Penulis: Thoha Abil Qasim
wakaf merupakan suatu keistimewaan yang khusus terhadap umat Islam saja. Wakaf sendiri adalah memberinya seseorang dengan suka rela (tanpa imbalan) terhadap suatu harta benda yang dapat diambil manfaatnya, atau memberikan berupa manfaatnya saja. Oleh karena itu orang yang menerima barang wakaf (Mauquf alaih) boleh mengambil manfaat keuntungan atau hasil dari barang itu ketika bentuk benda wakafnya itu mutlak tidak disayaratkan apapun.
Maka dari itu boleh dan tidaknya si Mauquf alaih untuk mengambil manfaat dari barang wakaf tersebut itu tergantung bentuk wakafnya. Karena kadang si Mauquf alaih hanya boleh mengambil keuntungan dari hasil bendanya itu, tapi bukan manfaat yang dikhususkan. Keuntungan yang diperoleh oleh Mauquf alaih, itu bermacam-macam, bisa seperti uang sewa, air susu, buah dan juga dahannya, dan seterusnya.
Karena Mauquf alaih bisa menikmati keuntungan dan manfaat dari benda wakaf, maka baginya boleh-boleh saja melakukan transaksi akan manfaat barang wakaf itu, sebagaimana miliknya sendiri. Dalam artian Mauquf alaih bisa langsung memiliki, atau dengan mentasharrufkan ke orang lain. Nah kalau keuntungannya itu nanti mau ditransaksikan kepada orang lain, maka tidak boleh menyalahi apa yang sudah menjadi syarat dalam akad wakaf, seperti tidak boleh menjual kepada anak kecil.
Ketika suatu benda diwakafkan dengan pengambilan manfaat yang dibatasi (Muqayyad), seperti misalnya unta hanya diperbolehkan untuk ditunggangi saja dan tidak diperbolehkan unutk memerah susunya. Maka kalau begitu manfaat bendanya yang lain seperti air susunya, itu tetap dimiliki oleh orang yang mewakafkan (waqif). Dengan demikian, orang yang menerima wakaf tidak boleh mengambil semua keuntungan atau manfaat dari unta tersebut, dan dia hanya boleh menunggangi saja.
“Perlu diingat”, bahwasanya dzat barang wakaf yang diberikan kepada orang tertentu atau suatu kelompok, maka sejatinya itu sudah menjadi hak penuh bagi Allah SWT. Artinya, tidak ada seorangpun yang memiliki kapabilitas dari benda wakaf tersebut.
Buktinya barang wakaf itu sendiri tidak bisa ditransaksikan oleh siapapun dan kapanpun. Sehingga, menurut pendapat yang diunggulkan, misalnya ada seseorang meminjam barang-barang masjid, maka dia wajib memberikan kompensasi, kemudian dibuat untuk kemaslahatan pada masjid tersebut.
Dan dengan kondisi apapun, Barang wakaf tidak boleh dijual. Oleh karena itu, kalau seandainya ada masjid yang roboh dan sulit untuk membangunnya kembali, maka tetap tidak boleh dijual. Dan masjid tersebut tidak bisa kembali atau diambil lagi oleh orang yang mewakafkan.
Tapi kalau hanya tikarnya yang rusak dengan sudah tidak layak lagi untuk digunakan, maka hukumnya boleh dijual itupun kalau ada kemaslahatan. Dan uangnya nanti tetap digunakan untuk kemaslahatan pada masjidnya.
Karena masjid itu merupakan benda wakaf maka bagaimana ketentuan bagi orang yang mengambil manfaatnya? Jadi kalau ada seseorang duluan sampai ke masjid untuk membaca Alqur’an atau hadis atau ilmu Syar’i lainnya, seperti untuk mendengarkan suatu pelajaran, kemudian dia pergi sebentar dengan niat mau kembali lagi, maka haknya dia tetap pada yang ditempati di masjid tersebut. Dalam artian orang lain yang sudah tahu kalau ada orang duluan sampai pada tempat itu, maka haram baginya menempati tanpa seizinnya.
Kasus barusan sama halnya (haknya tetap) dengan orang yang mengkapling shaf salat, baik itu dengan cara meletakkan sajadahnya atau tidak. Akan tetapi model seperti ini kalau nanti salat sudah mau didirikan sementara dianya tidak ada, maka menurut pendapat yang unggul boleh ditempati oleh orang lain, dengan niatan untuk menyempurnakan shaf salat. Namun kalau ada sajadahnya, maka tidak boleh langsung ditempati, melainkan dengan cara menggeser dengan kaki tanpa harus diangkat.
Wallahu A’lam