Tokoh

Viralitas vs Moralitas: Apa Pendapat Para Filsuf Islam?

3 Mins read

 

 

Hari-hari ini
kita dihadapkan dengan salah satu persoalan moral yang sangat serius. Salah
satu misalnya adalah fenomena “no viral, no justice”, jangan harap
keadilan kalau tidak bisa viral. Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan mereka
yang tidak bisa memviralkan kasusnya? Apakah mereka hanya bisa pasrah terhadap
takdir saja? Sebab hanya orang-orang yang viral yang dianggap benar. Dan orang tidak
bisa viral pastilah dianggap salah. Sebelum era digital internet masalah moral
sudah runyam. Apalagi Sekarang ditambah dengan adanya sosmed, Masalah moral
hari ini semakin pelik.

Namun sebelum
kita merenungkan masalah moral ini, tidak usah lah perlu jauh-jauh dahulu
menghubungkannya dengan viral sosmed. Persolan moral memang masalah yang sulit.
Saking sulitnya ini berkaitan langsung dengan akidah. Oleh karena itu, Mari
kita pahami dulu persoalan moral ini seperti yang telah dibahas para ulama
islam terdahulu. Filsuf Muslim terdahulu sudah terlibat banyak perdebatan
tentang moral. bila kita memahami moralitas sesuai kacamata filsuf Islam ini,
maka kita akan paham dengan berbagai persoalan moral yang sedang viral sekarang
ini. InsyaAllah.

Ketika bicara
moral, Dalam Islam, dulunya ada dua mazhab pemikiran yang cukup terkenal
berkaitan dengan konsep kehendak bebas versus determinisme. Dua mazhab itu
adalah Jabariah dan Qadariah. Jabariah cenderung ke arah determinisme yang
kuat, percaya bahwa manusia tidak memiliki kebebasan kehendak dan semua
tindakan mereka sudah ditentukan oleh Allah. Sebaliknya, Qadariah terlalu
percaya kehendak bebas manusia, percaya bahwa individu memiliki kekuatan penuh
atas tindakan mereka dan Allah tidak menentukan setiap kejadian dalam kehidupan
manusia.

Dalam rangka
menengahi 2 mazhab itu, masing-masing filsuf islam punya cara pandangnya
sendiri. Berikut adalah “Landasan Filosofis” yang menggali lebih
dalam tentang aspek filosofis dari etika dan moralitas dalam Islam:

1.       Ketika bicara moral, para filsuf islam itu sampai pada
perdebatan tentang kebebasan manusia dan ikatan takdir. Apakah semua tindakan
kita bergantung kepada kehendak Allah atau kita punya kemampuan bebas untuk
membuat pilihan moral. Berdirilah  mazhab
teologi Ash’ari, Al-Ash’ari mengembangkan doktrin yang berusaha menyatukan
kehendak bebas manusia dengan predestinasi ilahi. Beliau mengajukan konsep
kasb” yang menyatakan bahwa tindakan manusia adalah hasil
dari penciptaan Allah, tetapi manusia memiliki tanggung jawab atas pemerolehan
tindakan tersebut.

2.       Mirip dengan  Al-Ghazali:
Dalam karyanya “Tahafut al-Falasifah” (The Incoherence of the
Philosophers
), Al-Ghazali membantah beberapa argumen filsuf sebelumnya
tentang kehendak bebas dan determinisme. Dia menekankan bahwa Allah adalah
penyebab utama semua peristiwa tetapi juga mengajarkan bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk memilih, yang bertanggung jawab secara moral atas tindakan
mereka.

3.       Ketika bicara moral, para filsuf islam juga sampai membahas
tentang Sifat Kebaikan dan Kejahatan. Siapa yang menciptakan kebaikan, apakah
Allah juga menciptakan kejahatan? Datanglah Ibn Sina (Avicenna). Ibn Sina
membahas sifat kebaikan dan kejahatan dalam konteks tujuan akhir manusia dan
kesempurnaan. Dia menganggap kebaikan adalah potensi paling alami dalam diri
kita sedangkan kejahatan hanyalah sebagai kekurangan atau ketiadaan kebaikan
yang seharusnya ada. Ini sama seperti bahwa kegelapan itu tidak ada. Yang ada
hanyalah ketiadaan cahaya. Begitu pula dengan dingin itu tidak ada. Yang ada
hanyalah ketiadaan panas.

4.       Ini hampir sama dengan pendapat Ibnu Rusyd. Namun beliau sangat
berfokus pada potensi akal manusia. Pentingnya akal dalam memahami teks agama
dan bagaimana ini berhubungan dengan tindakan moral manusia. Dengan logika Aristotelian,
beliau punya kritikan dengan pandangan Al-Ghazali. Meskipun begitu, Dia
berargumen bahwa pengetahuan dan akal manusia adalah alat untuk memahami
kehendak ilahi dan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk bertindak dengan
kehendak bebasnya.

5.       Sama pula dengan Al-Kindi: Dalam berbagai tulisannya, Al-Kindi mengajak
kita  menggunakan filsafat Yunani dan
logika untuk memahami dan mendefinisikan prinsip-prinsip etika Islam. Dia
percaya bahwa akal manusia adalah kunci untuk mendekati kebenaran ilahi.

6.       Tapi jangan lupa juga dengan Ibn Taymiyyah, bahwa meskipun kita punya
kehendak bebas dan akal kita, kita tetap mempertanggungjawabkan segalanya
kepada Allah. Wanti-wanti ini diperkuat oleh Ibn Hazm: Dalam karyanya yang
berjudul “Al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal”, Ibn Hazm
mengkritik kita yang  menggunakan akal
secara berlebihan ketika membahas moral.

Dari
pendapat-pendapat para ulama itu, pada akhirnya kita sadar, meskipun viralisme
yang sedang diidap oleh masyarakat, dan ini adalah bagian dari takdir Allah
atas dunia yang serba digital ini. Tapi tetap saja  akal punya posisi penting, kita tidak bisa
bergantung pada keviralan. Kita tetap bisa mencegah segala kejahatan tanpa
perlu menunggu algoritma keviralan. Karena viral juga hanyalah bentuk lain dari
sifat ingin pamer manusia. artinya tetap kita juga yang memberikan pengaruh
keviralan itu. Lalu mengapa kita tidak mempamerkan kebaikan akal kita? Mulailah
dengan memviralkan moral yang baik. Ini adalah bentuk Ittiba’ perjuangan
keadilan yang paling pertama yang bisa kita lakukan. InsyaAllah keviralan
kebaikan kita bisa menghilangkan keviralan kejahatan dimana-mana. Sekian.

 

Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa Doktoral Pendidikan Kader Ulama & Universitas PTIQ Jakarta)

2363 posts

About author
http://kuliahalislam.com
Articles
Related posts
KeislamanTokoh

Gus Ulil: Al Ghazali dan Dosis Ilmu Yang Harus Kita Pelajari (3) Ilmu dan Ilmuwan

5 Mins read
Di dunia barat, ilmu dan ilmuwan adalah dua sisi yang berbeda dan tidak berkelindan, di mana etika ilmu dan etika ilmuwan bercerai….
ArtikelPendidikanTokoh

2045: Generasi Cemas Era Post-Truth?

6 Mins read
Indonesia adalah negeri yang kaya, baik dari segi alam maupun budaya. Dengan segala kekayaan yang dimiliki, tidak heran jika pemerintah mengusung visi…
KeislamanTokoh

Gus Ulil: Al Ghazali dan Dosis Ilmu Yang Harus Kita Pelajari (2) Ilmu Yang Berfaedah

3 Mins read
Pada hakikatnya tidak ada cela atau “kecelaan” pada ilmu itu sendiri. Pengetahuan yang sesuai dengan realitasnya, termasuk misalnya ilmu sihir sebagai ilmu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights