KULIAHALISLAM.COM- Kewajiban berdakwah amar maruf nahi munkar (menyeru kebaikan, mencegah keburukan) bukan sekadar ritual normatif dalam Islam, melainkan merupakan manifestasi nyata dari iman yang hidup, serta tidak bisa dipisahkan dari dinamika sosial dan spiritualitas pribadi seorang muslim. Seperti ditegaskan oleh Huseyn Hilmi Isik dalam bukunya “Iman dan Islam”, dirinya menjelaskan bahwa iman sejati harus berbuah dalam amal nyata. Iman harus menjadi motor penggerak dakwah dan pembentukan masyarakat Islami yang berkeadaban. Pernyataan ini selaras dengan pandangan Rudhy Suharto yang menganggap dakwah sebagai strategi fundamental untuk menjaga kemurnian ajaran Islam sekaligus menjadi benteng sosial dari penyimpangan moral yang mengancam tatanan masyarakat.
Secara teologis, Syaikh Izzudin bin Abdussalam menekankan bahwa dakwah amar ma’ruf nahi munkar memiliki maqashid, tujuan syari’i yang vital untuk menjaga maslahat umat dan mencegah madharat. Penegakan hukum ini khususnya sangat penting dalam menjaga kesucian ibadah—salat, puasa, haji—yang berdampak langsung pada kehidupan sosial keumatan. Ia menjelaskan, “Penegakan amar ma’ruf nahi munkar adalah langkah preventif yang tak bisa ditawar untuk memastikan kesucian ibadah tetap terjaga dari kemaksiatan”. Dr Abdurrahman Al Baghdadi bahkan memperingatkan bahaya besar apabila amanah ini diabaikan. Menurutnya tanpa dakwah amar ma’ruf nahi munkar, katanya, umat akan terjerumus ke jurang kehancuran moral dan lunturnya nilai agama.
Secara khusus kewajiban ini harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan, berbasis ilmu dan hikmah, agar tidak hanya memperkokoh iman tetapi sekaligus menegakkan keseimbangan dalam masyarakat. Kombinasi antara iman, ilmu, dan amal menjadi landasan epistemologis yang tidak bisa dipisahkan jika ingin melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar secara efektif. Sebagaimana ditegaskan Prof Dr Tisna Amidjaya, “Amal tanpa ilmu bisa membahayakan, ilmu tanpa amal bisa membekukan, dan iman tanpa keduanya menjadi hampa”. Prokem Ini menuntut setiap dai untuk memegang teguh ilmu dan hikmah, agar tindakan amar ma’ruf nahi munkar tidak menjelma jadi aksi ekstrem yang kontraproduktif bagi pembangunan masyarakat Islami.
Jauh sebelumnya, Syaikh Imam Nawawi dalam Kitabnya Al-Adzkar juga menyebutkan bahwa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar memerlukan ilmu, kesungguhan, dan pendekatan yang diterima oleh masyarakat agar hasilnya maksimal, tidak sekadar formalitas yang sia-sia.
Pada konteks era kekinian, tugas mulia ini menghadapi tantangan yang sangat kompleks. Maraknya penyebaran narasi radikalisme bagi orang yang menebarkan syiar dakwah, merosotnya moral generasi muda, sekaligus masifnya penetrasi budaya yang berlawanan dengan nilai Islam, membuat dakwah amar ma’ruf nahi munkar semakin relevan dan dibutuhkan. Kondisi ini juga dihadapkan pada tantangan digitalisasi yang membuka ruang komunikasi secara luas, serta menjadi medan subur bagi penyebaran misinformasi, ujaran kebencian, dan ragam kemaksiatan baru. Misalnya fenomena grup insest,
Dalam situasi demikian, kita pernah diamanahkan oleh Rasulullah SAW melalui sabda-Nya:”Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR:Muslim). Prinsip ini mencerminkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar harus dijalankan sesuai kapasitas dan konteks agar tetap efektif dan tidak menimbulkan dampak negatif.
Para ulama pun berulang kali mengingatkan pentingnya akhlak dan hikmah dalam berdakwah. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan bahwa dakwah tanpa kesabaran dan adab akan gagal memupuk keimanan dan bisa menimbulkan efek sebaliknya: “Alangkah buruknya dakwah tanpa kesabaran dan mengabaikan adab, sebab keimanan tidak bisa bertumbuh dari tekanan dan kekerasan.”
Pada akhirnya kewajiban berdakwah amar ma’ruf nahi munkar adalah misi moral dan sosial fundamental yang menjadi tanggung jawab setiap muslim. Ini bukan hanya perintah agama semata, tetapi juga instrumen yang kuat untuk menguatkan iman sekaligus membangun masyarakat yang lebih beradab dan bermartabat. Secara minimal dakwah ini dijalankan pada diri sendiri melalui muhasabah, guna berdampak pada perubahan-perubahan kecil dalam kehidupan. Dengan demikian, upaya tersebut mampu menjadi benteng penangkal kerusakan sosial dan penjaga kemurnian nilai-nilai Islam di tengah arus perubahan zaman yang semakin dinamis.
Nasrun Minallahi wa fathun Qarib