ArtikelKeislaman

Hakikat Pahala Menurut Ulama

2 Mins read

Pahala adalah ganjaran atau balasan untuk perbuatan baik. Pahala berasal dari bahasa Arab yaitu al-ajr, as-sawab dan kadang al-jaza’. Kata al-ajr dalam Al-Qur’an  artinya disebutkan tidak kurang dari 94 kali dan kata as-sawab sebanyak 9 kali. Sementara kata al-jaza’ disebutkan 81 kali termasuk di dalamnya yang menunjukkan balasan terhadap perbuatan yang jahat.

Hadis Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang menjelaskan masalah pahala antara lain riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya : ” Allah mencatat kebaikan dan keburukan, kemudian menjelaskannya. Barang siapa ber-himmah (niat) kebaikan yang tidak mengerjakannya maka Allah mencatat baginya kebaikan yang sempurna. Apabila dia berniat kebaikan dan mengerjakannya, Allah membalasnya 10 kebaikan sampai 700 kali lipat lebih banyak. Dan apabila berniat keburukan, kemudian tidak mengerjakannya, Allah mencatat kebaikan yang sempurna dan apabila berniat buruk dan mengerjakannya Allah mencatat dengan satu keburukan. Dan tidak akan rusak di sisi Allah kecuali orang merusak”.

Di kalangan ahli hukum islam, pahala erat kaitannya dengan perbuatan yang wajib dan mandub (sunnah) serta perbuatan yang haram dan makruh. Pahala diberikan kepada seorang yang mengerjakan perbuatan yang wajib dan mandub atau meninggalkan yang haram dan makruh itu karena tunduk dan patuh kepada Allah.

Di kalangan ulama Ushul fiqih, pahala berhubungan erat dengan perintah (al-ammar) dan larangan (an-nahy) Syar’i ( pencipta hukum, Allah); perintah meliputi perbuatan yang wajib serta mandub dan larangan meliputi perbuatan yang haram serta makruh.

Jadi, apabila terdapat poin tadi dalam Al-qur’an atau sunnah untuk mengerjakan sesuatu, maka yang mengerjakan akan mendapat pahala. Begitu pula apabila meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah dan karena Allah. Terhadap perbuatan yang tidak ada ketentuan hukumnya, menurut sebagian ulama seperti Imam Syahitbi mengatakan bahwa perlu dilihat akibat hukum yang ditimbulkan dari perbuatan itu. Apabila akibatnya itu baik maka akan mendapatkan pahala tetapi jika sebaliknya, yang diperoleh adalah siksa.

Dari segi ilmu kalam, pahala berkaitan erat dengan masalah baik dan buruk (al-husn wa al-qubh). Pada dasarnya perbuatan yang baik apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan berbuat dan yang buruk apabila dikerjakan akan mendapatkan siksa. Golongan muktazilah mengatakan bahwa akal mampu mengetahui kebaikan dan keburukan.

Karena itu, seandainya tidak turun wahyu, maka orang yang berbuat baik akan mendapatkan pahala, Meskipun tidak diketahui gambaran paling kami peroleh. Namun demikian golongan muktazilah memandang perlu turunnya wahyu, selain penegasan terhadap kemampuan akal manusia, wahyu digunakan untuk mengetahui rincian kebaikan dan pahala tersebut di atas.

Golongan Maturidiah meskipun beranggapan bahwa akal mampu mengetahui baik dan buruk, berpendapat bahwa untuk menentukan hukum mutlak diperlukan Wahyu. Karena itu pahala hanya akan diberikan oleh Allah kepada manusia apabila telah ada ketentuan hukum melalui rasuln-Nya.

Adapun golongan Asy’ariah menganggap bahwa akal tidak dapat mengetahui baik dan buruk, berpendapat bahwa ukuran baik dan buruk bagi suatu perbuatan adalah wahyu. Karena itu pahala akan diberikan oleh Allah Menurut ketentuan yang diberikan di dalam Wahyu tersebut.

Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-isra ayat 15 yang artinya : ” Dan Kami tidak mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul”. Para ahli filsafat memahami pahala sebagai kesenangan yang bersifat rohani. Mereka berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan tidak hancur karena substansinya berasal dari substansi Tuhan.

Roh adalah cahaya yang dipancarkan oleh Tuhan. Selama dalam badan, roh memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan, roh memperoleh kesenangan sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna.

Setelah bercerai dengan badan, roh pergi ke alam kebenaran atau alam kekal di atas bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan, yang dapat melihat Tuhan. Di sinilah terletak kesenangan Abadi dari roh. Hanya roh yang suci di dunia yang dapat pergi ke alam kebenaran ini.

Berkaitan dengan hal ini, ahli tasawuf mempunyai pandangan yang hampir sama dengan ahli filsafat. Bagi kaum Sufi, yang terpenting bukanlah pahala tetapi dekat pada Tuhan dengan sedekat-dekatnya. Dekat kepada Tuhan, manusia akan dapat memperoleh tujuan hidupnya di dunia ini yaitu cinta dan makrifat kepada Tuhan.Masalah pahala disarankan kepada Tuhan di akhirat kelak.

 

 

77 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
Artikel

Lentera di Tengah Malam Tarawih

2 Mins read
Malam ketujuh Ramadan tiba dengan keheningan yang khas. Cahaya bulan sabit menggantung di langit, seolah menjadi lentera alam yang menerangi bumi. Angin…
Keislaman

Kedudukan Akal Dalam Pemikiran Islam

5 Mins read
Kuliahalislam-Akal merupakan daya berpikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah satu daya dari jiwa serta mengandung arti berpikir, memahami dan…
KeislamanTokoh

Sunan Kalijaga Mengislamkan Jawa Dengan Seni

5 Mins read
Kuliahalislam- Sunan Kalijaga merupakan seorang wali dari suku Jawa asli. Nama aslinya adalah Raden Mas Syahid (R.M Syahid), putra dari Ki Tumenggung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights