Kita tahu, bulan Rabi’ul Awwal adalah bulan di mana Kanjeng Nabi Muhammad Saw. di lahirkan. Ibnu Katsir (seorang hafidz, ulama, dan pemikir yang lahir di Busra, Suriah. Karyanya yang terkenal adalah Tafsir al-Qur’an al-Adzhim dan Al-Bidayah wa an-Nihayah) dalam kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah mengutip sejumlah pandangan para ulama yang menjelaskan keragaman pendapat mengenai kapan Nabi Muhammad Saw. di lahirkan.
Ada yang berkata, bahwa Nabi di lahirkan pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal pada tahun Gajah. Tetapi Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Nabi lahir pada hari Jumat tanggal 18 Rabi’ul Awwal. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa Nabi tidak di lahirkan pada bulan Rabi’ul Awwal, melainkan pada bulan Muharram. Tak hanya itu, bahkan ada ulama yang berkata pada bulan Sya’ban, ada yang berkata pada bulan Ramadhan.
Namun demikian, pendapat yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa Nabi di lahirkan pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal pada tahun Gajah. Tentu saja, dengan kelahiran Nabi ini sangat memotivasi umat Islam di seluruh penjuru dunia untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Walaupun, penting dikatakan bahwa perayaan maulid Nabi seperti yang terselenggara di dalam abad ke-20 dan abad ke-21 tidak pernah ditelandankan oleh Nabi sendiri. Tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat, apalagi oleh para tabi’in.
Inisiatif Shalahuddin Al-Ayyubi
Tak banyak yang tahu bahwa orang yang pertama kali menginisiasi perayaan maulid Nabi adalah Shalahuddin Al-Ayyubi, ketika terjadi perang salib dan ketika umat Islam dalam berperang hampir saja dikalahkan oleh pasukan Salib orang-orang Kristen.
Untuk memotivasi pasukan Salib, tidak jarang orang-orang Kristen membakar semangatnya pada perayaan Natal, perayaan hari kelahiran Nabi Isa As. di dalam fase umat Islam, dan Yesus Kristus di dalam bahasa orang Kristen. Sementara itu, umat Islam tidak memiliki tradisi untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Atas dasar ini kemudian, maka datanglah Shalahuddin Al-Ayyubi yang berinisiatif untuk merayakan hari kelahiran Nabi yang berisi puisi dan kisah-kisah peperangan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Adalah bagaimana cara Nabi berperang, bagaimana strategi Nabi sehingga bisa menang di dalam peperangan Badar, meskipun umat Islam juga mengalami kekalahan di perang Uhud.
Puisi dan kisah perang Nabi Muhammad Saw. inilah yang terus memberikan motivasi umat Islam di setiap perjumpaan-perjumpaan untuk tidak surut melawan pasukan Salib yang digelorakan oleh orang Kristen saat itu.
Penting dicatat, bahwa saat masa pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang Dinasti Mamluk, mendirikan Dinasti Ayyubiyah, Mesir, kemudian menghadapi perang Salib. Umat Islam saat itu terpecah belah karena perbedaan kenagaraan, suku dan aliran berbeda.
Jelasnya, Shalahuddin Al-Ayyubi menggelar perayaan maulid Nabi dengan tujuan untuk membangkitkan semangat umat Islam yang telah padam, supaya kembali berjihad dalam membela Islam pada masa perang Salib. Dan, akhirnya terbukti pasukan Islam yang berada di bawah Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil merebut Yerusalem.
Sejak zaman Shalahuddin Al-Ayyubi, ratusan tahun setelah Nabi wafat, periode sahabat, dan tabi’in kemudian dirayakan maulid Nabi, yang semula berisi kisah peperangan Nabi, akan tetapi dalam perkembangannya Imam Al-Bushiri kemudian membuat kumpulan puisi-puisi di dalam Al-Barzanji. Sehingga maulid Nabi di isi dengan pujian-pujian kepada Kanjeng Nabi.
Menariknya, penyakit yang di derita Al-Bushiri menjadi sembuh karena berkah menyusun syair pujian shalawat Burdah kepada Nabi Muhammad Saw. Tak tanggung-tanggung, ketika menulis satu syair, maka kucuran air mata Al-Bushiri seketika jatuh karena rindu kepada Nabi Muhammad Saw.
Di dalam kitab itu ada banyak sekali kutipan puisi-puisi yang indah sebagai bukti kecintaan Al-Bushiri kepada Nabi Muhammad Saw. misalnya:
ﺃﻧﺖ ﺷﻤﺲ ﺃﻧﺖ ﺑﺪﺭ ﺃﻧﺖ ﻧﻮﺭ ﻓﻮﻕ ﻧﻮﺭ
Artinya: “Engkau bagai matahari, engkau bagai bulan purnama, engkau cahaya di atas cahaya.”
Itu sebabnya, kata Al-Bushiri, Nabi Muhammad Saw. mengungguli dari semua para Nabi. Baik di dalam keterciptaannya maupun lainnya. Tak satu pun dari para Nabi yang ketampanannya melebihi Nabi Muhammad Saw. Ketampanan yang dimiliki Nabi Yusuf hanya separuh dari ketampanan Nabi Muhammad Saw.
Bukan hanya bagus secara fisik saja, Nabi Muhammad Saw. juga mengungguli semua Nabi dari segi budi pekertinya. Karena itu, dalam al-Qur’an surah Al-Qalam ayat 4, Allah Swt. berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam: 4).
Rupanya, berkenaan dengan akhlak mulia Nabi, istrinya, Aisyah pernah ditanya oleh Qatadah mengenai gambaran akhlak dari beliau. Aisyah menyebut bahwa akhlak Nabi adalah al-Qur’an. Dalam hal ini, seluruh aspek perilakunya sudah termaktub di dalam al-Qur’an.
Syahdan, kemudian pada abad ke-19 umat Islam mulai disibukkan dengan persengketaan internal umat Islam ada. Ada yang berkata maulid Nabi bid’ah dan sangat bertentangan dengan sunnah, karena itu umat Islam harus menolaknya. Silang sengkarut internal umat Islam inilah yang sebenarnya dan seringkali menghabiskan energi.
Padahal, semestinya selagi maulid Nabi masih di isi dengan pembacaan shalawat, dan isi untuk menegakan syiar Islam, maka seharusnya tidak ada persoalan untuk dipersengketakan oleh umat Islam. Lebih dari itu, kita mengikuti ajaran-ajaran yang telah di bawah oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Benar apa kata Bung Karno, “Bahwa kita merayakan maulid bukan hanya sekedar Muhammadnya, bukan sekedar dia dulu itu Nabi. Tidak. Yang kita rayakan sebenarnya ialah ajaran, konsepsi, agama yang ia berikan kepada ummat. Di beri oleh Tuhan via Malaikat Jibril, kepada Rasul, meneruskan lagi kepada ummat. Itu yang kita rayakan.”
Karena itu, lanjut Bung Karno, “jikalau benar-benar engkau merayakan maulid Muhammad bin Abdullah, jikalau benar-benar engkau merayakan Rasulullah yang punya hari maulid, kerjakanlah apa yang ia perintahkan, kerjakanlah apa agama yang ia bawa, kerjakan sama sekali, agar supaya benar-benar kita bisa berkata kita telah menerima api dari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.” Wallahu a’lam bisshawab.