Di era media sosial kali ini, kata “flexing” telah menjadi pembicaraan hangat di kalangan anak muda. Istilah yang awalnya berasal dari budaya Amerika Serikat ini kini telah merambah ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Bukan sekadar pamer biasa, flexing telah menjadi fenomena sosial yang kompleks dan menarik untuk dibahas.Flexing pada dasarnya adalah perilaku memamerkan kemewahan, pencapaian, atau status sosial melalui berbagai media, terutama media sosial.
Bagi sebagian orang, flexing menjadi cara untuk mendapatkan pengakuan, membangun citra diri, atau sekadar mencari perhatian. Namun, di balik kilapnya foto-foto mewah tersebut, terdapat dinamika psikologis dan sosial yang sangat menarik untuk diungkap.
Motivasi di balik perilaku flexing sangatlah beragam. Ada yang melakukannya sebagai strategi pemasaran personal, ada pula yang sekadar ingin menunjukkan eksistensi. Psikolog menjelaskan bahwa flexing tidak melulu soal materi, tetapi bisa juga mencakup pencapaian, hubungan, atau keberhasilan personal lainnya.
Namun, di sisi lain, perilaku ini kerap kali menimbulkan dampak negatif yang tidak disadari. Dampak flexing ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi orang lain untuk berkembang.
Namun, di sisi lain, flexing berpotensi menciptakan kesenjangan sosial, memicu rasa iri, dan mendorong perilaku konsumtif yang tidak sehat. Tidak jarang, orang rela mengeluarkan biaya besar sekadar untuk terlihat “keren” di mata publik.
Dari perspektif agama, khususnya Islam, flexing bertentangan dengan ajaran tentang kesederhanaan dan rendah hati. Al-Qur’an dengan jelas mengingatkan bahwa harta bukanlah tujuan akhir kehidupan, melainkan sekadar perantara.
Ayat-ayat suci mengajarkan kita untuk tidak sombong dan membanggakan diri berlebihan, melainkan fokus pada kualitas spiritual dan moral. Lalu, bagaimana kita bisa bijak menyikapi fenomena flexing? Kuncinya ada pada penguatan karakter internal dan eksternal.
Secara internal, kita perlu mengembangkan sikap rendah hati, rasa syukur, dan menanamkan filosofi bahwa keberhasilan sejati tidak diukur dari materi. Secara eksternal, kita perlu cerdas dalam menggunakan media sosial, memilih lingkungan yang sehat, dan tidak terperangkap dalam kompetisi semu.
Flexing pada akhirnya adalah cermin kompleksitas budaya digital masa kini. Ia mengungkap begitu banyak hal tentang psikologi sosial, hasrat manusia akan pengakuan, dan cara kita mendefinisikan keberhasilan.
Namun, di balik semua kilapan dan pamer tersebut, ingatlah satu hal penting: Hakikat kehidupan tidak terletak pada apa yang kamu tunjukkan, melainkan pada kualitas dirimu yang sebenarnya.
Dalam Islam, pamer atau riya’ dipandang sebagai sikap tercela yang mendekati dosa besar. QS Luqman: 18-19, menekankan pentingnya rendah hati, tidak bersikap sombong, dan menjaga kesederhanaan dalam perilaku sehari-hari.
Harta dalam Islam dipandang sebagai titipan Allah yang harus dimanfaatkan dengan bijak. Kesombongan dalam memamerkan kekayaan atau pencapaian hanya akan menjauhkan manusia dari keberkahan QS. Luqman ayat 18-19;
وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِی ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالࣲ فَخُور وَٱقۡصِدۡ فِی مَشۡیِكَ وَٱغۡضُضۡ مِن صَوۡتِكَۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَاتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِیْرِ ١9
“Dan janganlah engkau memalingkan pipimu dari manusia dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah dalam berjalanmu dan lunakkan suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”
Setelah menceritakan kisah surah Luqman ayat 13 mengenai nasihat tentang akidah, surah Luqman ayat 18-19 memuat bagian nasihat mengenai akhlak. Diantara uraian nasihat akhlak pada surah Luqman ayat 18-19 diantaranya adalah tidak memalingkan pipi (wajah) dari manusia karena sikap sombong maupun untuk menghina orang lain.
Akan tetapi hendaknya hadapkanlah wajahmu kepada seseorang dengan wajah berseri dan rendah hati. Janganlah berjalan di bumi dengan sombong dan angkuh. Namun berjalanlah dengan lembut dan penuh wibawa.
Menurut tafsir al-Misbah, Penafsiran kata فِى اْلاَرْضِ yaitu bahwa manusia berasal dari tanah, sehingga hendaknya ia tidak diri dan melangkah angkuh di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai limpahan rahmatNya membuat manusia menjadi sombong.
Kata مُخْتَالًاberasal dari akar kata yang sama dengan خَيَّالًا yang berarti khayal. Dalam hal iniخَيَّالًا dimaknai dengan seseorang yang tingkah lakunya diarahkan oleh khayalannya, bukan pada kenyataan yang ada pada dirinya.
Sikap seperti ini cenderung membuat seseorang menjadi angkuh dan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Inilah kemudian yang disebut dengan fakhura yaitu membanggakan apa yang ia miliki meskipun pada hakikatnya itu bukanlah miliknya.
Mukhtalan dan fakhura sama-sama berarti kesombongan, namun Mukhtalan berarti sombong dalam tingkah laku sedangkan fakhura berarti sombong dalam ucapan. Kemudian berjalanlah dengan sederhana, dalam artian berjalan sederhana dengan tidak membusungkan dada atau merunduk bagaikan orang sakit.
Serta lunakkanlah suaramu karena sejelek-jelek suara adalah suara keledai. Ayat ini menggunakan kata perintah ughdhud yang terambil dari kata ghad yang berarti penggunaan potensi secara tidak sempurna.
Perintah gadhdh jika ditujukan kepada suara maka manusia diminta untuk tidak mengeraskan suara namun juga tidak berbicara dengan suara berbisik.
Kontekstualisasi penafsiran ayat-ayat flexing kiranya dapat di aktualisasikan melalui strategi pencegahan perilaku flexing melalui penguatan karakter yang bersifat internal maupun eksternal.
Penguatan karakter ini merupakan suatu hal yang krusial, mengingat besarnya pengaruh flexing terhadap kesehatan psikologis dan moral.
Beberapa karakter untuk mencegah perilaku flexing yang bersifat internal: Pertama, rendah hati (tawadhu’). Karakter rendah hati membuat seseorang menyadari bahwa semua yang dimilikinya ialah bentuk kasih sayang Allah, bukan semata-mata miliknya untuk meraasa lebih baik dari orang lain maupun memamerkan apa yang ia miliki.
Kedua, syukur. Bersyukur atas nikmat yang telah diberikan akan menimbulkan perasaan cukup atau yang disebut dengan karakter qana’ah. Dengan bersyukur, pasti akan mendapatkan ketenangan serta Allah akan melipat gandakan kenikmatan.