Keislaman

Menemukan Kebahagiaan Hakiki: Sebuah Refleksi Teologis dan Psikologis

2 Mins read

Setiap manusia, tanpa terkecuali, mendambakan kebahagiaan dalam kehidupannya. Kebahagiaan merupakan aspirasi universal yang menjadi cita-cita dalam hampir seluruh laku kehidupan manusia. Namun, dalam kenyataannya, banyak orang salah dalam memahami esensi kebahagiaan itu sendiri.

Ada yang mengidentifikasikan kebahagiaan dengan keberlimpahan materi, ketenaran, atau relasi romantis. Ungkapan populer seperti “Bahagia itu sederhana, cukup bersamamu,” adalah contoh narasi emosional yang menyandarkan kebahagiaan pada keberadaan orang lain. Namun, bagaimana jika kebersamaan itu berakhir? Akankah kebahagiaan itu lenyap bersamaan dengan perpisahan?

Bahagia yang Bersumber dari Dalam Diri

Dalam perspektif spiritual Islam, kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang berasal dari luar, melainkan tumbuh dari dalam diri manusia yang mengenal dirinya dengan baik. Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya Kimyā’ al-Sa‘ādah menekankan bahwa kunci kebahagiaan adalah ma‘rifah al-nafs kemampuan seseorang untuk mengenal dirinya sendiri.

Beliau menyatakan bahwa orang yang mengenal dirinya secara mendalam akan lebih mudah mengenal Tuhannya. Dalam hal ini, beliau mengutip hikmah dari Yahya bin Mu’adz ar-Razi yang berkata:

من عرف نفسه فقد عرف ربه”


Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya.

Dengan demikian, pemahaman terhadap diri menjadi fondasi bagi lahirnya ketenangan batin dan kebahagiaan spiritual. Dalam kondisi apapun baik sakit, miskin, atau menganggur jika seseorang memiliki ketenangan jiwa, maka kebahagiaan tetap dapat dirasakan. Sebaliknya, kekayaan dan kemewahan tidak akan bermakna jika jiwa diliputi kegelisahan.

Kebersihan Jiwa sebagai Sumber Kebahagiaan

Salah satu penghalang kebahagiaan adalah kekotoran jiwa, seperti rasa iri, dengki, dan selalu memandang nikmat orang lain. Jiwa yang selalu membandingkan diri dengan orang lain akan terus merasa kurang dan jauh dari rasa syukur. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. menegaskan pentingnya pensucian jiwa sebagai jalan menuju keberuntungan:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا


“Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya.” (Q.S. Asy-Syams: 9)

Menurut tafsir Al-Misbah, ayat ini menegaskan bahwa keberuntungan sejati adalah milik mereka yang berusaha menyucikan diri dengan ketekunan dalam ibadah dan amal kebajikan. Dalam hal ini, membersihkan jiwa dari penyakit hati adalah fondasi spiritualitas yang kokoh untuk meraih kebahagiaan hakiki.

Dzikir: Jalan Menuju Ketenangan Jiwa

Salah satu sarana utama untuk menenangkan jiwa adalah dengan berdzikir, yakni mengingat Allah dalam setiap waktu. Dzikir bukan hanya ritual verbal, melainkan ekspresi kedekatan hati kepada Tuhan. Allah Swt. berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ


“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra‘d: 28)

Tafsir Al-Muyassar menegaskan bahwa ketenteraman hati adalah buah dari iman dan ingatan kepada Allah. Dalam dunia yang penuh gejolak, dzikir menjadi pelabuhan kedamaian jiwa dan sarana penyubur kebahagiaan yang otentik.

Ciri-Ciri Orang yang Meraih Kebahagiaan

Dalam kerangka etika spiritual, terdapat beberapa indikator kebahagiaan menurut pandangan para ulama, di antaranya:

  1. Selalu Mengingat Kesalahan Diri
    Seorang yang bahagia bukanlah mereka yang merasa sempurna, tetapi yang senantiasa mengingat dosa dan kesalahannya, sehingga ia waspada dan tidak mengulanginya lagi.
  2. Melupakan Kebaikan yang Pernah Dilakukan
    Orang yang bahagia tidak sombong atas amal kebaikan yang telah dilakukan. Ia merasa belum cukup dan terus terdorong untuk berbuat lebih baik.
  3. Melihat ke Bawah dalam Urusan Dunia
    Dalam hal duniawi, ia tidak silau terhadap kelebihan orang lain, tetapi senantiasa bersyukur atas apa yang dimilikinya. Sikap ini menumbuhkan kelapangan jiwa dan kepuasan batin.
  4. Melihat ke Atas dalam Urusan Akhirat
    Dalam perkara ibadah dan amal saleh, ia selalu mencontoh mereka yang lebih baik darinya. Ia termotivasi untuk meningkatkan kualitas ibadah dan spiritualitasnya. Sikap-sikap tersebut mencerminkan kearifan jiwa yang matang dan merupakan fondasi kebahagiaan yang kokoh dalam pandangan Islam.

Penutup

Kebahagiaan yang sejati tidak lahir dari kelimpahan duniawi semata, tetapi dari kejernihan hati, ketenangan jiwa, dan kedekatan dengan Allah Swt. Ia bukan tujuan akhir, melainkan buah dari hidup yang dijalani dengan penuh makna, syukur, dan kesadaran spiritual. Dengan memahami diri, mensucikan jiwa, berdzikir, dan menjaga sikap yang bijak dalam menyikapi dunia dan akhirat, setiap insan dapat menemukan kebahagiaan hakiki yang dijanjikan oleh agama.

Referensi

  1. Al-Ghazali, Kimyā’ al-Sa‘ādah, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
  2. Al-Qur’an al-Karim, Surat Asy-Syams: 9, Ar-Ra‘d: 28.
  3. Tafsir Al-Misbah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab.
  4. Tafsir Al-Muyassar, Kementerian Agama Saudi Arabia.
5 posts

About author
Mahasiswa STAI Syubbanul Wathon Magelang
Articles
Related posts
Keislaman

Membedah Perbedaan Ilmu yang Berkah dan Tidak Berkah

3 Mins read
Di tengah lautan informasi dan kemudahan akses pendidikan, kita menyaksikan sebuah fenomena yang menggelisahkan. Banyak orang yang menyandang gelar akademik tinggi, memiliki…
FilsafatKeislaman

Hakikat Ujian dan Cobaan Bagi Orang beriman

2 Mins read
KULIAHALISLAM.COM-Ujian dan cobaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bagi orang yang beriman, ujian dan cobaan dapat menjadi kesempatan untuk meningkatkan…
Keislaman

Qurais Shihab: Sudah Benarkah Dalam Mencintai Allah SWT?

4 Mins read
Anda tahu bahwa tujuan utama perjalanan menuju Allah SWT adalah untuk semakin mengenalnya. Sering kita mengaku bahwa sudah mencintai Allah SWT dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Berita

IPM Lamongan Rayakan Milad ke-64 dan Tutup Gebyar Fortasi

Verified by MonsterInsights