Penulis: Nabila Shofiamaghfiroh*
KULIAHALISLAM.COM – KH. Abdul Wahab Hasbullah merupakan tokoh pencetus lahirnya Nahdlatul Ulama sekaligus pendiri pondok pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Beliau lahir pada tanggal 31 Maret 1888 di Jombang. Beliau akrab sekali dengan sebutan Mbah Wahab.
Mbah Wahab merupakan putra dari KH. Chasbullah dan Nyai Lathifah. Beliau menikah dengan putri Kyai Musa bernama Maimunah, namun tidak berlangsung lama sebab istrinya meninggal, kemudian menikah lagi dengan Alawiyah putri KH. Alwi Tamim dan di karuniai seorang putri bernama Khadijah. Masih dalam perkawinan dengan Alawiyah mbah Wahab menikah lagi dengan Rahmah putri K. Abd. Sjukur tapi pernikahannya tidak berlangsung lama dan tidak punya anak.
Setelah itu beliau melaksanakan ibadah haji pada tahun 1920 serta menikah dengan Asna binti Said asal Surabaya dan Alhamdulillah memiliki putra bernama Nadjib dan beliau wafat pada tahun 1987.
Kemudian menikah dengan seorang janda bernama Fatimah binti Burhan, mbah Wahab Kembali menikah lagi dengan Fatimah binti Ali dan Askanah binti Muhammad Idris namun dari pernikahan keduanya sama saja tidak memiliki keturunan.
Kemudian Mbah Wahab menikah dengan Masmah dikaruniai putra bernama Moh. Adib. Sepeninggal Masmah beliau menikah lagi dengan Ashilah binti Abdul Majid dan memiliki 2 putri yaitu Djumiyatin dan Muktamaroh, beliau meninggal pada tahun 1939.
Dan yang terakhir beliau menikah dengan Nyai Sa’diyah, dari pernikahan beliau mempunyai lima orang anak yang Bernama Mahfudzah, Hisbiyah, Munjidah, Muhammad Hasib dan Muhammad Rokib. Dan putra putri dari pernikahan terakhir ini yang sekarang melanjutkan kepemimpinan di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.
Meskipun Mbah Wahab memilki banyak istri tapi beliau tidak pernah memiliki istri lebih dari empat pada saat yang bersamaan dan tidak melanggar hukum Islam yang berlaku. Memiliki banyak istri memiliki maksud agar memperkuat tali persaudaraan antara ulama-ulama melalui sebuah pernikahan.
Riwayat Pendidikan
Mbah Wahab sejak beliau kecil berada dalam asuhan pondok pesantren, ayah beliau mengajarkan agama dengan sungguh-sungguh. Setelah dirasa cukup mempelajari tentang dasar-dasar agama beliau kemudian dikirim ke pesantren Langitan di Tuban Jawa Timur di bawah asuhan Kyai Ahmad Sholeh.
Kemudian pada tahun 1901 saat usia 13 tahun beliau melanjutkan pendidikan dibeberapa pesantren guna untuk memperdalami ilmu-ilmu yang khas dari pesantren tersebut seperti Ilmu Alquran dan Hadis, Ilmu Hadis, Bahasa Arab bahkan sampai Tasawuf.
Pendidikan tersebut berlangsung selama 9 tahun dengan tujuh pondok pesantren yaitu: (1) Pesantren Langitan Tuban di bawah asuhan Kyai Ahmad Sholeh. (2) Pesantren Mojosari Nganjuk dalam asuhan Kyai Sholeh dan menantunya Kyai Zainuddin, dari beliau Mbah Wahab belajar fikih dari kitab Fathul Mu’in yang mendalam.
Ke (3) Pesantren Cempaka tapi tidak berlangsung lama sebab tidak ada kyai yang pengetahuaan nya lebih tinggi dari kyai sebelumnya. (4) Pesantren Tawangsari, dalam asuhan Kyai Mas Ali beliau belajar ilmu fikih yang lebih mendalam lagi. (5) Pesantren Kademangan Bangkalan Madura yang dalam asuhan Kyai Muhammad Kholil beliau disini mempelajari bahasa Arab yang diperoleh melalui kitab-kitab kuning yaitu Alfiyah dan syarahnya karya Ibnu Malik dan Ibnu Aqil.
Ke (6) Pesantren Bronggahan Kediri dalam asuhan Kyai Fakihuddin, disini beliau belajar banyak kitab kitab penting yaitu: Tafsir Alqur’an, Tauhid dan Tasawuf, Sejarah Islam serta kitab kitab fikih dari madhab Syafi’I yaitu Fathul Wahab. (7) Pesantren Tebuireng Jombang dalam asuhan Kyai Hasyim Asyari disini beliau belajar cukup lama sekitar 4 tahun.
Pada tahun 1909 beliau di berangkatkan oleh sang ayah menuju Mekkah untuk menuntut ilmu lagi, beliau berguru kepada Kyai Mahfudz Termas dalam bidang ilmu hukum, tasawuf dan ushul fikih. Kemudian dalam mempelajari Fathul Wahab beliau belajar kepada Kyai Muchtarom Banyumas. Dan dalam bidang Nahwu berguru pada Syekh Sa’id Al-Yamanidalam serta Syekh Ahmad bin Bakry Syatha.
Mbah Wahab berguru lagi pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau yang pada saat itu menjadi Mufti Syafi’I di Makkah. Lalu dalam bidang ilmu mantik (logika) belajar pada Kyai Bakir asal Yogya. Ilmu Hisab belajar pada Kyai Asy’ari dari Bawean. Selanjutnya dalam menyelesaikan kitab Tuhfah beliau belajar pada Syekh Abdul Karim Ad-Daghestany.
Setelah itu dalam belajar ilmu Arudh dan ma’nani beliau berguru kepada Syekh Abdul Hamid dari Kudus, serta dalam memperdalami fikih lagi beliau belajar kepada Syekh Umar Bajaned. Selain belajar mbah Wahab juga membantu teman-temannya dalam belajar seperti Kyai Mas Mansyur dari Surabaya, Abdul Halim dari Majalengka, Abdulloh dari Surabaya dan masih banyak lagi.
Ketika beliau berada di Mekkah beliau belajar ilmu perdebatan (mujadalah) kepada Kyai Muchith dari Panji Sidoarjo, serta berguru pada Kyai Asy’ari asal pasuruan dalam ilmu falak dan ilmu hisab. Beliau juga hafal syair karangan penyair zaman permulaan Islam, diantaranya gubahan sajak dari Ka’ab bin Zuhair dan gubahan sajak dari Al-Busyiri.
Peran dalam Organisasi
Mbah Wahab memiliki peranan yang sangat penting dalam terbentuknya Nahdlatul Ulama. Awal mulanya pada tahun 1916 beliau mendirikan organisasi pemuda Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negeri), serta pada tahun 1918 beliau juga mendirikan Nahdlatul Tujar (Kebangkitan Saudagar) guna untuk memperkuat organisai pergerakan.
Sebelum mendirikan Nahdlatul Ulama disamping itu Mbah Wahab juga mendirikan sebuah Madrasah yang beliau namai dengan Nadlatul Wathon (Kebangkitan Tanah Air), beliau juga sudah mengusulkan tentang terbentuknya Nahdlatul Ulama namun oleh KH. Hasyim Asy’ari masih di istikhoroh dulu.
Tahun 1919 Mbah Wahab membentuk juga sebuah kelompok diskusi yaitu Tashfirul Afkar (Pengolahan Pikiran), kelompok ini dibentuk sebab permasalahan yang di hadapi oleh bangsa Indonesia semakin hari makin tidak karuan.
Pada tahun 1926 Mbah Wahab membentuk Komite Hijaz yang beranggotakan ulama-ulama besar yang di pimpin oleh Mbah Wahab sendiri. Organisasi ini dibentuk sebagai upaya untuk mendesak pemerintah Arab yang hanya memperbolehkan satu mazhab saja, dan Mazhab Syafi’i, Hanafi dan Hambali yang hidup berdampingan di Arab tidak diperkenankan untuk di gunakan dan diajarkan.
Atas desakan itu Raja Ibnu Saud akhirnya mengurungkan niatnya, dan akhirnya dalam ibadah bisa menggunakan mazhab sesuai keyakinan masing-masing. Serta Tahun 1926 juga disaat itu penjajahan terhadap Indonesia masih terjadi, Mbah Wahab, Mbah Bisri, Mbah Hasyim berusaha untuk mendirikan Nadhlatul Ulama (Kebangkitan Ulama), dan akhirnya dapat terbentuk.
Nahdlatul Ulama pada awalnya bukan untuk kebutuhan partai politik namun karena ulah campur tangannya Belanda dalam bidang keagamaan, yang pada akhirnya mendapatkan respon langsung dari ulama. Dan pada akhirnya atas peran yang dilakukan oleh Mbah Wahab organisasi Nahdlatul Ulama berhasil berdiri pada 31 Januari 1926 atau yang bertepatan pada 16 Rajab 1344 di Surabaya.
Selain itu Mbah Wahab juga menjadi Rais Aam Nahdlatul Ulama sampai akhir hayat. Sebenarnya pada Muktamar yang ke 25 di surabaya beliau dalam keadaan sakit akut, oleh karena itu muktamar ke 25 menjadi Muktamar yang terakhir di ikuti Mbah Wahab.
Meskipun Mbah Wahab tidak meninggalkan karya dalam bentuk karya tulis namun Mbah Wahab berhasil menghasilkan karya dalam bentuk organisasi-organisasi, dan yang berkembang sampai saat ini yaitu Nadlatul Ulama.
Mbah Wahab wafat pada 29 Desember 1971, beliau merupakan tokoh dibalik berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama dan ikut serta dalam kemerdekaan Indonesia oleh sebab itu pada 7 November 2014 Presiden Joko widodo memberikan gelar pahlawan nasional.
*) Mahasiswi UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung Jurusan Sosiologi Agama.
Editor: Adis Setiawan