalah, yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan oleh mukallaf dengan memenuhi rukun dan syaratnya.
Sebagai contoh, jika seseorang melakukan salat ternyata dia belum melakukan wudhu, yang menjadi salah satu syarat sahnya salat, maka salat tersebut batal atau tidak sah. Dengan demikian kewajibannya untuk melakukan salat belum gugur. Dia harus mengulang kembali setelah berwudhu.
Menurut bahasa, kata batil atau batal berarti tidak terpakai, tidak berfaedah rusak dan sia-sia. Secara istilah batil berarti terlepas atau gugurnya suatu perbuatan dari ketentuan syariat serta tidak adanya pengaruh perbuatan tersebut dalam memenuhi tuntutan syariat.
Dalam Al-qur’an pemakaian kata batil sering dihadapkan dengan “Yang Benar” (al-Haqq), seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 42 yang berbunyi : ” Dan janganlah kamu campurkan adukkan yang hak dengan yang batil”, Kemudian pada Surah Al-Isra ayat 81.
Ada 26 ayat yang memakai kata batil dengan berbagai kedudukan dan fungsinya dalam kalimat tersebut. Dari ke-26 ayat tersebut terlihat pemakaiannya dalam tiga hal. Pertama, yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak sesuai dengan akidah yang dikehendaki oleh Al-qur’an, seperti surah Al-Baqarah ayat 42.
Kedua, yang diartikan sebagai sesuatu yang sia-sia, sesuai firman Allah dalam surah Al-Imran ayat 191 yang berbunyi : ” Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ” Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia”, pemakaian yang sama juga didapati dalam surah Shad ayat 27.
Ketiga, yang dihubungkan dengan amal perbuatan manusia yang dituntut oleh agama seperti dalam surah al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi : ” Dan Janganlah sebagian kamu makan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil”, dalam hal ini terlihat bahwa kata batil berhubungan dengan hukum perbuatan manusia.
Khudari Bek, penyusun buku Tarikh at-Tasyri (Tahun atau Sejarah Tasyrik) mengatakan bahwa kata batil atau batal dipakai untuk dua pengertian. Pertama, tidak adanya pengaruh amal perbuatan yang tampak bagi orang yang mengerjakannya di dalam kehidupan dunianya.Sebagai contoh, jika dikatakan bahwa ibadah seseorang itu tidak sah atau batal, tidak berarti ibadah yang dikerjakan tersebut menggugurkan kewajiban ibadahnya.
Oleh karena itu ia harus mengulang kembali ibadahnya secara benar. Tidak sahnya ibadah yang dikerjakan tersebut bisa terjadi karena ibadah yang dilakukannya itu tidak sesuai dengan tuntutan agama, seperti meninggalkan salah satu syarat atau rukun ibadah tertentu yang telah ditentukan agama.
Apabila syarat atau rukun yang ditinggalkan itu menyangkut hakikat ibadah itu sendiri, maka ibadahnya dikatakan batil atau tidak sah. Akan tetapi jika yang ditinggalkan itu menyangkut sifat yang berada di luar ibadah, seperti mengerjakan salat dengan sajadah yang dicuri, maka ibadah salatnya tetap sah.
Menurut mayoritas ulama, salat yang dikerjakan tersebut memenuhi rukun dan syaratnya yang dituntut agama. Namun ulama lain menganggap salat yang dikerjakannya dengan sajadah hasil curiannya itu hukumnya tidak sah atau batil karena salat yang dikerjakan itu telah menempatkan sesuatu yang menyalahi tuntutan agama.
Secara panjang lebar permasalahan ini dibahas oleh para ahli Ushul fiqih dalam Bab an-Nahy (Larangan). Kedua, tidak adanya pengaruh yang timbul dari perbuatan tersebut bagi diri orang yang mengerjakannya untuk kehidupan di akhirat. Artinya, dia tidak mendapatkan pahala di akhirat.
Ada istilah lain yang dikemukakan oleh para ulama dalam pembahasan an-Nahy tersebut yaitu Fasid (rusak). Menurut mayoritas ulama tidak ada perbedaan antara batil dan fasid bagi perbuatan mukallaf baik yang menyangkut bidang ibadah maupun bidang muamalah. Dengan kata lain, batil tersebut identik dengan fasid dan sebaliknya.
Misalnya, dalam bidang ibadah pengertian salat itu batil sama dengan salat itu fasid atau perkawinan yang batil sama dengan perkawinan yang fasid ( dalam artian tidak dapat memberikan kewenangan bagi suami untuk menggauli istrinya).
Demikian juga halnya dalam bidang muamalah. Jika jual beli itu tidak memenuhi rukun dan syarat maka jual beli itu dikatakan batil atau fasid. Artinya, perpindahan hak milik dari penjual kepada pembeli tidak sah.
Bagi mayoritas ulama, setiap perbuatan mukallaf baik yang menyangkut ibadah maupun muamalah hanya mempunyai dua nilai, yaitu sah jika memenuhi rukun dan syaratnya, serta batil atau fasid jika tidak memenuhi rukun dan syarat ( selama perbuatan itu tidak diulang kembali, maka kewajiban memenuhi pekerjaan tersebut dianggap belum terbayar). Dengan demikian tidak ada nilai antara sah dan batil.
Berbeda dengan pendapat mayoritas Ulama di atas, kalangan ulama Hanafiyah menyatakan bahwa persamaan antara batil dan fasid bagi perbuatan mukallaf hanya berlaku dalam bidang ibadah. Untuk bidang muamalah, pengertian batil tidak sama dengan fasid. Suatu perbuatan mukallaf yang dianggap batil berbeda dengan nilainya dengan perbuatan yang sifatnya fasid.
Misalnya, jual beli. Jika suatu transaksi telah memenuhi hukum dan syaratnya, maka transaksi itu sah. Dengan demikian terjadilah perpindahan hak milik.
Jika terdapat cacat dalam esensi transaksi, seperti orang yang melakukan transaksi, sigat (lafal) atau barang yang menjadi objek maka transaksi itu hukumnya batal. Artinya, sebagai akibat hukum dari persetujuan jual beli itu tidak berlaku. Oleh karena itu transaksi harus diulang. Kemudian jika cacat itu hanya menyangkut persoalan di luar esensi hukum transaksi, maka hukumnya fasid.
Menurut ulama Hanafiah, transaksi yang memenuhi rukun dan syarat itu sah, tetapi karena adanya unsur luar yang merusak transaksi itu, maka transaksi itu dinamakan fasid. Bagi mereka jual beli yang dilakukan oleh orang gila dinamakan batal sedangkan jual beli yang harganya belum ditentukan dinamakan fasid.
Demikian halnya juga dalam perkawinan. Perkawinan anak yang belum Mumayis ( dapat membedakan yang baik dan buruk) dinamakan batil, sementara perkawinan dilaksanakan tanpa menghadirkan dua orang saksi dinamakan fasid.
Dengan demikian, perbuatan mukallaf dalam bidang muamalah, menurut Hanafiah terdiri dari tiga kategori yaitu sah, batil dan fasid. Adapun ibadah hanya dua kategori saja yaitu sah dan tidak sah (batil dan fasid). Jika puasa dikatakan batil maka puasa itu juga dikatakan fasid. Artinya, puasa yang batil atau fasid tersebut belum dapat menggugurkan kewajiban puasa. Oleh karenanya puasanya itu wajib dikada.