Kita kaum muslimin berpuasa merupakan suatu kewajiban sebagaimana perintah Allah. Dalam QS.Al-Baqarah ayat 183-185. Puasa adalah perjalanan ruhaniah yang tertinggi. Bagi setiap muslim yang berpuasa, puasa bukan sekedar menahan makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis sebagaimana rukun syariat. Tetapi lebih dari itu puasa harus punya makna al-imsak dalam makna yang sesungguhnya. Yakni menahan diri dari segala godaan duniawi sehingga kita menjadi orang-orang yang washatiyah. Orang yang secukupnya dalam hidup. Orang yang berpuasa disebutkan La-alakum Tattakun. Agar engkau semakin bertakwa. Taqwa adalah wiqoyah (kewaspadaan) lahir dan bathin untuk selalu khasyah kepada Allah, Takut kepada Allah. Menjalankan segala perintahnya, menjauhi segala larangannya dan tentu lebih jauh lagi kita ingin dijaga dari siksa neraka.
Puasa Nyala Pencerahan
Puasa sepenuhnya merupakan momen spiritualitas dan cara pengabdian kepada Tuhan paling Semua tindakan manusia dapat diidentifikasi dan dinilai oleh manusia sendiri, kecuali puasa. “Untuk tindakan pengabdian ini, Aku-lah yang menilainya,” demikian Nabi Muhammad Saw. pernah menyampaikan kata-kata Tuhan (baca: Hadits Qudsi). Dalam Islam, momen istimewa itu diselenggarakan dalam satu bulan. Hari-hari selama itu disediakan Tuhan bagi mereka yang percaya untuk merenung dan berkontemplasi atas apa yang telah mereka tempuh dalam perjalanan hidupnya. Sesudah itu, manusia diharapkan tampil kembali sebagai pribadi pribadi yang berguna bagi kemanusiaan. Puasa sesungguhnya tidak hanya diajarkan Islam, tetapi juga agama-agama dan kepercayaan lain melalui tata caranya masing-masing.
Akan tetapi, dalam perjalanannya, manusia sering kali menjadi makhluk yang lemah dan bodoh. Ia sering lalai, mudah tergoda, terperangkap, dan tergelincir ke dalam tindakan tindakan yang menyimpang; merendahkan, mendiskriminasi, dan menzhalimi orang lain. Manusia juga mudah tertarik dan tertipu oleh hasrat-hasrat yang rendah dan kesenangan kesenangan sesaat (duniawi); memuja harta, jabatan, seks. golongannya sendiri, keturunan, dan sebagainya. Hasrat-hasrat diri ini amat sering melalaikan, memperdaya, menindas, dan tak menghargai hak orang lain. Manusia acap kali tak mampu mengendalikan hasrat-hasrat rendah yang menyesatkan itu.
Lihat, hari-hari ini di negeri ini kita masih belum selesa menyaksikan kisah-kisah penderitaan manusia, hamba-hamba Tuhan. Masih begitu banyak masyarakat ini menderita dan terlunta-lunta karena kelaparan dan kemiskinan yang tak dimengerti. Hari-hari ini kita juga menyaksikan beragam tindakan manusia rumahnya sendiri yang melukai sesamanya, maupun di ruang bersama.
Berapa banyak sudah kaum perempuan, para istri, dan anak-anak, orang-orang yang paling dicintai terluka, baik tubuh maupun hatinya? Ada ratusan ribu perempuan korban kekerasan dalam rumah. Sering kali mereka dilukai hanya karena mereka perempuan. Berapa banyak buruh dan pekerja kasar yang tak memperoleh hak-haknya? Hanya karena dianggap lemah, mereka diperlakukan seakan-akan manusia tak berharga dan boleh diperlakukan sesuka hati.
Pada saat yang lain, kita juga menyaksikan rumah-rumah tempat Tuhan diagungkan dan dimuliakan dirusak dan dihancurkan hanya karena mereka punya keyakinan yang berbeda dan dianggap kecil dalam komunitasnya. Berhari-hari kita membaca betapa banyak hasil jerih payah dan keringat orang-orang lemah diambil begitu saja, baik secara terang terangan maupun diam-diam hanya karena mereka dianggap tak tahu, dianggap tak penting dan tak punya kuasa.
Puasa adalah momen perenungan diri atas hasrat-hasrat yang rendah, sesaat. Puasa itu menderitakan sekaligus memulihkannya. Pembiaran hasrat-hasrat rendah yang tak terkendali selalu akan melahirkan malapetaka sosial dan kemanusiaan. Puasa, pada sisi lain, merupakan momen melatih sensitivitas pikiran, hasrat, dan tindakan agar selalu terkontrol dan terkendali.
Islam dan agama-agama lain berpendirian bahwa kehidupan yang adil dan sejahtera di dunia ini tak mungkin terwujud apabila orang-orang yang lemah tidak mendapat perhatian, layanan, dan perlakuan yang adil dari masyarakat yang berada dan kuat. Para fakir, kaum miskin, dan kaum perempuan hamba-hamba Tuhan adalah yang sejatinya merupakan sendi dan tulang punggung kekuatan suatu masyarakat. Betapa banyak kehidupan kita bergantung kepada mereka. Kita tidak mungkin bisa hidup tanpa mereka. Sabda Nabi Muhammad Saw. yang mulia: “Sesungguhnya, kalian ditolong dan diberi rezeki oleh orang-orang yang lemah di antara kalian.” Mereka yang disisihkan hanya karena mereka kecil atau minoritas tetap saja harus dihargai hak-haknya, baik hak hidup maupun hak untuk mengabdi, mengagungkan, dan memuliakan Tuhan, apa pun nama-Nya. Sebab, tubuh dan ruh mereka adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya.
Pesan-pesan agama tersebut diarahkan dalam kerangka besar kehidupan bersama yang adil dan saling membagi kesejahteraan. Dalam dunia yang adil, setiap warga mendapat haknya sesuai dengan kewajiban yang dibebankan atas diri mereka. Saat puasa akan berakhir, yakni pada sepuluh hari terakhir, bagi jiwa-jiwa yang tercerahkan, merupakan hari-hari paling mendebarkan. Kekasih sebentar lagi akan pergi. Kandil-kandil yang berkedip menghiasi masjid, khanaqah, ribat, atau zawiyah pada dini hari akan diredupkan. Ruang-ruang tempat sujud itu akan menjadi temaram. Para malaikat akan turun dan hadir di masjid, beribadah, dan mendoakan ampunan serta rahmat bagi orang-orang yang mencintai seluruh ciptaan Tuhan.
Ketiga, puasa ramadhan dalam situasi apapun termasuk dalam suasana wabah corona harus selalu menumbuhkan amal shaleh. Orang yang berpuasa adalah orang yang selalu berbanding lurus sikap hidupnya untuk berbuat kebajikan bagi orang banyak. Amal sholeh harus lahir dari orang yang berpuasa.
Keempat, puasa tentu juga tetap menumbuhkan semangat berilmu bagi kaum muslimin. Tidak ada alasan orang yang berpuasa berhenti untuk mencari ilmu. Wahyu pertama risalah sebagai penanda pertama Rasulullah saw menerima wahyu adalah iqra.
Maknanya adalah kita umat islam harus menjadi insan-insan berilmu yang punya tradisi iqra dan bulan ramadhan mari kita jadikan sebagai bulan untuk terus mengasah diri kita dengan ilmu. Kecerdasan untuk membangun peradaban utama, maka dalam suasana apapun termasuk dan lebih-lebih disaat kita menghadapi musibah. Jadikan ramadhan sebagai bulan untuk muhasabah, bukan untuk muroqabah dan bulan untuk mujahadah.
Puasa adalah menahan dan mengendalikan diri dengan dorongan tubuh, mengambil jarak dengan hasrat kebendaan. Untuk mengembangkan kekuatan spiritual mengalami puncak bersama pujaannya Allah robb alam semesta. Karena itu, seperti yang ditegaskan nabinya. Puasa adalah untukku dan aku yang akan memberikan pahalanya kepada yang menjalankannya untukku. Makna simbolik untukku, Tuhan penguasa alam semesta adalah untuk semua ciptaannya, karena Tuhan tidak membutuhkan sedikitpun dari manusia dan dari semua ciptaannya. Hasilnya adalah kualitas takwa yang menjalankannya akan meningkat. Tidak hanya merasa lapar dan haus saja, tetapi hasrat kebendaan tidak menguasai dirinya. Hasrat kebendaan membuat hambanya mengabdi pada kekuasaan, kekayaan dan hasrat tubuh yang melelahkan.
Puasa sebenarnya bagian dari latihan penajaman penginderaan batiniyah. Haus dan lapar ditahan untuk membuka tirai makna apa yang ada di balik kehausan dan kelaparan itu.
Jika makna dibalik tirai itu bisa dimengerti, dan memberikan kearifan dalam hidupnya, maka seseorang yang puasa dapat menahan rasa haus dan laparnya dengan ikhlas, tetap berpuasa dengan baik dengan segala ritualnya, dan dapat meningkatkan kualitas ketakwaannya kepada Allah swt. Jika tidak, maka seorang yang berpuasa hanya akan mendapat haus dan laparnya saja. Sebagaimana di syariatkan dalam hadist nabi saw, yang artinya. “Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan haus saja”.(HR.Ibnu majah. No:1690 dan Syaikh Albani berkata Hadist Hasan).
Bagi seseorang yang terlatih penginderaan batiniahnya, maka kehidupan dengan segala dinamika dari jatuh dan bangunannya kehidupan. Tentu akan dirasakan lebih indah dan bermakna. Kemampuan mentransendir realitas adalah kearifan yang tinggi. Ketajaman penginderaan batiniah akan dapat mentransendir realitas untuk menemukan hakikat kebenaran.
Puasa adalah memasuki ruang bathin yang tercerahkan oleh penjiwaan kebenaran yang lebih dalam. Kebenaran tidak lagi menjadi sesuatu yang berada dalam diluar diri kita, dan kita mencarinya. Kebenaran adalah sesuatu yang ada dalam diri kita. Dalam ruang bathin kita dan kita menemukannya. Penemuan itu tidak statis, seperti menemukan bebatuan yang indah dan kemudian menjadi cincin yang melingkari jari manisnya. Penemuan itu bersifat dinamis yang memerlukan pengolahan batin sepanjang hidupnya, agar menjadi kekuatan spiritual untuk masa depan yang panjang sampai di akhirat. Jika seseorang telah menemukan kebenaran itu. Maka kehidupannya menjadi tenang dalam cahaya yang semakin terpendar, nur ala nur. Alam semesta menjadi terang dan jauh dari gelap dan kegelapan. Semuanya menjadi indah sebagai pancaran dari keindahan wajahnya.