KULIAHALISLAM.COM – Abdullah Bin Ummi Maktum memang tak terkenal seperti Sayyidina Ali. Akan tetapi, yang perlu di garis bawahi bahwa dalam sejarah Islam, ia dikenal memiliki ilmu dan adab istimewa yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya untuk menggantikan kebutaan matanya. Maksudnya, sebagai cahaya dalam pandangan dan pancaran di hati. Karena itu, tak heran jika ia bisa melihat dengan mata hati, dan apa-apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala orang lain.
Bahkan hatinya dapat mengetahui apa yang tersembunyi. Sekiranya Nabi pergi ke berbagai medan peperangan, maka ia selalu ditunjuk menjadi wakilnya di Madinah untuk mengimami shalat jamaah di mihrab, dan berdiam di sebelah kiri mimbar dengan penuh khusyu’.
Syahdan, tak begitu lama, pada awal sejarah Islam di Mekkah, ia memperoleh hidayah untuk bergabung bersama orang-orang yang telah masuk Islam pada masa permulaan. Ketika itu dia masih muda belia, sehingga hatinya merasakan betul manisnya keimanan.
Semenjak menginjak masa dewasa, ia merasakan bahwa ajaran Islam telah menjadikan hatinya bersih. Sekalipun matanya buta, namun ia tidak mendapatkan hal itu kecuali sebagai nikmat besar yang dikaruniakan oleh Allah kepada dirinya.
Dengan sebab itu, Allah kemudian memberi kemampuan memandang ajaran kebenaran dengan pancaran mata hatinya. Di sinilah, ia dapat dan bisa memahami makna yang hakiki dari firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi hati yang di dalam dada.”
Kemudian, timbul keyakinan di dalam hati Ibnu Ummi Maktum bahwa Allah memberi dia keistimewaan, yaitu keistimewaan yang diberikan juga kepada orang-orang buta seperti dia atas manusia lainnya, bahwa dia akan membalas mereka dengan pahala surga. Yang demikian itu tatkala dia mendengar satu hadist:
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, “Sesungguhrrya Jibil datang kepada Rasulullah Saw, yang ketika itu lbnu Ummi Maktum sedang bersama beliau.” Dia lalu bertanya, “Sejak kapankah pandanganmu buta?” Jawabnya, “Sejak saya kecil.” Kemudian Dia membaca ayat yang artinya: “Jika saya mengambil suatu kemuliaan seorang hamba niscaya saya tidak akan memberi dia pengganti selain pahalanya syurga.”
Tak hanya itu, Ibnu Ummi Maktum ternyata adalah orang yang sangat peka dengan urusan waktu. Setiap menjelang wakru fajar, dengan perasaan jiwa yang segar dia keluar dari rumahnya dengan bertopang pada tongkat atau bersandar pada lengan salah seorang dari kaum Muslimin untuk mengumandangkan adzan di masjid Rasul.
Tiap harinya selalu bergantian adzan dengan Bilal bin Rabah. Jika salah satu dari mereka berdua adzan, maka yang lainnya bertindak mengumandangkan iqamah. Akan tetapi Bilal mengumandangkan adzan semalam untuk membangunkan kaum Muslimin, sedangkan Ibnu Ummi Maktum mengumandangkannya waktu subuh. Dengan sebab ini, Rasulullah pernah bersabda, “Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.”
Allah telah memuliakan Ibnu Ummi Maktum. Ketika Nabi sedang duduk bersama dengan beberapa orang Quraisy, diantara mereka ada Uqbah bin Rabi’ah dan beberapa orang tokoh lainnya. Beliau bersabda, “Tidakkah baik sekiranya kamu datang dengan begini dan begini?”
Kata mereka, “Benar.” Tiba-tiba saja, Ibnu Ummi Maktum datang menanyakan tentang sesuatu kepada beliau dan beliau mengelak karena sangat sibuk berbicara dengan mereka. Akhirnya, Allah Swt menegur Nabi dengan menurunkan surah Abasa ayat 1-10.
Sewaktu ayat ini turun, Rasulullah kemudian memanggil Ibnu Ummi Makrum dan memberi dia suatu kehormatan dengan menunjuknya sebagai wakil beliau di Madinah pada saat beliau menghadapi peperangan untuk yang pertama kalinya.
Karena itu juga, maka Ibnu Ummi Maktum memiliki kedudukan tinggi di kalangan penduduk Madinah. Apalagi dia seorang sahabat yang paling banyak menghafal ayat al-Qur’an, sebagaimana juga banyak hafal hadist-hadist Rasulullah.
Menariknya, meski dalam keadaan tunanetra, Ibnu Ummi Maktum bercita-cita untuk bisa mengikuti jihad di medan peperangan. Dia menyampaikan keinginannya itu kepada sahabat-sahabat Rasulullah. Tentu saja, para sahabat merasa amat senang karena keutamaan yang dimiliki Ibnu Ummi Maktum.
Suatu saat Ibnu Ummi Maktum merasa sangat sedih dan pilu hatinya tatkala turun wahyu kepada Rasulullah yang berbunyi, “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang).” Ibnu Ummi Maktum berkata, “Ya, Tuhanku! Engkau memberiku ujian begini, bagaimana saya dapat berbuat.” Kemudian turunlah ayat berbunyi, “Selain yang mempunyai udzur.”
Penghormatan seperti apakah gerangan yang lebih tinggi dari penghormatan ini, dimana wahyu diturunkan dua kali lantaran persoalan Ibnu Ummi Maktum. Pertama, adalah teguran kepada Nabi; kedua, adalah ketentuan berperang bagi orang yang mampu dan yang berhalangan, termasuk diantaranya adalah Ibnu Ummi Maktum.
Namun demikian, Ibnu Ummi Maktum tetap mempunyai hasrat yang kuat untuk dapat berperang bersama barisan kaum mujahidin. Tak bosannya ia mengutarakan keinginannya hingga berkali-kali.
Bahkan berkata kepada para sahabat, “Serahkanlah panji kepadaku, karena sesungguhnya saya adalah seorang buta sehinga tidak akan dapat melarikan diri. Tempatkanlah saya di antara kedua pasukan.” Iya, begitulah Ibnu Ummi Maktum yang memiliki semangat tinggi. Belum tentu kita yang hidup dalam keadaan normal memiliki semangat jihad sepertinya.
Rupa-rupanya, sebelum berakhir hayat Allah mengabulkan semangat jihadnya. Pada saat perang Qadisiyah, dia sebagai pembawa panji pasukan berwarna hitam. Dan, dialah seorang buta pertama kali yang turut andil berperang dalam sejarah peperangan Islam. Wallahu a’lam bisshawab.