Penulis: M Althof Aminuddin*
Kasus pembubaran peribadatan Gereja Kristen Kaum Daud di Lampung pada Februari 2023 menggambarkan konflik yang melibatkan masyarakat setempat dan jamaah gereja tersebut.
Dalam menganalisis konflik ini, penulis memilih menggunakan pendekatan Johan Galtung, seorang sosiolog Norwegia dan pendiri utama disiplin studi perdamaian dan konflik, karena dapat memberikan wawasan mendalam mengenai akar permasalahan dan cara mengatasinya.
Johan Galtung dikenal dengan teori konflik strukturalnya yang membedakan antara tiga jenis kekerasan: kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Kekerasan langsung merujuk pada tindakan fisik yang jelas dan terlihat.
Kekerasan struktural terjadi ketika struktur sosial atau institusi mengakibatkan ketidakadilan dan penderitaan. Sedangkan kekerasan kultural adalah aspek budaya yang membenarkan atau melegitimasi kekerasan, baik langsung maupun struktural.
Kekerasan langsung
Dalam konteks kasus pembubaran peribadatan gereja di Lampung, kekerasan langsung terlihat dalam tindakan masyarakat yang membubarkan peribadatan secara paksa. Tindakan ini menciptakan ketegangan dan rasa tidak aman di kalangan jemaat gereja.
Meskipun mungkin ada alasan-alasan yang dikemukakan oleh masyarakat untuk tindakan mereka, seperti ketidak sesuaian izin tempat ibadah atau kekhawatiran akan aktivitas tertentu, tindakan kekerasan tetap tidak dapat dibenarkan sebagai solusi.
Kekerasan struktural
Melihat lebih dalam, kita perlu mempertimbangkan kekerasan struktural yang mungkin ada dalam kasus ini. Kekerasan struktural sering kali tidak terlihat tetapi tetap menyebabkan penderitaan.
Dalam kasus Lampung, kekerasan struktural bisa mencakup kebijakan atau praktik pemerintah lokal yang membatasi kebebasan beragama atau diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas.
Jika gereja tersebut kesulitan memperoleh izin atau menghadapi hambatan birokrasi yang berlebihan, hal ini mencerminkan adanya kekerasan struktural. Ketidakadilan dalam perlakuan terhadap komunitas agama minoritas menciptakan ketidakpuasan dan potensi konflik.
Kekerasan kultural
Kekerasan kultural juga berperan penting dalam kasus ini. Budaya atau norma setempat yang mungkin memandang kelompok agama tertentu sebagai ancaman atau tidak diinginkan dapat memicu konflik.
Jika ada narasi yang berkembang di masyarakat bahwa kelompok agama minoritas tidak cocok dengan budaya lokal atau dianggap mengancam nilai-nilai tradisional, hal ini membenarkan tindakan kekerasan terhadap mereka.
Kekerasan kultural mengakar dalam stereotip, prasangka, dan ideologi yang membenarkan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok tertentu.
Transformasi konflik
Menurut Galtung, penyelesaian konflik yang efektif memerlukan transformasi konflik, bukan hanya penyelesaian sementara. Transformasi konflik melibatkan perubahan struktur sosial, hubungan, dan sikap yang mendasari konflik. Dalam konteks Lampung, transformasi ini dapat dilakukan melalui beberapa langkah.
1. Dialog dan Rekonsiliasi: Membangun dialog antara masyarakat lampung setempat dan jemaat gereja sangat penting. Dialog ini harus difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral dan bertujuan untuk mendengarkan keluhan kedua belah pihak, memahami kebutuhan mereka, dan mencari solusi bersama. Proses ini juga harus mencakup rekonsiliasi dan pembangunan kembali hubungan yang rusak.
2. Reformasi Structural: Pemerintah daerah perlu melakukan reformasi kebijakan untuk memastikan bahwa semua kelompok agama memiliki hak yang sama dalam mendirikan tempat ibadah dan menjalankan kegiatan keagamaan mereka. Prosedur perizinan harus transparan dan adil, serta menghilangkan hambatan yang tidak perlu.
3. Pendidikan dan Kesadaran: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya toleransi dan keragaman melalui program pendidikan dan kampanye kesadaran publik. Ini bisa dilakukan melalui sekolah, media, dan organisasi masyarakat sipil. Mengubah pola pikir yang diskriminatif memerlukan waktu, tetapi sangat penting untuk mencegah konflik di masa depan.
4. Penguatan Hukum: Penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap tindakan kekerasan dan diskriminasi juga sangat penting. Pelaku kekerasan harus diadili sesuai hukum untuk memberikan efek jera dan menunjukkan bahwa negara tidak mentolerir kekerasan dalam bentuk apapun.
5. Pemberdayaan komunitas: Mendukung pemberdayaan komunitas agama minoritas agar mereka memiliki suara dan peran aktif dalam masyarakat. Pemberdayaan ini bisa berupa dukungan ekonomi, pendidikan, dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan lokal.
Melalui pendekatan Johan Galtung, kita bisa memahami bahwa penyelesaian konflik tidak hanya cukup dengan menghentikan kekerasan langsung, tetapi juga harus mengatasi akar penyebab yang berupa kekerasan struktural dan kultural.
Transformasi konflik dalam kasus di Lampung memerlukan upaya kolaboratif dari pemerintah, masyarakat sipil, dan semua pihak yang terlibat untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan dan keadilan sosial bagi semua kelompok agama.