Penulis: Yuda Putra Anugrah*
KULIAHALISLAM.COM – Penulisan ini dibagi menjadi dua pembahasan besar yang memiliki hubungan argumentasi deskripsi. Collins memiliki konsep tingkatan kepemimpinan tingkat 5 yang disajikan dalam bentuk diagram piramida.
Pemimpin tingkat 5 disebut sebagai pemimpin yang hebat karena setiap kebijakan dan perilaku organisasi didasari oleh bukti empiris. Diskursus dan ungkapan teori-teori kepemimpinan saat ini menurut Collins belum menjadi solusi yang tepat dan kontekstual dalam penerapan kepemimpinan.
Sifat kepemimpinan yang kompleks menjadi cita-cita bagi seluruh pemimpin karena dapat menjalankan wewenangnya secara empiris dan rasional serta didasari oleh moralitas.
Ketika kita membincang terkait filosofi kepemimpinan, maka kita tidak lepas dengan yang namanya pandangan narsisme. Paradoksnya adalah penekanan pada sikap holistik seorang pemimpin yang menyatakan bahwa menjadi tegas sekaligus rendah hati, retorika sekaligus kerja nyata.
Tidak terbelenggu dengan pencapaian dan obsesi citra seorang pemimpin sebagaimana apa yang dimaksudkan dalam narsisme. Kompleksitas seorang pemimpin menjadi kajian yang sangat serius dan mendalam sehingga dapat mencapai hakikat pemimpin yang seutuhnya.
Ada tiga bentuk disiplin yang selalu ada yaitu disiplin orang, disiplin pemikiran, dan disiplin tindakan. Meskipun karakteristik ini tampak mudah, namun juga mengandung paradoks. Pendekatan kombinasi karakter dan perilaku para pemimpin Tingkat 5 memang membingungkan.
Teori ini bertentangan dengan pandangan umum yang menganggap pemimpin adalah orang narsisis. Pada bagian berikutnya, penulis memanfaatkan penelitian yang masih ada untuk mengatasi kontradiksi narsisme dan masalah yang terkait dengan penekanan pada citra.
Sejumlah filsuf dan cendekiawan memandang penekanan pada citra sebagai penyakit masyarakat yang memiliki konsekuensi merugikan bagi berbagai hubungan. Buber 1965, misalnya, sangat prihatin dengan hal ini tampakatau gambaran palsu yang diciptakan dan diproyeksikan seseorang.
Menurut Buber, hal tersebut tampak menghalangi makhlukatau hidup dalam hubungan yang tulus. Ellul 1985 percaya bahwa untuk menyelamatkan umat manusia, pertama-tama kita harus menyelamatkan dunia dan membiarkan munculnya substansi, bukan citra. Aturan dan persyaratan yang kaku dan formal mempunyai tempatnya di setiap organisasi, namun tidak cukup.
Tanpa mengobarkan semangat dan kreativitas setiap orang dalam suatu organisasi, dan tanpa menetapkan nilai-nilai yang dapat diidentifikasi dan dianut sepenuhnya oleh setiap karyawan, potensi manusia yang kreatif dan produktif tidak dapat dimanfaatkan.
Pendekatan-pendekatan yang juga bersifat reduksionis ini muncul sebagai respons terhadap formalitas lazim di dunia pasca-Renaisans. Pendekatan yang menekankan perasaan subyektif, hubungan, wacana, dan spiritualitas secara teori menarik dan menyegarkan secara pragmatis. Mereka juga tampaknya tidak mampu memecahkan masalah-masalah praktis.
Filsafat holistik Aristoteles mengedepankan kompleksitas tindakan dan pertimbangan manusia serta kehidupan manusia secara umum. Pandangan dunia Aristoteles mencerminkan keunikan kehidupan manusia, kaya dengan paradoks dan makna sebuah perspektif yang semakin kita abaikan di era penyerapan gambaran dan pemahaman metafora yang sederhana.
Hal yang menarik untuk tujuan esai ini adalah cara Aristoteles merekonsiliasi hal-hal yang tampaknya saling bertentangan. Filsafat Aristoteles memberikan landasan yang fleksibel untuk menggabungkan subyektif dan obyektif.
*) Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Editor: Adis Setiawan