Di setiap zaman, agama selalu dipanggil untuk bicara. Kadang sebagai penyelamat, kadang sekadar hiasan di panggung politik. Islam pun tak lepas dari takdir itu. Sejak wahyu pertama turun, ia hadir bukan untuk membekukan manusia pada satu era, melainkan menyalakan api pencarian. Namun, apakah api itu masih menyala, atau hanya tinggal percikan simbol yang dipertontonkan?
Kita hidup di tengah masyarakat yang tampak religius. Masjid tumbuh bak jamur setelah hujan, busana Islami meriah di layar televisi, kajian daring laris ditonton jutaan orang. Di permukaan, seolah-olah Islam sedang berjaya. Tetapi mari bertanya lebih dalam: apakah kemakmuran simbolik ini juga melahirkan keadilan sosial?
Al-Qur’an menegaskan, “Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas manusia…” (QS. Al-Baqarah: 143). Ayat ini tidak berbicara tentang jumlah masjid atau seragam religius, melainkan tentang misi keseimbangan. Umat Islam dituntut menjadi teladan: adil, beradab, dan berani membela kebenaran.
Namun, di tengah maraknya simbol, kita tetap menyaksikan jurang kaya-miskin yang kian lebar, praktik korupsi yang tak berhenti, dan hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Religius di mulut, tetapi rapuh di laku.
Agama yang Diperdagangkan
Fenomena paling vulgar adalah politisasi agama. Setiap musim pemilu, simbol Islam mendadak jadi komoditas. Ayat suci dipetik demi elektabilitas, jargon “umat” disulap menjadi mesin suara. Padahal Nabi Muhammad SAW pernah memperingatkan: “Sesungguhnya kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kepemimpinan itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis itu seolah menguap. Kekuasaan kini lebih mirip panggung perebutan, bukan amanah. Ali Syariati, intelektual Muslim Iran, pernah berujar, “Agama, jika hanya dipakai sebagai alat penguasa, akan kehilangan ruhnya yang membebaskan.” Kita menyaksikan betapa benar kata-kata itu. Agama yang seharusnya mengangkat martabat manusia justru dipakai untuk melanggengkan kekuasaan.
Hasilnya paradoks: wajah masyarakat tampak religius, tetapi institusi publik gagal menegakkan keadilan. Inilah yang oleh banyak pemikir disebut kesalehan simbolik kesalehan yang berhenti di bibir, bukan yang mengubah struktur sosial.
Akal yang Dikekang, Dialog yang Hilang
Krisis lain adalah mandeknya keberanian berpikir. Padahal, Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia untuk menggunakan akal: afala ta’qilun (tidakkah kalian berpikir), afala tatafakkarun (tidakkah kalian merenung), afala yatadabbarun (tidakkah kalian memperhatikan).
Imam Ja’far al-Shadiq bahkan menegaskan, “Allah memberikan dua hujjah kepada manusia: hujjah lahir berupa para nabi, dan hujjah batin berupa akal.” Tetapi hari ini, akal kritis justru sering dicurigai. Pertanyaan dianggap pembangkangan, tafsir baru dicap sesat. Akibatnya, Islam direduksi menjadi paket fatwa kaku, padahal ia lahir sebagai agama dialog dan dinamis.
Gus Dur pernah mengingatkan, “Islam datang bukan untuk membentuk negara Islam, tetapi untuk menghadirkan masyarakat yang berkeadilan.” Kata-kata ini sederhana tetapi menohok: Islam bukan proyek formalisasi, melainkan etika sosial.
Al-Qur’an sendiri berpihak pada kaum tertindas: “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan menjadikan mereka pemimpin serta menjadikan mereka pewaris (bumi).” (QS. Al-Qashash: 5). Maka, tugas utama Islam bukan membesarkan simbol, tetapi mengangkat mereka yang dipinggirkan.
Syed Hossein Nasr, filsuf Muslim kontemporer, menyebut krisis umat Islam kini lebih dalam daripada sekadar politik atau ekonomi. Yang kita hadapi adalah krisis spiritual dan intelektual. Kita kehilangan kemampuan menghadirkan Islam sebagai etika publik sebuah panduan moral bagi tata kehidupan bersama.
Etika publik ini meliputi keberpihakan pada kaum miskin, penghormatan terhadap hak asasi manusia, kesetaraan gender, hingga kepedulian pada lingkungan. Jika Islam hanya berhenti pada jargon politik, ia akan menjadi agama pasar: diperdagangkan sesuai selera penguasa. Tetapi jika Islam dihidupkan sebagai etika, ia akan menjadi energi transformasi yang menantang ketidakadilan global.
Muhammad Iqbal, dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, menulis: “Islam bukanlah sekadar agama, ia adalah sebuah peradaban yang menggerakkan sejarah.” Kata-kata ini seharusnya mengingatkan kita: Islam bukan hanya urusan doa dan syariat pribadi, melainkan sebuah visi peradaban yang menyalakan api perubahan.
Menjaga Ruh Islam
Sejarah Nabi Muhammad SAW memberi pelajaran. Beliau datang di tengah masyarakat Arab yang dilanda ketidakadilan. Perempuan diperlakukan sebagai barang warisan, anak yatim diabaikan, suku saling bermusuhan. Islam hadir bukan sekadar membawa syariat ibadah, tetapi menghadirkan transformasi sosial. Nabi membangun solidaritas lintas suku lewat Piagam Madinah, melindungi kelompok lemah, dan menegakkan martabat manusia.
Itulah ruh Islam: agama yang menggerakkan, bukan membekukan. Tantangan kita hari ini adalah menjaga ruh itu tetap hidup. Islam tidak boleh terkurung dalam simbol atau retorika politik. Ia harus hadir dalam perjuangan nyata: membela buruh yang digilas mesin industri, memperjuangkan hak rakyat yang dirampas korupsi, dan menjaga bumi dari kerakusan kapitalisme.
Jika Islam gagal hadir di ruang-ruang nyata, ia akan direduksi menjadi ritual kaku. Tetapi jika berhasil, Islam akan kembali bersinar sebagai rahmatan lil ‘alamin. Sebagaimana Nabi pernah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad).
Islam di persimpangan ini menuntut keberanian memilih. Apakah kita rela puas dengan kesalehan simbolik yang hanya indah di permukaan, atau berani melangkah menuju kesalehan substantif yang menyalakan keadilan?
Pilihan itu akan menentukan masa depan Islam di dunia modern. Sebab, agama ini hanya akan hidup sepanjang ia mampu memberi jawaban atas persoalan zaman. Dan jawaban itu tidak ada di slogan atau retorika, tetapi di praksis yang membela manusia dan memuliakan kehidupan.

