Penulis: Dimas Faiz Abdullah*
KULIAHALISLAM.COM – Manusia adalah makhluk yang lengkap disamping mempunyai akal, manusia juga mempunyai jiwa. Jiwa adalah bagian tidak berwujud (immaterial) yang ada pada manusia. Jiwa mempunyai aktivitas yang mempengaruhi kegiatan atau pola hidup manusia.
Segala hal yang dilakukukan manusia berdasarkan oleh aktivitas jiwa. Dalam beraktivitas manusia pasti mencari sesuatu yang dapat memberikan efek yang positif bagi dirinya. Kebahagiaan merupakan aktivitas jiwa tertinggi sehingga manusia akan mencarinya.
Dalam beberapa masalah yang ada pada manusia salah satunya dalam soal mencari kebahagiaan yang sejati, nampaknya masih banyak yang salah tanggap tentang apa kebahagian sejati itu. Seperti contoh seseorang menempatkan kebahagiaan pada jumlah nominal uang, semakin banyak maka semakin bahagia.
Tapi apa bila kita teliti uang hanyalah alat tukar untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, berarti uang bukan kebahagiaan yang sejati. Bagaimana kebahagiaan sejati itu di dapat? Mungkin kita akan menjawab pertanyaan itu melalui pemikiran salah satu tokoh filusuf yang bernama Aristoteles.
Aristoteles adalah tokoh filusuf yang berasal dari Stageira, pada semenanjung Kalkideke di Trasia (Balkan) pada tahun 384 SM. Ia meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM dalam usia 63 tahun. Ayahnya yang bernama Mashaon adalah seorang dokter istana pada raja Makedonia, Amyntas II.
Ayahnya banyak mengajarkan tentang teknik membedah dan mempengaruhi pemikiran Aristoteles sehingga ia banyak mempelajari ilmu-ilmu alam. Ia pernah belajar selama 20 tahun di Academia yang di dirikan oleh plato. Aristoteles mempunyai banyak karya dalam berbagai bidang seperti kontribusinya di bidang Metafisika, Fisika, Etika, Politik, Ilmu Kedokteran, Ilmu Alam dan karya seni.
Kehormatan, pangkat, derajat, dan lain-lain adalah merupakan sebuah tujuan, namun tujuan tersebut bukan merupakan tujuan tertinggi. Tujuan tertinggi seharusnya adalah bersifat final, menjadi puncak.
Aristoteles memberikan tanggapan tentang tujuan manusia yang tertinggi dalam karyanya yang berjudul Nicomachean Ethics ia mengungkapkan bahwa “apa yang selalu dipilih sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan tidak pernah sebagai sarana untuk sesuatu yang lain disebut final dalam arti tanpa kualifikasi.” Menurut Aristoteles kebahagiaan tidak diperoleh secara kebetulan dan bukan kiriman Tuhan. Kebahagiaan diperoleh melalui kebajikan, pembelajaran atau latihan.
Aristoteles mempunyai pemikiran bahwa manusia bisa mencapai kebahagiaan setidak nya mempunyai tiga syarat untuk mendapatkannya yaitu memiliki etika, intelektual,dan moral.
Etika adalah ilmu yang menjelaskan baik dan buruknya, menerangkan apa yang seharusnya di lakukan manusia terhadap manusia lainnya. Dengan mempunyai etika, manusia bisa membatasi dirinya dari hal-hal yang merusak kebahagiaan. Dengan membatasi keinginan manusia melalui etika manusia bisa memperoleh kebahagiaan.
Intelektual bisa di dapatkan melalui pembelajaran. Wawasan yang di dapat bisa berasal dari akademi, maupun di luar akademi, melalui guru-guru, dosen, dan para filusuf. Dengan menambah wawasan tentang sesuatu sehingga ia memperoleh sebuah perbedaan antara mana yang baik dan mana yang buruk, bagaimana mendapatkan hal baik dan menerapkannya.
Moral bisa di dapat melalui penerapan atas apa yang telah di ketahui secara terus menerus sehingga terciptalah kebiasaan. Dengan menerapakan hal baik dalam kehidupan sehari-hari secara terus akan menghasilkan moral baik pula.
Tingkah laku yang didasarkan pada kebaikan akan menghasilkan perbuatan yang terpuji dan menyenangkan diri serta orang di sekitarnya. Praktik kebaikan tersebut akan membentuk moral. Selain itu juga akan menciptakan keaadaan manusia yang adil karena manusia telah terbiasa berperilaku baik dan konflik bisa terhindarkan.
Sebagian besar tulisan ini berasal dari karya Aristoteles dalam bidang etika yang berjudul Nicomachean Ethics. Dengan tetap memegang poin-poin nya.
*) Mahasiswa di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung dengan Jurusan Akidah dan Filsafat Islam.
Editor: Adis Setiawan