Kita hidup di era revolusi industri keempat dan di sejumlah negara telah memasuki revolusi industri kelima dan menuju keenam. Di tengah gempuran hebat revolusi industri ini manusia saling bersaing satu dengan yang lain bukan hanya untuk mendapatkan kedudukan tetapi demi sesuap nasi untuknya dan anak-anaknya. Sehingga orang tidak perduli halal-haram baik Muslim sekalipun karena menurut sebagian pandangan orang bahwa yang haram saja susah digapai apalagi yang halal.
Akibat dari persaingan hidup yang begitu tajam dan kejam, banyak orang sudah melupakan Allah dan agama-Nya dari kehidupannya. Sehingga muncul orang yang mengkampanyekan bahwa Tuhan telah mati karena agama yang seharusnya menjadi solusi dari kehidupan manusia, kini berubah menjadi alat dari peperangan, konflik, permusuhan dan pertikaian. John Lennon menciptakan lagu berjudul ‘Imagine’ tahun 1971 yang isinya mengangankan dunia masa depan di mana tidak ada surga dan neraka.
Bagimana Al-Qur’an melihat dan menjawab hal ini ? Apakah Al-Qur’an dapat memberikan jawaban dari berbagai persoalan kehidupan manusia ? Sebagai seorang yang beriman tentu kita akan menjawab “iya”, namun banyak muslim yang bahkan meyakini Al-Qur’an sebagai jalan persoalan kehidupan, mengiyakan dibibir tetapi secara peraktiknya mereka tidak percaya atau ragu-ragu Al-Qur’an mampu menjawab berbagai persoalan kehidupan sehingga banyak kita mengabaikan atau melupakan bahwa kita punya Al-Qur’an, hal ini digambarkan jelas oleh Allah dalam QS. Al-Furqan;
وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَٰرَبِّ إِنَّ قَوْمِى ٱتَّخَذُوا۟ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ مَهْجُورًا
Arab-Latin: Wa qālar-rasụlu yā rabbi inna qaumittakhażụ hāżal-qur`āna mahjụrā.
Artinya: Berkatalah Rasul: Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an itu sesuatu yang diacuhkan.
Banyak para ulama dan dai menyerukan kita harus kembalikan hidup kita pada Al-Qur’an tetapi malangnya para ulama dan dai kita juga banyak yang meninggalkan Al-Qur’an itu sendiri dalam kehidupannya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus Allah agar manusia kembali ke jalan Allah, jika kembali kejalan Allah maka tidak ada ketimpangan sosial ekonomi, masyarakat akan diperlakukan dengan adil, makmur dan orang-orang yang miskin akan merasa diperlakukan terhormat.
Tetapi sepeninggal Rasulullah, ajaran Islam itu ditinggalkan sehingga ajaran menurut hawa nafsu yang diperuntukan.Jadi, apa yang harus kita lakukan dalam keras dan kejamnya kehidupan saat ini ?
Niat
Dalam QS. Al-Bayyinah ayat lima, Allah berfirman;
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَذَٰلِكَ دِينُ
ٱلْقَيِّمَةِ
Arab-Latin: Wa mā umirū illā liya’budullāha mukhliṣīna lahud-dīna ḥunafā`a wa yuqīmuṣ- ṣalāta wa yu`tuz-zakāta wa żālika dīnul-qayyimah.
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin (Ulama besar Saudi Arabia, wafat 2001) dalam bukunya “Syarah Riyadhus Shalihin jilid 1” menyebutkan bahwa manusia dalam kehidupan ini mesti meniatkan tujuan hidupnya kerena Allah dan untuk Allah. Jangan sampai berniat kecuali mengharap ridha Allah dan kebahagiaan di akhirat. Niat dibagi atas tiga. Pertama, niat beribadah.
Dalam beribadah niatkan untuk Allah. Kalau kita meniatkan ibadah kita kepada Allah maka ketika kita tertera ujian atau musibah kehidupan lantas kita tidak berpaling dari-Nya dan mengumpat ibadah-ibadah yang kita lakukan selama ini tidak membuat kita berhasil dalam kehidupan sesuai apa yang kita kehendaki.
Dalam beribadah kita tidak sedang berdagang dengan Allah. Sehingga ketika kita merasa untung maka kita semangat beribadah namun ketika kita punya masalah peliknya kehidupan, kita langsung berpaling dari-Nya. Oleh karenanya Imam Ali Zainal Abidin bin Ali bin Abu Thalib berkata :
“Ada tiga macam ibadah yang dilakukan manusia. Pertama, manusia merdeka beribadah kepada Allah atas dorongan rasa syukur, bukan karena takut dan bukan rasa pamrih. Ibadah yang dilakukan karena takut belaka adalah ibadah manusia budak, ibadah yang dilakukan karena pamrih adalah ibadah seorang pedagang dan ibadah yang dilakukan karena rasa syukur itulah ibadah manusia merdeka”.
Selanjutnya, yang kedua, berniat untuk Allah. Dalam kehidupan ini, tujuan hidup kita tergambar jelas dalam QS Al-Baqarah ayat 30 yaitu menjadi Khalifah. Sehingga kita menyadari benar bahwa dalam mengarungi keras dan tajamnya lika-liku kehidupan, kita tetap sandarkan hidup kita kepada Allah dan untuk menggapai ridha-Nya.
Ketika kita tidak sandarkan dalam diri kita bahwa kita hidup untuk Allah maka kita akan diterpa banyak angan-angan atau keinginan yang bahkan melampaui batas dan ketika kita tidak mampu mencapainya maka keimanan kita bisa goyah bahkan luntur.
Sayydina Ali bin AbuThalib pernah berkata: “Panjang angan akan menjadi seseorang lupa akan akhirat. Sementara hawa nafsu yang diperturutkan akan menghalangi orang dari kebenaran. Dunia ini telah pergi dan akhirat telah tiba. Setiap wanita yang mempunyai anak banyak, hendaknya menjadikan mereka anak-anak akhirat dan janganlah menjadikan mereka sebagai anak dunia. Hari ini adalah hari amal dan bukan perhitungan. Sedangkan besok adalah hari perhitungan, bukan hari amal.”
Ketiga, berniat bahwa ia melakukannya untuk melakukan perintah Allah. Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata bahwa niat letaknya di dalam hati dan Allah mengetahui niat hamba-Nya. Bisa jadi orang melakukan suatu amal yang tampaknya baik di hadapan manusia, padahal itu adalah perbuatan yang rusak karena niatnya rusak, Allah mengetahui apa yang di dalam hati. Allah hanya akan mengganjar amal perbuatan manusia pada hari kiamat sesuai dengan niat.
Dalam QS Ath-Thariq ayat 8-10 disebutkan: ”Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati). Pada hari dinampakan segala rahasia, maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatan pun dan tidak pun seorang penolong.”
Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata: “Wahai saudara-saudara, ikhlaskan niat kepada Allah. Ketahuilah bahwa setan datang kepadamu ketika kamu ingin berbuat baik, dia berkata bahwa kamu mengerjakan itu karena riya’. Lalu ia melemahkan semangatmu dan menghalanginya.Akan tetapi janganlah kamu berpaling dari godaan itu dan jangan kamu turuti ! Kerjakanlah perbuatan baik itu. Jika kamu ditanya,apakah kamu melakukannya karena riya? Maka jawablah tidak. Jadi, jika ada gangguan setan masuk dalam hatimu maka berpalinglah darinya.”
Hidup Ini Penuh Ujian
Di dalam Al-Qur’an surah al-‘Ankabut ayat 2-3 disebutkan bahwa :
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Arab-Latin: A ḥasiban-nāsu ay yutrakū ay yaqụlū āmannā wa hum lā yuftanụn.
Artinya: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman,sedang mereka tidak diuji lagi?. Kemudian firman Allah;
وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَٰذِبِينَ
Arab-Latin: Wa laqad fatannallażīna ming qablihim fa laya’lamannallāhullażīna ṣadaqụ walaya’lamannal-kāżibīn.
Artinya: Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yangsebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Sayyid Quthub dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an surah Al-‘Ankabut menyebutkan bahwa keimanan bukan sekedar kata-kata. Namun ia adalah hakikat yang mempunyai benan-beban, amanah yang mempunyai konsekuensi, jihad yang memerlukan kesabaran dan usaha yang memerlukan daya tahan.
Allah mengetahui hakikat hati manusia sebelum memberikan cobaan itu namun cobaan itu menyingkapkan hati mereka di dunia realita seperti yang tersingkap dalam ilmu Allah tetapi tertutup dari ilmu manusia. Dengan demikian, manusia dihisab dengan apa yang terjadi dari amal mereka bukan sekedar apa yang diketahui oleh Allah tentang perkara mereka.
Sayyid Quthub juga berkata bahwa di antara cobaan yang dialami orang beriman adalah mendapatkan aniyaya dari pembela kebatilan. Kemudian ia tidak menemukan pihak yang membela dan menolongnya, juga tak memiliki kemampuan untuk membela dan menjaga dirinya.
Namun itu bukanlah fitnah yang paling keras karena ada fitnah yang lebih keras dan cerdik lagi yaitu fitnah keluarga dan orang yang terkasihi, yang ia kahwatirkan mereka mengalami aniyaya karena dirinya sementara ia tidak memiliki kekuatan untuk membela mereka. Ada lagi fitnah keasingan di lingkungan dan kegersangan akidah, ia lihat banyak orang tenggelam dalam kemaksiatan sementara ia hanya sendiri dalam keterasingan. Dan banyak fitnah lainnya yang Allah timpakan bagi orang yang benar-benar beriman.
Sayyid Quthub menyatakan bahwa Allah sama sekali tidak hendak mengazab orang-orang beriman dengan banyak cobaan dan fitnah. Allah berkehendak untuk melakukan persiapan yang hakiki bagi orang beriman untuk mengemban amanah. Karena amanah memerlukan ketersiapan sendiri yang tak dapat terbentuk kecuali merasakan kesulitan kesulitan yang langsung dirasakan.
Atau juga dengan meninggikan diri secara hakiki dalam menanggung kepedihan dengan menanamkan keyakinan yang akan datangnya pertolongan Allah atau mendapatkan pahala-Nya meskipun fitnah tersebut berlangsung lama atau cobaan yang diterima terasa berat.
Serahkan Hidupmu Pada Allah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda; “Seandainya kalian benar benar bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung itu pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang,” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim).
Imam Ibnul Qayyim menyebutkan ada beberapa tingakatan tawakal. Pertama, mengetahui Rabb dengan segenap sifat-sifat Nya, seperti kekuasaan, perlindungan, kemandirian, kembali segala sesuatunya kepada Allah. Pengetahuan tentang ini merupakan tingkatan pertama dalam masalah tawakal. Kedua, kemantapan hati dalam masalah Tauhid. Hakikat tawakal adalah kemantapan tauhid dalam hati dan menyingkirkan segala macam ha-hal siyrik.
Ketiga, menyandarkan hati dan bergantung kepada Allah, sehingga tidak ada kekhawatiran karena bisikan sebab didalamnya. Tandanya adalah dia tidak perduli takala berhadapan dengan sebab, hatinya tidak terguncang, dapat meredam kecintaan kepadanya. Sebab penyandaran hati kepada Allah mampu membentenginya dari ketakutan. Keempat, berbaik sangka kepada Allah. Sejauh mana baik sangkamu kepada Allah, maka sejauh itu pula tawakalmu kepada Allah. Keempat, menyerahkan hati kepada Allah.
Kelima, pasrah yang merupakan ruh tawakal. Maksudnya adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah tanpa tuntutan dan pilihan, tidak ada kebencian dan ketrepaksaan. Jadi, apapun kesulitan dan peliknya kehidupan maka kita harus tetap memperkokoh keimanan dan menyerahkan segalanya kepada Allah dan meminta pertolongan-Nya atas berbagai rintangan kehidupan yang kita alami.
Penulis : Rabiul Rahman Purba, S.H