KULIAHALISLAM.COM – Ketika menekuni kajian pemikiran, prinsip-prinsip setiap golongan dan kajian Keislaman yang berkembang pada saat itu, al-Ghazali belajar bukan untuk mentransfer kembali informasi yang di peroleh. Ia melakukan perenungan, pemikiran, dan pembacaan terhadap referensi, sumber bacaan, dan berbagai teks bukan sekadar untuk menyusun disertasi doktoral seputar sekte, mazhab, dan kajian-kajian tertentu.
Al-Ghazali membaca apapun bukan untuk menafsirkan materi yang dibaca, melainkan untuk membaca, menafsirkan, sekaligus berinovasi. Tafsir sangat berbeda dengan inovasi. Ia menjadi perhatian dan tanggungjawab para intelektual kritikus. Tetapi, tafsir dari perspektif standar adalah tanggungjawab para ilmuwan alam dan sosial revolusioner. Inilah lingkup intelektualitas Imam al-Ghazali. Begitu pula ruang sikap beliau terhadap ilmu agama.
Pemikiran, dalam pandangan al-Ghazali, merupakan komandan perilaku. Sekalipun pernyataan tersebut benar, namun seringkali ditemukan permainan kata-kata di dalamnya justru mengabaikan pemikiran di tengah timbunan kata dan kalimat. Al-Ghazali ingin masuk ke seluruh level manusia. Sebab itulah keterampilan yang dibutuhkan atau yang harus dimilikinya adalah keahlian sebagai seorang pengajar.
Jelas bahwa al-Ghazali sangat gamblang dalam menyampaikan informasi dan pelajaran kepada murid-murid. Jernihnya, pemikiran al-Ghazali dan penolakannya untuk tenggelam dalam kata-kata yang bombastis. Tujuan kreativitas dan hidup al-Ghazali di seluruh fase kehidupannya adalah nalar (al-aql).
Metode al-Ghazali dalam menulis berbeda dengan gaya ulama-ulama penulis lainnya. Jika yang lain melakukan perjalanan ratusan pos hanya untuk mendapatkan kata-kata bersajak, sementara pengelanaan al-Ghazali hanya untuk memuaskan akalnya.Ya, hanya semata untuk akalnya.
Ia tidak meninggalkan suatu pengalaman yang dialami dalam hidupnya kecuali ia tuangkan dalam tulisannya, atau menemukan perumpamaan indah yang diketahui pastilah ia sampaikan. Al-Ghazali sangat mengetahui bahwa, perjalanan hakiki bagi seorang alim adalah perjalanan menyingkap fenomena yang sangat khusus. Bukan semata petualangan-petualangan yang dibacanya dalam buku.
Sangat mungkin kegigihan al-Ghazali memisahkan antara pemikiran dan perilaku, tidak lain karena ia mengharuskan dirinya untuk mengikuti metode rasional. Pedoman ringkasan pengalaman pribadi dan penemuan al-Ghazali dapat dilihat ketika beliau menulis karyanya, Ihya’ Ulumiddin.
Jika Ihya’ Ulumiddin adalah karya terbesar al-Ghazali yang paling berpengaruh dan paling dalam melukiskan inti nalar Islam, rupa-rupanya masih ada kitab lain yang tidak kalah penting dan unggul dibanding Ihya’ Ulumiddin. Kitab tersebut yaitu “al-Munqidz min al-Dhalal”.
Dalam al-Munqidz, al-Ghazali menulis tentang perjalanan hidupnya yang unik, yang meliputi perjalanan spiritual, rasional, dan eksperimentalnya. Tak hanya itu, dalam kitab al-Munqidz juga, al-Ghazali hampir menuangkan seluruh pengakuannya. Termasuk dialog yang terjadi dalam dirinya: antara jiwa, akal, dan nafsunya. Bahkan dalam kitab tersebut, al-Ghazali mengilustrasikan pemisahan ruh dan akalnya sebelum mencapai hakikat kebenaran.
Yang menarik, al-Ghazali tidak pernah beranggapan bahwa, ia memperoleh hidayah sejam untuk berhubungan intim, atau sesaat untuk mengajar membaca, atau sehari untuk mengajarkan suatu pelajaran. Justru, ia mendapat “hidayah” di saat membaca, mengajar, dan juga berlatih, atau di saat berpikir dan merenung. Inilah keimanan teragung.
Karena itu, dalam setiap tulisannya, al-Ghazali seringkali menggunakan berbagai perumpamaan. Demikian ini karena, beliau memahami karakter manusia (dan berdasarkan pengalamannya sebagai guru), ternyata perumpamaan sangat membantu mempermudah pemahaman bagi kebanyakan orang.
Imam al-Ghazali bukan tipikal ilmuwan yang eksklusif dan fanatik. Pemikirannya selalu terbuka terhadap setiap anasir-anasir ilmu, pengetahuan (terlepas dari sumber informasi itu berasal) dan keyakinan yang lurus. Tidak pernah ada sebelum al-Ghazali ilmuwan yang melalui fase pengakuan atau fase kritik dan autokritik, sebagaimana yang pernah dialami beliau.
Ilmu dalam persepsi al-Ghazali adalah laboratorium akidah. Keimanan selalu akan datang setelah melalui proses yang panjang dan kontinu, yang terdiri dari fase bertanya, meneliti, menyelidiki, dan menyingkap menemukan fakta.
Andaikan al-Ghazali tidak bersikap terbuka terhadap seluruh kajian ilmiah, pemikiran, dan keagamaan, dan seandainya beliau tidak bergulat dengan beragam sumber penalaran manusia hingga tuntas, mungkin tidak akan bisa menulis buku Ihya’ Ulumiddin dan al-Munqidz min al-Dhalal. Pengembaraan intelektual inilah yang diperhitungkan sebagai pengukuh ketahanan iman, hingga beliau mencapai derajat hakikat.
Selain kajian keislaman, al-Ghazali juga mempelajari agama Nasrani dan Yahudi. Ia belajar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tidak disangsikan, al-Ghazali tentu memiliki versi terjemah keempat Injil dalam bahasa Arab (Matius, Lukas, Markus, dan Paulus) dan surat-surat Paulus, salah seorang murid terdekat (hawari) Isa bin Maryam As. Indikasi ini tampak dengan jelas dalam Ihya’ Ulumiddin.
Di samping itu, dialog dan perdebatan al-Ghazali dengan dirinya yang landaskan pengetahuan yang komprehensif dan kajian agama-agama, mengantarkan pada satu hipotesa bahwa, keimanan yang dicapainya tersebut adalah keimanan yang bijaksana, berdasar pada pandangan ilmiah, rasional, serta melalui kajian-kajian, penelitian, dan perbandingan.
Berpijak pada fakta-fakta di atas, tidak heran jika al-Ghazali dijuluki “Hujjatul Islam”. Keimanannya bukan warisan dan keturunan, melainkan buah dari usaha, pengalaman, dan pengkajian. Al-Ghazali mengembara sangat lama dalam keraguan, hingga akhirnya mencapai keyakinan. Keimanannya sangat nyata dan kukuh, karena lahir dari keyakinan akal dan hati terhadap kekuatan Islam, motivasi Islam, dan risalah Islam. Wallahu a’lam bisshawab.