Penulis: Muhammad Ziaurrahman*
Alqur’an terjaga keasliannya sepanjang zaman dan diriwayatkan secara mutawattir di setiap zamannya. Dalam kehidupan umat Islam, Alqur’an tidak hanya menjadi teks suci, tetapi juga sebagai tradisi yang terus hidup dan terjaga.
Berikut tradisi yang menjadi pondasi kokoh dari keberkahan dan kemuliaan Alqur’an, yaitu sab’atu ahruf dan qira’ah sab’ah. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi hubungan kedua tradisi ini.
Sab’ah Ahruf
Sab’atu Ahruf merupakan konsep dalam ilmu Alqur’an yang mengacu pada keyakinan bahwa Alqur’an diwahyukan dalam tujuh lahjah atau gaya bahasa yang berbeda, tetapi kesatuan makna tetap terjaga. Terdapat hadis mutawattir diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa Alqur’an diturunkan dengan tujuh huruf (sab’ah ahruf), berikut ini:
أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ فَيَزِيدُنِي حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
“Jibril telah membacakan kepadaku dengan satu huruf, maka aku pun kembali kepadanya untuk meminta agar ditambahkan, begitu berulang-ulang hingga berakhirlah dengan tujuh huruf” (H.R. Muslim no. 1355).
Hadis tersebut memberikan keterangan bahwa Sab’atu ahruf merujuk pada keyakinan bahwa Alqur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW memiliki tujuh variasi/gaya bacaan yang diizinkan dan kesatuan makna tetap terjaga. Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar ulama dan yang paling mendekati kebenaran.
Konsep sab’atu ahruf mengakui bahwa bahasa Arab memiliki keberagaman dialek (lahjah) dan konsep ini tidak mengubah makna atau isi Alqur’an. Sab’atu Ahruf menunjukkan rahmat Allah SWT yang memberikan kemudahan dalam keberagaman, sehingga Alqur’an dapat diakses dengan lebih mudah oleh masyarakat yang memiliki latar belakang bahasa Arab yang beragam pada masa itu dan diizinkan untuk memakai salah satu dialek yang sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Qira’at Sab’ah
Menurut al-Zarqani, qira’at sab’ah merujuk pada mazhab yang dianut oleh 7 imam qira’at serta kesepakatan riwayat-riwayat dari jalur-jalurnya. Perbedaan bacaan para imam qira’at mencakup pengucapan huruf-huruf atau bentuk-bentuknya. Sedangkan menurut al-Zarkasyi, qira’at adalah perbedaan bacaan qira’at yang berada dalam lafaz-lafaznya, tidak hanya huruf-huruf tetapi juga dalam pengucapan takhfit, tasydid, dan aspek lainnya.
Tujuh imam qira’at tersebut adalah Nafi’ al-Madani, Ibnu Katsir al-Makki, Abu Amr al-Bashri, Ibnu Amir as-Syamsi, ‘Ashim al-Kuffi, Hamzah al-Kuffi, dan al-Kisa’i al-Kuffi dan juga setiap imam qira’at memiliki dua perowi yang masyhur.
Pendapat al-Sabuni Qira’at Sab’ah bersifat Mutawattir, karena mazhab bacaan para imam qira’at sampai kepada Rasulullah SAW. Para imam qira’at mewariskan bacaan qira’at secara secara lisan dari generasi ke generasi.
Qira’at Sab’ah merupakan bukti nyata dari pemeliharaan Alqur’an secara tradisi lisan. Para imam qira’at bertanggung jawab dalam menyampaikan Alqur’an dengan tepat sesuai dengan sanad qira’at mereka, dan menjaga keaslian serta kemuliaan Alqur’an.
Hubungan Sab’ah Ahruf dengan Qira’at Sab’ah
Banyak orang awam yang mengartikan sab’ah ahruf pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dengan tujuh qira’at atau qira’at sab’ah, padahal pemaknaan tersebut tidaklah tepat karena keduanya memilik artian yang berbeda tetapi saling berhubungan.
Hubungan antara sab’ah ahruf dengan qira’at sab’ah adalah seperti hubungan antara rumah dengan kamar. Ahruf ibarat rumah sedangkan qira’at ibarat kamar.
Bagaimanapun banyaknya qira’at yang ada, keseluruhan berada dalam lingkup ahruf. Namun, tidak semua ahruf itu terdapat dalam satu qira’at, adakalanya huruf tertentu disebutkan dalam satu qira’at dan tidak disebutkan dalam qira’at lainnya.
Jadi, sab’ah ahruf merupakan dasar atau landasan serta membuka pintu variasi bacaan dari sebuah qira’at, dan qira’at sab’ah merupakan hasil dari landasan tersebut meskipun tidak keseluruhan sab’ah ahruf tercakup pada qira’at sab’ah.
Simpulan
Sab’atu ahruf dan qira’at sab’ah merupakan tradisi yang terjaga dari Alqur’an. Kedua konsep ini bukan hanya sekedar bacaan, tetapi merupakan warisan yang hidup dalam tradisi lisan umat Islam.
Mari kita terus menjaga tradisi ini, Semoga artikel ini membawa manfaat bagi pembaca untuk terus mempelajari, mendalami dan menghargai Alqur’an dengan lebih dalam dan kaya makna.
*) Mahasiswa prodi Ilmu Alqur’an dan Tafsir, UIN Sunan Ampel Surabaya