Di era digital saat ini, generasi muda menghadapi kompleksitas kehidupan yang semakin rumit terutama dalam hal keyakinan dan spiritualitas. Fenomena agnostik menjadi titik tengah antara ateis dan orang-orang yang beragama.
Fenomena ini cenderung menjadi pilihan generasi zaman sekarang karena dinilai tidak perlu beragama karena kehidupan akan mengalir saja, mereka percaya adanya Tuhan tapi ragu akan keberadaannya.
Agnostisisme sering dipandang sebagai alternatif bagi individu yang merasa tidak terikat pada dogma agama tertentu, tetapi tetap percaya akan keberadaan Tuhan. Fenomena ini mencerminkan perubahan paradigma dalam cara orang memahami spiritualitas dan agama di era modern.
Agnostisisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa keberadaan Tuhan belum dapat diketahui atau dibuktikan secara empiris. Paham ini dikemukakan oleh Thomas Henry Huxley pada tahun 1869 di Metaphysical Society, London (Bernard Lightman, 2002).
Secara mendasar Huxley menggambarkan sikapnya terhadap pertanyaan keberadaan Tuhan. Inilah yang ditarik pada zaman sekarang orang-orang menjadi ikut-ikutan meragukan keberadaan Tuhan dan menjadi gaya hidup seseorang hingga sekarang.
Hal ini berbeda dengan Huxley yang mencari sumber-sumber mengenai keberadaan Tuhan, berbeda dengan generasi zaman sekarang yang tekesan ikut tren gaya agnostik dan tidak mencari sumber yang relevan, mereka seakan-akan malas mencari keberadaan Tuhan karena hanya mengikuti tren yang ada. Di sisi lain mereka tidak lagi menerima dogma-dogma begitu saja mengenai adanya keberadaan Tuhan.
Agnostic Style merujuk pada cara hidup yang mengedepankan kepercayaan akan Tuhan tanpa terikat pada dogma agama. Bagi banyak orang, terutama generasi masa kini, agama sering kali dianggap sebagai identitas sosial yang tidak lagi relevan dengan kehidupan sehari-hari, mereka menganggap agama sebagai identitas untuk kepentingan kependudukan saja.
Mereka lebih memilih untuk percaya pada Tuhan secara pribadi tanpa harus mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh institusi agama. Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap modernisme dan kemajuan teknologi yang membawa perubahan besar dalam cara berpikir masyarakat.
Banyak individu merasa bahwa agama tidak lagi memberikan jawaban memadai terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mereka hadapi. Dalam konteks ini, agnostisisme menjadi pilihan yang lebih rasional dan menarik bagi mereka.
Agnotisisme merupakan gaya hidup masa kini dengan dalih akan merasa lebih intelektual, ateis menurut mereka dianggap tidak menarik dan terlalu kuno. Penerimaan agnostisisme sebagai gaya hidup memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat.
Di satu sisi, hal ini menciptakan ruang bagi dialog terbuka tentang spiritualitas tanpa batasan dogma. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa penolakan terhadap struktur agama dapat mengarah pada hilangnya nilai-nilai moral dan etika yang biasanya diajarkan oleh agama.
Disisi lain lagi bahwa agama ini menjadi pawang agar tidak tersesat pada jalan yang tidak benar. Berkaitan dengan hal tersebut, Allah berfirman dalam QS. Asy-Syuara’ ayat 23-24 yang tertulis :
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ ٱلْعَٰلَمِينَ (٢٣) قَالَ رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَآ ۖ إِن كُنتُم مُّوقِنِينَ (٢٤)
(23) Fir’aun bertanya: “Siapa Tuhan semesta alam itu?.” (24) Musa menjawab: “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya.”
Penafsiran ayat
Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Tafsir al-Munir (jilid 10 hal. 143) menjelaskan bahwa Allah adalah Pencipta dan Penguasa mutlak atas seluruh alam semesta dengan menjelaskan bahwa kekuasaan Tuhan mencakup segala sesuatu seperti langit, bumi, bintang, gunung, sungai, pepohonan dan yang ada dialam raya.
Ayat ini menekankan bahwa untuk mengenal Allah, manusia perlu menggunakan akal dan hati nurani mereka. Mengajak untuk memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Ilahi yang tersebar di alam semesta. Setiap makhluk pada hakikatnya adalah ciptaan-Nya dan tunduk kepada kehendak-Nya.
Sayyid Quthb menjelaskan dalam kitab Tafair fi Zhilalil Qur’an (jilid 5 hal. 2592) bahwa Musa mengungkap keterbatasan pemahaman Fir’aun dengan menunjukkan bahwa kerajaan dan kekuasaan Fir’aun di Mesir hanyalah sebuah titik kecil dibandingkan kebesaran alam semesta, jauh melampaui batas-batas geografis atau kekuasan manusia.
Dalam ayat ini, Musa menegaskan Tuhan ialah Pencipta yang menguasai seluruh alam semesta, jauh melampaui batas kekuasaan manusia.
Kedua penafsiran di atas sama-sama memberikan penjelasan terkait adanya Tuhan sebagai Tuhan Pencipta alam semesta, manusia ada di dunia adanya Tuhan yang menciptakan. Manusia diajak untuk merenungkan keberadaan dan kebesaran Tuhan melalui ciptaan-Nya dan menggunakan akal serta hati nurani untuk mengenalNya.
Pada dasarnya gaya hidup dengan istilah agnostik dikalangan anak muda tidaklah keren, karena sejatinya kita membutuhkan agama untuk menuntun kita pada jalan yang benar dan menjadikan kita untuk semakin memperkuat iman pada Tuhan Pencipta.
Tanpa adanya landasan iman yang kuat, seseorang cenderung mudah terombang-ambing oleh arus duniawi dan kehilangan arah untuk hidup.
Pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai agnostik juga cenderung negatif, menegaskan bahwa paham agnostik tidak sesuai dengan norma agama dan Pancasila, yang terkhusus sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mereka berpendapat bahwa tidak ada tempat bagi keyakinan yang meragukan eksistensi Tuhan dalam ajaran Islam. Dengan demikian, jika di Indonesia dengan adanya gaya hidup seperti ini, akan ada tantaangan besar dalam hal penerimaan sosial dan hukum.
Meskipun tidak ada larangan formal untuk menganut paham ini, maka karakter bangsa yang sudah dibentuk mulai adanya diskriminasi karena tidak beragama dan berujung pengucilan karena Indonesia sendiri termasuk menjaga Hak Asasi Manusia untuk kebebasan dalam beragama.