Narasi bahwa agama adalah penghambat seseorang untuk berpikir bebas dan filsafat adalah racun dari nilai-nilai spiritual telah banyak diutarakan. Baik dari interpretasi kaum agamawan yang konservatif maupun dari pemikir-pemikir materialis ekstrem. Dari ungkapan demikian, setidaknya dapat dipahami bahwa di antara dua hal ini terdapat suatu dinding besar yang memisahkan ini. Tetapi, disini saya akan coba uraikan secara mendalam mengapa ungkapan tersebut bisa ramai dinarasikan terutama dalam kaum agamawan muslim dan kenyataan bahwa pada hakikatnya dua hal ini tidak selalu kontras.
Nilai-nilai Fundamental yang Menjadi Tolak Ukur Perbedaan
Sudah seyogyanya kita bangun argumentasi ini secara historis bahwa agama pada mulanya— sebagaimana yang ditulis oleh Karen Armstrong dalam bukunya “The History Of God”— diciptakan oleh manusia, yang mereka anggap sebagai Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi. Kemudian berlanjutlah era manusia dimana mereka merasa bahwa monoteisme primitif dianggap terlalu semu dan kurang menarik sehingga mereka membuat pagan-pagan yang mereka anggap sakral dan layak untuk dijadikan sesembahan. Begitu pula dengan keyakinan mereka pada dewa-dewa yang bersemayam dan menyatu pada alam sekitar mereka.
Dari awal mula inilah terbentuk sekte-sekte keagamaan dan manusia menciptakan ritual-ritual ibadah tertentu yang mereka yakini akan mendapatkan ketenangan hidup dan kebahagiaan. Doktrin yang dipakai adalah dengan berlandaskan kepercayaan absolut pada ungkapan-ungkapan tersebut. Dengan begini kita dapat mengetahui corak agama secara historis manusia yang mungkin kita sudah bisa melihat titik perbedaannya.
Di sisi lain, sekitar pada abad ke-3 SM, dari sudut Yunani Kuno, terdapat seseorang yang menolak dan mendestruksi nilai-nilai kepercayaan kaum agamawan dengan menghadirkan dialektika logis dan sistem berpikir rasional yang membuat gencar kaum agamawan. Sokrates lahir di tengah-tengah masyarakat Athena yang terdoktrin oleh ekstremisme agama, seperti dari kaum Orphisme dan Bacchuisme. Inilah awal mula filsafat berkembang. Nantinya murid-muridnya seperti Plato dan cucu muridnya Aristoteles membangun filsafat dengan membawa titah rasionalisme dan sistematika berpikir logis. Walaupun pada akhirnya, Sokrates tadi mendapatkan tantangan dari kalangan penguasa karena diduga menyebarkan kesesatan pada pemuda-pemuda Athena sehingga ia dihukum mati dengan dipaksa meminum racun.
Nilai-nilai filsafat yang dipakai secara fundamental adalah rasionalisme dan dialektika logis. Dengan berpikir secara radikal, dan tanpa tendensi apapun, sudah terlihat corak filsafat yang sangat kontras dengan agama. Agama dilandaskan dengan kepercayaan absolut, serta filsafat dilandaskan dengan argumentasi logis yang radikal yang berdasarkan akal tanpa tendensi.
Munculnya Islam dan Tuntutan Untuk Berpikir
Sebelum saya menjelaskan tentang datangnya Islam di jazirah Arab, sudah diketahui bahwa saat itu Imperium Romawi yang banyak dipegang oleh kaum agamawan Katolik sangat resisten terhadap pola pikir yang logis. Doktrin-doktrin eksklusif membuat gereja menjadi otentik dan sangat jumud. Pada kala itu, warisan filsafat Barat yang dibawa oleh nenek moyangnya telah dikalahkan oleh dogma-dogma tersebut.
Di saat yang bersamaan, Islam datang dan dipopulerkan oleh Nabi Muhammad SAW yang dipercaya mendapatkan wahyu otentik dari Tuhan untuk memberikan pencerahan kepada umat manusia—khususnya pada kaum Arab Jahiliyyah yang pada saat itu sangat defisit moral— agar mereka bisa hidup bahagia secara duniawi dan ukhrowi. Uniknya, Islam berbeda dengan doktrin-doktrin agama sebelumnya dimana kepercayaan absolut dipandang sebagai inti dari agama itu sendiri. Wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad ketika sedang berkontemplasi di gua Hira adalah kata Iqra yang berarti membaca.
Para Ulama banyak menafsirkan bahwa kata tersebut dimaknai secara luas, yang berkonotasi pada mengertilah, pahamilah, pikirkanlah, renungilah. Ini berarti bahwa Islam sangat mengedepankan intelektual manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh Sayyid Qutub dalam Tafsirnya Fi Zilal al-Quran bahwa wahyu pertama ini menandai dimulainya revolusi intelektual dalam peradaban manusia di bawah Islam. Beliau menekankan bahwa perintah membaca ini bukan hanya sekadar aktivitas fisik, tetapi adalah upaya untuk membuka mata hati dan pikiran terhadap kebenaran.
Doktrin-doktrin yang dikemukakan Nabi Muhammad SAW ini berlanjut sampai kepada pengikut-pengikut Beliau yang hidup berabad-abad setelah Beliau wafat. Puncaknya pada abad ke-8 M, dimana Islam menjadi pusat peradaban intelektual dunia dimana para ulama dan cendikiawan berbondong-bondong memajukan ilmu-ilmu pengetahuan. Masa-masa ini disebut sebagai Islamic Golden Age (Masa Keemasan Islam). Khalifah disana pada kala itu membuat satu perpustakaan besar yang menjadi pusat literasi-literasi keilmuan yang disebut sebagai Bayt al-Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan. Terma ini juga terinspirasi dari kata filsafat, karena filsafat secara bahasa berasal dari bahasa Yunani Phylos dan Sophia yang berarti Cinta Kebijaksanaan.
Ilmu-ilmu pengetahuan terus berkembang dan dipopulerkan oleh ulama-ulama Muslim. Filsafat, Kedokteran, Alkmia, Fisika, Biologi, Psikologi, Matematika, Astronomi, sampai Ilmu Sosial dan Politik dikemukakan pada masa ini. Penerjemahan buku-buku Yunani kuno—yang konon katanya jika tidak diterjemahkan oleh kaum Muslim pada saat itu, literatur Yunani kuno akan musnah—menyebabkan meleknya umat Muslim terhadap Filsafat dan Ilmu Pengetahuan.
Disini nampaknya kita sudah bisa rasakan bahwa agama tidak berkontradiksi dengan filsafat bahkan agama menjadi acuan untuk mereka menggali lebih dalam tentang teori-teori ciptaan Tuhan ini. Bahkan dalam kitab suci umat Islam, Al-Quran, disebutkan sekitar lebih dari sepertiga dari kandungannya memuji gagasan-gagasan untuk berpikir seperti akal, perenungan, pengkajian, dan perjalanan (mencari ilmu).
Dari sinilah, mulai bermunculan filsuf-filsuf Muslim yang berteori bahwa gagasan Wahyu yakni Agama dan gagasan Akal yakni Filsafat itu bukan dua hal yang dapat dipisah. Al-Kindi, seorang filsuf Muslim yang menerjemahkan karya-karya Yunani kuno berpendapat bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan karena keduanya mencari kebenaran yang sama. Agama menempuh jalan syariat, sedangkan filsafat menempuh jalan dalil akal.
Sederhanya, kita tidak akan pernah mengetahui sesuatu itu benar dari dogma agama kalau tidak kita verifikasi lewat metode-metode filsafat. Al-Bukhari, seorang periwayat Hadist paling otoritatif di kalangan umat Muslim menggunakan metode verifikasi hadist untuk menyatakan Hadist ini benar atau tidak. Rangkaian acuan yang ketat ini menggambarkan bahwa perlunya kita untuk menggunakan metode skeptis untuk mencapai suatu kebenaran. Maka, dari sini kita ketahui bahwa filsafat dan agama tidak dikotomis, tetapi inheren satu sama lain.
Pengharaman Filsafat Rasionalisme Sebagai Corak yang Dikotomis
Pada abad ke-11 M, tradisi filsafat Islam telah banyak berkembang dan mempengaruhi tatanan intelektual umat kala itu. Dengan menyambung tradisi hellenistik inilah, terjadi beberapa pergeseran tentang nilai-nilai aqidah dan ajaran wahyu yang disebabkan oleh pikiran yang terlalu radikal sehingga menyebabkan bergesernya posisi wahyu oleh akal.
Awal mula diguncangkan oleh berita radikalisme ini adalah pendapat dari salah satu ilmuan yang ahli dalam kedokteran dan sains Abu Bakar Zakariya Al-Razi atau dikenal di Barat dengan nama Rhazes. Dia menolak prinsip kenabian, dan beranggapan bahwa cukup dengan akal saja, sebenarnya manusia bisa mencapai tahap kebenaran yang murni, sehingga untuk ukuran seorang Nabi, filsuf lebih diutamakan. Walaupun kebenaran dari ungkapan ini masih diragukan, akan tetapi dari sini corak filsafat yang ektrem mulai terlihat.
Dilanjutkan era setelah itu dengan berkembangnya teori-teori kosmik yang tidak berlandaskan wahyu seperti teori emanasi yang dikemukakan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dengan mengatakan bahwa Allah SWT tidak mungkin menciptakan sesuatu dari ketiadaan (cretatio ex nihilo), pasti ada bahan dasar yang mereka sebut sebagai emanasi atau pancarah Tuhan.
Karena pikiran radikalisme inilah, datang seorang teolog Muslim terkenal yaitu Abu Hamid Al-Ghazali mengubah tatanan filsafat yang beredar. Dengan karyanya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf), beliau mengindikasikan 20 perkara kesesatan mereka (para filsuf peripatetik), dan 3 dari itu terindikasi kekafiran dan 17 sisanya terindikasi sebagai suatu bidah yang sesat. Ketiga perkara yang mengindikasikan itu antara lain pembahasan tentang kekekalan alam semesta, terbatasnya pengetahuan Allah, dan bangkitnya jasad di hari akhir.
Dari sini tampak Al-Ghazali sangat mengkritisi filsafat dengan merekonsturksi gagasan ortodoksi Islam agar kembali pada ajaran yang haq. Baginya, kebenaran yang haq itu datang dari hati yang jernih dari belenggu kesesatan, ia menulis otobiografinya Al-Munqidz min Ad-Dhalal (Pembebasan dari Kesesatan) yang memperlihatkan perjalanan spirtualisnya menuju kebenaran sejati. Namun, Al-Ghazali tidak sepenuhnya menolak akal dan rasio dalam agama. Filsafat harus didekatkan secara kritis, karena baginya, akal penting selama tidak melampaui wahyu.
Tatanan filsafat mulai runtuh saat ia mendeklarasikan pengharaman bagi filsafat. Walaupun setelah itu, Ibnu Rusyd, dari kalangan filsuf peripatetik membantah Al-Ghazali dengan mengatakan bahwa filsafat dan syariat adalah perangkat yang satu kesatuan untuk mencapai kebenaran, karena keduanya berasal dari Allah SWT.
Dalam karya bantahannya Tahafut at-Tahafut (Kerancuan dalam Kerancuan) dia mengemukakan bahwa Al-Ghazali salah paham terhadap pandangan-pandangan terhadap filsuf-filsuf tersebut. Akan tetapi, harmonisasi tidak kembali secara penuh, doktrin-doktrin tentang bahaya filsafat telah banyak beredar, sehingga kebanyakan dari mereka beralih pada tradisi Sufisme yang pada awalnya dikembangkan pula oleh Al-Ghazali.
Harmonisasi Antara Filsafat dan Agama
Saya bisa katakan, pengharaman yang ditetapkan oleh kalangan teolog Sunni seperti Al-Ghazali, Al-Baghdadi, dan Fakhruddin ar-Razi kepada filsafat ini bukan berarti melarang filsafat secara utuh. Mereka melarang ekstremisme dalam penggunaan akal yang menyebabkan kesesatan karena merasa bahwa akal itulah yang menjadi kebenaran universal. Akan tetapi, untuk memahami indeks dari Al-Quran dan Sunnah, memang dibutuhkan kemampuan filsafat yaitu akal.
Islam sebagai suatu agama universal—sebagaimana yang diungkapkan Cak Nur dalam bukunya Tradisi Islam—mendorong umatnya untuk selalu terbuka akan hal-hal baru. Miskonsepsi umat Muslim terhadap filsafat sangat kontras dengan realita pada umumnya. Ketika Nabi Muhammad SAW datang dengan dakwahnya, beliau memperlihatkan islam wadah sosial yang egaliter dan terbuka untuk semua kalangan tanpa membatasi latar belakang apapun.
Islam juga datang dikemukakan Nabi sebagai Rahmatan lil alamin (Rahmat bagi seluruh alam) yang tandanya, umat muslim diberikan kewajiban terhadap satu anugrah besar dari Tuhan yaitu akal. Maka, menurut hemat saya, dikotomi antara filsafat dan agama tidak dibenarkan. Harmonisasi antara keduanya dapat dipadukan karena memiliki tujuan yang sama, yaitu kebenaran yang hakiki.