Artikel

Pelaksanaan Kurban Ditinjau dari Aspek Historis, Syariah dan Hikmah

66 Mins read























Sejarah
Qurban Pertama yang Dilaksanakan Habil dan Qabil dan Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ 
dalam Tafsir
Qur’an Ibnu Katsir

Sejarah Qurban Habil dan Qabil Berdasarkan Tafsir Surat
Al-Maidah, ayat 27-31

وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ
مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ (
27) لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا
بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ
الْعَالَمِينَ (
28)
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ
النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ (
29) فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ
مِنَ الْخَاسِرِينَ (
30)
فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي
سَوْءَةَ أَخِيهِ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا
الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ (
31)

Artinya : Ceritakanlah kepada mereka kisah dua putra Adam (Habil
dan Qabil) menurut yang
sebenarnya, ketika keduanya mem­persembahkan kurban, maka diterima dari salah dari
mereka berdua (Habil) dan
tidak diterima dari yang lain (Qabil).Ia (Qabil) berkata,
“Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil, “Sesungguhnya Allah hanya
menerima (kurban) dari
orang-orang yang bertakwa.” “Sungguh, kalau kamu menggerakkan
tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan
tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan
seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dari dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi
penghuni neraka, dan yang demikian itu­lah pembalasan bagi orang-orang yang
zalim.” Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh
saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara
orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak
menggali-gali di bumi untuk mem­perlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya dia menguburkan mayat
saudaranya. Berkata (Qabil), “Aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti
burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena
itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.

Tafsir Al-Qur’an
Q.S Al-Maidah ayat 27-31 Riwayat Ibnu Katsir

Ibnu Katsir nama lengkapnya adalah Abu Fida Imaduddin
Ismail ibn Umar ibn Katsir ibn Dhau’ ibn Katsir al-Quraisy ad-Dimasyqi. Lahir
di Masjidil, sebuah Dusun di wilayah Bushara pada tahun 700 Hijriah (1300 M).
Ibnu Katsir sudah hafal Al-Qur’an usia 11 tahun. Beliau berguru dengan beberapa
Ulama besar diantaranya Ibnu Taimiyah, Imam Adz-Ddzahabi, Abu al-Hajjaj
al-Mizzi dan menikahi puterinya. Tahun 748 H, Ibnu Katsir menggantikan gurunya
yakni Imam adz-Dzhabi sebagai guru dalam bidang Hadis pada lembaga pendidikan
Turba Umm Shalih.

Tafsir Ibnu Katsir merupakan karya fenomenalnya. Ibnu
Katsir wafat pada Hari Kamis 26 Sya’ban 774 H (1373 M) dan dimakamkan disisi
makam gurunya Ibnu Taimiyah yang terletak di pemakaman Sufi, kota Damaskus
(Suriah).Buku Qashash al-Anbiya (Kisah Para Nabi) merupakan karya fenomenalnya
selain Tafsir Ibnu Katsir. Kisah-kisahnya bersandar pada Al-Qur’an dan Hadis
Sahih. Populeritasnya dimulai ketika beliau terlibat dalam penelitian yang
diprakarsai oleh Gubernur Damaskus yaitu Atlunbuga an-Nashiri di akhir tahun
741 H.

Sejarah pelaksanaan
Qurban yang dilaksanakan putera Nabi Adam yaitu Habil dan Qabil dijelaskan
secara rinci oleh Ibnu Katsir dalam karya besarnya yaitu Tafsir Al-Qur’an Ibnu
Katsir dan kitab Qashash al-Anbiya (Sejarah Para Nabi). Penjelasan di bawah ini
akan menggunakan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6 dan Qashhash al Anbiya.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa As-Saddi
telah mengatakan sehubungan dengan kisah yang ia terima dari Abu Malik dan dari
Abu Saleh, dari Ibnu Abbas; juga dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud. serta dari
sejumlah sahabat Nabi
bahwa tidak sekali-kali dilahirkan anak
(laki-laki) bagi Nabi Adam
عَلَيْهِ السَلاَمُ melainkan disertai dengan
lahirnya anak perempuan.

Nabi Adam عَلَيْهِ
السَلاَمُ
 selalu mengawinkan anak lelakinya dengan anak
perempuan yang lahir tidak seperut dengannya, dan ia mengawinkan anak
perempuannya dengan anak lelaki yang lahir tidak seperut dengannya. Pada
akhirnya dilahirkan bagi Nabi Adam dua anak laki-laki yang dikenal dengan nama
Habil dan Qabil. Setelah besar Qabil adalah ahli dalam bercocok tanam,
sedangkan Habil seorang peternak.

Qabil ber­usia lebih tua daripada Habil, dia
mempunyai saudara perempuan se­perut yang lebih cantik daripada saudara
perempuan seperut Habil. Kemudian Habil meminta untuk mengawini saudara
perempuan Qabil, tetapi Qabil menolak lamarannya dan berkata, “Dia adalah
saudara perempuanku yang dilahirkan seperut denganku, lagi pula dia lebih
cantik daripada saudara perempuanmu, maka aku lebih berhak untuk
mengawininya.”

Padahal Nabi Adam عَلَيْهِ
السَلاَمُ

telah memerintahkan kepada Qabil untuk menikahkan saudara perempuannya dengan
Habil, tetapi Qabil tetap menolak. Kemudian keduanya melakukan suatu kurban
kepada Allah untuk menentukan siapakah di antara keduanya yang berhak mengawini
saudara perempuan yang diperebutkan itu.

Saat
itu Nabi Adam
عَلَيْهِ السَلاَمُ telah pergi meninggalkan mereka berdua, dia
datang ke Mekah untuk ziarah dan melihat Mekah. Allah berfirman, “Tahukah
kamu bahwa Aku mempunyai sebuah rumah di bumi ini?” Adam menjawab,
“‘Ya Allah, saya tidak tahu.” Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku
mempunyai sebuah rumah di Mekah, maka datangilah.” Kemudian Adam berkata
kepada langit.”Jagalah anak-anakku sebagai amanat,” tetapi langit menolak;
dan ia berkata kepada bumi hal yang semisal, tetapi bumi pun menolak. Maka Adam
berkata kepada Qabil. Qabil menjawab, “Ya, pergilah engkau. Kelak bila
engkau kembali, engkau akan menjumpai keluargamu seperti yang engkau
sukai.” Setelah Adam
عَلَيْهِ السَلاَمُ berangkat, mereka berdua melakukan suatu
kurban. Sebelum- itu Qabil membanggakan dirinya atas Habil dengan mengata­kan,
“Aku lebih berhak mengawininya daripada kamu, dia adalah saudara
perempuanku, dan aku lebih besar daripada kamu serta akulah yang di-wasiati
oleh ayahku.”

Habil mengurbankan seekor domba yang gemuk,
sedangkan Qabil mengurbankan seikat gandum, tetapi ketika ia menjumpai sebulir
gandum yang besar di dalamnya, segera dirontokkannya dan di­makannya. Dan
ternyata api turun, lalu melahap kurban Habil, sedang­kan kurban Qabil
dibiarkan begitu saja (tidak dimakan api).

Menyaksikan hal itu Qabil marah, lalu berkata,
“Aku benar-benar akan membunuhmu agar kamu jangan mengawini saudara
perempuanku.” Maka Habil hanya menjawab, dengan menyatakan :”Sesungguhnya
Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.”

Demikianlah yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Jarir semoga Allah
meridhainya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Muhammad ibnus Sabbah. telah menceritakan kepada kami Hajjaj.

Dari
Ibnu Juraij. telah menceritakan kepadaku Ibnu Khasyam. Ibnu Juraij mengatakan
bahwa ia datang bersama Sa’id ibnu Jubair, lalu Ibnu Khasjam menceritakan dari
Ibnu Abbas semoga Allah meridainya, bahwa Nabi Adam 
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
melarang
seorang wanita kawin dengan saudara lelaki kembarannya, dan ia memerintahkan
agar wanita itu dikawini oleh lelaki lain dari kalangan saudara-saudara lelaki
lain yang tidak sekembar dengannya.

Tersebutlah bahwa setiap Nabi Adam عَلَيْهِ السَلاَمُ mempunyai anak, dari setiap
perut lahirlah seorang bayi laki-laki dan seorang bayi perempuan. Ketika mereka
(Nabi Adam
عَلَيْهِ السَلاَمُ dan para putranya)
menjalankan peraturan tersebut, tiba-tiba lahirlah seorang anak perempuan yang
cantik dan lahir pula seorang anak perempuan yang buruk wajahnya (dari lain
perut). Lalu saudara lelaki dari wanita yang buruk rupa itu berkata (kepada
saudara lelaki wanita yang cantik), “Kawinkanlah aku dengan saudara
perempuanmu, maka aku akan menikahkanmu dengan saudara perempuanku.”

Lelaki saudara si perempuan yang cantik
menjawab, ‘Tidak, akulah yang lebih berhak untuk mengawini saudara
perempuanku.” Maka keduanya melakukan suatu kurban, dan ternyata yang
diterima adalah kurban milik peternak, sedangkan kurban milik petani tidak
diterima, maka si petani (Qabil) membunuh si peternak (Habil). Sanad asar ini  jayyid.
Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu
Salamah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Abdullah ibnu
Usman ibnu Khasyam, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: ketika keduanya
mempersembahkan kurban (Q.S  Al-Maidah: 27).

Mereka menyuguhkan
kurbannya masing-masing, pemilik ternak menyuguhkan kurban seekor domba putih
bertanduk lagi gemuk, sedangkan pemilik lahan pertanian menyuguhkan seikat
bahan makanan pokoknya. Maka Allah menerima domba dan menyimpannya di dalam
surga selama empat puluh tahun.

Domba itulah yang kelak akan disembelih oleh
Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ السَلاَمُ Sanad asar ini jayyid(baik). Ibnu Jarir
mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, te­lah menceritakan kepada kami
Auf, dari Abul Mugirah. dari Abdullah ibnu Amr yang telah menceritakan bahwa
sesungguhnya kedua anak lelaki Adam yang menyuguhkan kurban, lalu kurban salah
seorangnya diterima, sedangkan kurban yang lainnya tidak diterima; salah
seorangnya adalah ahli bercocok tanam, sedangkan yang lainnya ada­lah peternak
domba. Keduanya telah diperintahkan untuk memper­sembahkan suatu kurban.

Sesungguhnya pemilik
ternak mengurbankan seekor kambing yang paling gemuk dan paling baik yang ada
pada miliknya dengan hati yang tulus ikhlas, tetapi si petani menyuguhkan hasil
panennya yang paling buruk yaitu kuz dan zuwwan serta dengan hati yang tidak
ikhlas pula. Dan ternyata Allah menerima kurban si pemilik ternak dan tidak mau
menerima kurban si petani. Kisah mengenai keduanya disebutkan oleh Allah Swt.
di dalam Al-Qur’an.

Ibnu Jarir
mengatakan, “Demi Allah, sesungguhnya si terbunuh adalah orang yang lebih
kuat. Tetapi karena takut dengan dosa, ia tidak berani menjatuhkan tangannya
kepada saudaranya.” Ismail ibnu Rafi’ Al-Madani mengatakan bahwa telah
dikisahkan kepadaku bahwa kedua anak Adam ketika diperintahkan untuk
menyuguhkan kurban salah seorang di antaranya adalah pemilik ternak kambing.

Dan tersebutlah bahwa salah seekor dari
kambingnya melahirkan anak kambing yang sangat ia sukai, sehingga di malam hari
anak kambing itu dibawanya tidur bersama, dan ia menggendongnya di atas
pundaknya karena sangat sayangnya, sehing­ga tiada baginya harta benda yang
lebih disukainya daripada anak kambing itu. Ketika ia diperintahkan untuk
menyuguhkan kurban, anak kambing itu telah besar, maka ia mengurbankannya
karena Allah. Maka Allah menerimanya, dan kambing itu masih tetap hidup di
surga sehingga dijadikan tebusan sebagai ganti anak Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
.Demikianlah
menurut riwayat Ibnu Jarir.

Ibnu Abu Hatim
mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada
kami Al-Ansari, telah mencerita­kan kepada kami Al-Qasim ibnu Abdur Rahman,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnul Husain yang telah
mengatakan bahwa Adam a.s. berkata kepada Habil dan Qabil, “Sesungguhnya
Tuhanku telah menjanjikan kepadaku bahwa kelak di antara keturunan­ku ada orang
yang menyuguhkan kurban, maka suguhkanlah kurban oleh kamu berdua, hingga
hatiku senang bila melihat kurban kamu berdua diterima.”

Lalu keduanya menyuguhkan kurbannya
masing-masing, dan tersebutlah bahwa Habil adalah seorang peternak kambing,
maka ia mengurbankan seekor kambing yang paling gemuk dan merupakan hartanya
yang paling baik. Sedangkan Qabil adalah seorang petani, maka ia mengurbankan
hasil terburuk dari panennya. Kemudian Adam  
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
berangkat
bersama mereka berdua yang masing-masing membawa kurbannya sendiri-sendiri.

Lalu keduanya menaiki
bukit dan meletakkan kurbannya masing-masing, setelah itu ketiganya duduk
seraya melihat ke arah kurban tersebut. Maka Allah mengirimkan api. Setelah api
berada di atas kurban mereka, maka kambing kurban itu mendekatinya, dan api segera
memakan kurban Habil serta meninggalkan kurban Qabil. Sesudah itu mereka pulang
dan Adam mengetahui bahwa Qabil adalah orang yang dimurkai, maka ia berkata
(kepadanya), “Celakalah kamu, hai Qabil. kurbanmu tidak diterima.”

Tetapi
Qabil menjawab, “Engkau mencintainya dan mendoakan kurbannya. Karena itu
kurban­nya diterima, sedangkan kurbanku tidak diterima.” Lalu Qabil
berkata kepada Habil, “Aku benar-benar akan membunuhmu agar aku tenang
dari mu. Ayahmu mendoakan dan memberkati kurbanmu, karena itu kurbanmu
diterima.” Tersebutlah bahwa Qabil selalu mengancam akan membunuh Habil,
hingga di suatu sore hari Habil tertahan tidak dapat pulang karena mengurusi
ternak kambingnya. Adam
عَلَيْهِ السَلاَمُ merasa khawatir, lalu ia
berkata, “Hai Qabil, ke manakah saudaramu?” Qabil menjawab,
“Apakah engkau menyuruhku untuk menjadi penggembala baginya? Aku tidak
tahu.” Adam berkata marah.”Celakalah kamu,Qabil, berangkatlah kamu dan
cari saudaramu itu.”

Qabil berkata kepada dirinya sendiri.”Malam
ini pasti aku akan membunuhnya.” Lalu ia mengambil sebuah barang yang
tajam dan mendekat ke arah Habil yang saat itu sedang merebahkan tubuhnya. Maka
Qabil berkata, “Hai Habil, kurbanmu diterima, sedangkan suguh­an kurbanku
ditolak, aku benar-benar akan membunuhmu.” Habil menjawab, “Aku
suguhkan kurban itu dari hartaku yang terbaik, sedangkan engkau mengurbankan
hartamu yang buruk. Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik, dan
sesungguhnya Allah hanya mau menerima dari orang-orang yang bertakwa.”

Ketika Habil mengucapkan kata-kata itu, Qabil
marah, lalu ia mengangkat benda tajam itu dan ia pukulkan kepada Habil. Habil
sem­pat berkata, “Celakalah kamu, hai Qabil. Ingatlah kamu kepada Allah,
mana mungkin Dia memberimu pahala dengan perbuatanmu ini!” Ma­ka Qabil
membunuhnya dan melemparkannya di tanah yang legok, lalu menutupinya dengan
tanah.

Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari
sebagian orang yang ahli mengenai kitab terdahulu, bahwa Adam
عَلَيْهِ
السَلاَمُ

memerintahkan kepada putranya yang bernama Qabil untuk menikah dengan saudara
perempuan sekembar dengan Habil, dan memerintahkan kepada Habil untuk mengawini
saudara perempuan yang lahir bersama Qabil.

Habil menuruti
perintahnya dan rela, lain halnya dengan Qabil, ia menolak dan tidak suka kawin
dengan saudara perempuan Habil karena ia menyenangi saudara perempuannya
sendiri. Lalu ia berkata, “Kami dilahirkan di dalam surga, sedangkan
mereka dilahirkan di bumi, ma­ka aku lebih berhak atas saudaraku.”

Sebagian ahli ilmu
mengenai kitab terdahulu ada yang mengata­kan bahwa saudara perempuan Qabil
adalah wanita yang cantik, sehingga Qabil tidak mau menyerahkannya kepada
saudara lelakinya, dan dia bermaksud untuk mengawininya sendiri. Hanya Allah
Yang Maha Mengetahui,mana yang benar di antara kedua pendapat di atas.Maka
ayahnya berkata kepadanya, “Hai anakku Qabil, sesung­guhnya saudara
perempuan kembaranmu itu tidak halal bagimu.”

Tetapi Qabil menolak
perkataan ayahnya itu dan tidak mau menuruti nasihatnya.
Akhirnya ayahnya berkata, “Hai anakku, suguhkanlah kurban. Begitu pula
saudara lelakimu Habil. Maka siapa di antara kamu yang diterima kurbannya,
dialah yang berhak mengawininya.”


Qabil mempunyai mata pencaharian menggarap lahan sawah (petani), sedangkan Habil
adalah seorang peternak. Maka Qabil menyuguhkan kurban berupa gandum, dan Habil
mengurbankan se­ekor kambing yang gemuk lagi muda.

Menurut sebagian dari
mereka, Habil mengurbankan seekor sapi betina. Maka Allah mengirimkan api yang
putih, lalu api itu memakan kurban Habil. sedangkan kurban Qabil dibiarkannya.
Dengan demikian, berarti kurban Habil diterima. Demikianlah menurut Ibnu Jarir.


Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang telah mencerita­kan bahwa pada
saat itu tidak terdapat orang miskin yang akan diberi­nya sedekah (dari
kurbannya), melainkan kurban tersebut hanya semata-mata dilakukan oleh
seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ketika kedua anak
Adam sedang duduk, keduanya mengatakan, “Marilah kita menyuguhkan
kurban.” Dan tersebutlah bila seseorang menyuguhkan kurbannya, lalu
kurbannya itu diterima oleh Allah, maka Allah mengirimkan kepadanya api, lalu
api itu memakan kurbannya; jika kurbannya tidak diterima oleh Allah, maka api
itu padam. Lalu keduanya menyuguhkan kurbannya masing-masing; salah seorang
adalah penggembala, sedangkan yang lainnya petani.

Si peter­nak menyuguhkan kurban berupa seekor
kambing yang paling baik dan paling gemuk di antara ternak miliknya, sedangkan
yang lain berkurban sebagian dari hasil tanamannya. Lalu datanglah api dan
turun di antara keduanya, maka api itu memakan kambing dan membiarkan hasil
panen. Kemudian anak Adam yang kurbannya tidak diterima berkata kepada
saudaranya yang kurbannya diterima, “Apakah nanti kamu berjalan di antara
orang banyak, sedangkan mereka telah mengetahui bahwa engkau telah menyuguhkan
suatu kurban dan ternyata kurban­mu diterima, sedangkan kurbanku tidak diterima
dan dikembalikan kepadaku.

Tidak, demi Allah, manusia tidak boleh
memandang diriku, sedangkan engkau lebih baik dariku.” Kemudian Qabil
berkata, “Aku benar-benar akan membunuhmu.” Lalu saudaranya menjawab,
“Apakah dosaku? Sesungguhnya Allah hanya mau menerima dari orang-orang
yang bertakwa.” Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.

Asar
ini menyimpulkan bahwa penyuguhan kurban yang dilakukan oleh keduanya bukan
karena ada latar belakangnya, bukan pula karena memperebutkan seorang wanita,
seperti apa yang telah disebutkan dari riwayat sejumlah ulama yang telah
disebutkan di atas. Dan memang inilah pengertian yang tersimpulkan dari makna
lahiriah firman-Nya yang mengatakan:

{إِذْ
قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ
الآخَرِ قَالَ لأقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ
الْمُتَّقِينَ}

Ketika keduanya mempersembahkan
kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil), “Aku pasti membunuhmu!”
Berkata Habil, “Sesungguhnya Allah hanya menerima(kurban) dari orang-orang yang bertakwa “ (Al-Maidah: 27).

Konteks ayat ini
menunjukkan bahwa sesungguhnya yang membuat Qabil marah dan dengki ialah karena
kurban saudaranya diterima, sedangkan kurban dirinya sendiri tidak diterima.Kemudian
menurut pendapat yang terkenal di kalangan jumhur ulama, orang yang
mengurbankan kambing adalah Habil, sedangkan yang mengurbankan makanan adalah
Qabil; dan ternyata kurban Habil diterima, sedangkan kurban Qabil tidak.

Sehingga Ibnu Abbas dan lain-lainnya
mengatakan bahwa kambing gibasy itulah yang dijadikan sebagai tebusan bagi diri
Nabi Ismail
عَلَيْهِ السَلاَمُ. Pendapat inilah yang lebih
sesuai, dan hanya Allah Yang Maha Mengetahui. Hal yang sama telah dinaskan
bukan hanya oleh seorang dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, dan pendapat
inilah yang termasyhur. Akan tetapi, Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Mujahid
bahwa ia pernah mengatakan, “Orang yang mempersembahkan kurban berupa
hasil tani adalah Qabil, kurbannyalah yang diterima.” Pendapat ini berbeda
dengan apa yang sudah dikenal, barangkali Ibnu Jarir kurang baik dalam
menghafal asar darinya.

Firman Allah .:

{إِنَّمَا
يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ}

Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa. (Al-Maidah:27)

Yakni dari orang yang
bertakwa kepada Allah dalam mengerjakan hal tersebut.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Ala ibnu Zaid, telah menceritakan kepada
kami Ismail ibnu Ayyasy, telah menceritakan kepadaku Safwan ibnu Amr ibnu
Tamim’ yakni Ibnu Malik Al-Muqri  yang
telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abu Darda berkata,
“Sesungguhnya bila ia merasa yakin bahwa Allah telah menerima baginya
suatu salat, hal ini lebih ia sukai daripada dunia dan seisinya.Karena
sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: Sesungguhnya
Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa’
(Al-Maidah: 27).

Firman Allah .:

{لَئِنْ
بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ
لأقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ}

“Sungguh kalau
kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak
akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut
kepada Allah Tuhan seru sekalian alam.” (Al-Maidah:
28).Hal ini dikatakan oleh saudaranya yaitu seorang lelaki saleh yang kurbannya
diterima oleh Allah— karena takwanya, di saat saudaranya mengancam akan
membunuhnya tanpa dosa sedikit pun.

{لَئِنْ
بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ
لأقْتُلَكَ}

Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu
kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku
kepadamu untuk membunuhmu. (Al-Maidah:
28)
Yakni aku tidak akan membalas perbuatanmu yang jahat itu dengan kejahatan yang
semisal, karena akibatnya aku dan kamu menjadi sama berdosanya.

{إِنِّي
أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ}

Sesungguhnya aku
takut kepada Allah. Tuhan seru sekalian alam.
Yaitu bila aku berbuat seperti apa yang hendak kamu perbuat, melainkan aku akan
tetap sabar dan mengharapkan pahala Allah. 
Abdullah ibnu Amr berkata, “Demi Allah, sesungguhnya dia (si
terbunuh) adalah orang yang paling kuat di antara keduanya, tetapi ia tercegah
oleh perasaan takut berdosa, yakni dia memiliki sifat wara’.”  Karena itulah di dalam kitab Sahihain dari Nabi
disebutkan bahwa Nabi telah bersabda:

“إِذَا تَوَاجَهَ الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا، فَالْقَاتِلُ
وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ”. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا
الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: “إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى
قَتْلِ صَاحِبِهِ”.

Apabila dua orang
muslim saling berhadapan dengan pedangnya masing-masing, maka si pembunuh dan
si terbunuh dimasukkan ke dalam neraka (dua-duanya).
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah
, kalau si pembunuh kami maklumi. Tetapi mengapa si terbunuh dimasukkan
pula ke dalamnya?” Maka Nabi
menjawab: Sesungguhnya
dia pun berkemauan keras untuk membunuh temannya itu.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ،
حَدَّثَنَا لَيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ عَيَّاش بْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ بُسْر بْنِ سَعِيدٍ ؛ أَنَّ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ
قَالَ عِنْدَ فِتْنَةِ عُثْمَانَ: أَشْهَدُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وسلم قَالَ: “إِنَّهَا سَتَكُونُ فِتْنَةٌ، الْقَاعِدُ فِيهَا
خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ، وَالْقَائِمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَاشِي، وَالْمَاشِي خَيْرٌ
مِنَ السَّاعِي”. قَالَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ دَخَلَ عَلَيَّ بَيْتِي فَبَسَطَ
يَدَهُ إليَّ لِيَقْتُلَنِي قَالَ: “كُنْ كَابْنِ آدَمَ”.

Imam Ahmad semoga
Allah merahmatinya, mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Qutaibah
ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Lais ibnu Sa’d, dari Ayyasy ibnu
Abbas, dari Bukair ibnu Abdullah, dari Bisyr ibnu Sa’id, bahwa Sa’d ibnu Waqqas
pernah menceritakan bahwa sehubungan dengan fitnah di zaman Khalifah Usman ia
menyaksikan Rasulullah
bersabda:Sesungguhnya kelak akan ada fitnah
orang yang duduk di masa itu lebih baik daripada orang yang berdiri, dan orang
yang berdiri lebih baik daripada orang yang berjalan, dan orang yang berjalan
lebih baik daripada orang yang berlari. Sa’d
ibnu Abu Waqqas bertanya, “Bagaimanakah menurutmu jika seseorang masuk ke
dalam rumahku, lalu menggerakkan tangannya ke arah diriku untuk
membunuhku?” .

Maka Rasulullah bersabda: Jadilah
kamu seperti anak Adam (Habil). 
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Qutaibah ibnu Sa’id;
dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan. Sehubungan dengan bab ini terdapat
hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Khabbab ibnul Art, Abu Bakar, Ibnu
Mas’ud, Abu Waqid, Abu Musa, dan Kharsyah. Sebagian dari hadis ini diriwayatkan
dari Al-Lais ibnu Sa’d, dan di dalam sanadnya ditambahkan seorang lelaki.

Al-Hafiz ibnu Asakir
mengatakan bahwa lelaki itu adalah Husain Al-Asyja’i.
Menurut hemat kami telah diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud melalui jalur
Husain Al-Asyja’i. Untuk itu Abu Daud mengatakan bahwa:

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ خَالِدٍ الرَّمْلِيُّ، حَدَّثَنَا الْمُفَضَّلُ،
عَنْ عَيَّاشِ بْنِ عَبَّاسٍ عَنْ بُكَيْر، عَنْ بُسْر بْنِ سَعِيدٍ عَنْ حُسَيْنِ
 بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَشْجَعِيِّ؛
أَنَّهُ سَمِعَ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ،
أَرَأَيْتَ إِنْ دَخَلَ عَلَيَّ بَيْتِي وَبَسَطَ يَدَهُ لِيَقْتُلَنِي؟ قَالَ:
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “كُنْ كَابْنِ
آدَم” وَتَلَا يَزِيدُ: {لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا
أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لأقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ
الْعَالَمِينَ}

Telah menceritakan
kepada kami Yazid ibnu Khalid Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl,
dari Ayyasy ibnu Abbas, dari Bukair, dari Bisyr ibnu Sa’id, dari Husain ibnu
Abdur Rahman Al-Asyja’i, bahwa ia pernah mendengar Sa’d ibnu Abu Waqqas,
menceritakan hadis ini dari Nabi
. Untuk itu ia mengatakan, “Aku
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu jika seseorang masuk ke
dalam rumahku, lalu menggerakkan tangannya untuk membunuhku”? Maka
Rasulullah
menjawab melalui sabdanya: Jadilah kamu seperti anak Adam. Lalu membacakan firman-Nya: Sungguh kalau kamu menggerakkan
tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan
tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan
seru sekalian alam.(Al-Maidah:28).

Ayyub As-Sukhtiyani
mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang mula-mula mengamalkan ayat ini dari
umat ini adalah Usman ibnu Affan, radhiallahu anhu, yaitu firman-Nya: “Sungguh kalau kamu menggerakkan
tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan
tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah. Tuhan
seru sekalian alam. (Al-Maidah:
28)”; Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مَرْحوم، حَدَّثَنِي أَبُو
عِمْرَانَ الجَوْني، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الصَّامِتِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ
قَالَ: رَكِبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِمَارًا
وَأَرْدَفَنِي خَلْفَهُ، وَقَالَ: “يَا أَبَا ذَرٍّ، أَرَأَيْتَ إِنْ أَصَابَ
النَّاسَ جوعٌ شَدِيدٌ لَا تَسْتَطِيعُ أَنْ تَقُومَ مِنْ فِرَاشِكَ إِلَى
مَسْجِدِكَ، كَيْفَ تَصْنَعُ؟ “. قَالَ: قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.
قَالَ: “تَعَفَّفْ” قَالَ: “يَا أَبَا ذَرٍّ، أَرَأَيْتَ إِنْ
أَصَابَ النَّاسَ موتٌ شَدِيدٌ، وَيَكُونُ الْبَيْتُ فِيهِ بِالْعَبْدِ، يَعْنِي
الْقَبْرَ، كَيْفَ تَصْنَعُ؟ ” قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ:
“اصْبِرْ”. قَالَ: “يَا أَبَا ذَرٍّ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَ
النَّاسُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، يَعْنِي حَتَّى تَغْرَقَ حِجَارَةُ الزَّيْتِ مِنَ
الدِّمَاءِ، كَيْفَ تَصْنَعُ؟ “. قَالَ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ.
قَالَ: “اقْعُدْ فِي بَيْتِكَ وَأَغْلِقْ عَلَيْكَ بَابَكَ”. قَالَ:
فَإِنْ لَمْ أتْرَك؟ قال: “فأت من أنت منهم، فكن
 فِيهِمْ قَالَ: فَآخُذُ سِلَاحِي؟ قَالَ:
“إذًا تُشَارِكُهُمْ فِيمَا هُمْ فِيهِ، وَلَكِنْ إِنْ خَشِيتَ أَنْ
يُرَوِّعَكَ شُعَاعُ السَّيْفِ، فَأَلْقِ طَرْفَ رِدَائِكَ عَلَى وَجْهِكَ حَتَّى
 يَبُوءَ بِإِثْمِهِ وَإِثْمِكَ”.

Imam Ahmad
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Marwah, telah menceritakan kepadaku
Abu Imran Al-Juni, dari Abdullah ibnus Samit, dari Abu Zar yang telah
menceritakan bahwa Nabi
mengendarai keledai dan memboncengku di
belakangnya, lalu beliau Nabi
bersabda: Hai Abu Zar, bagaimanakah
pendapaimu jika manusia tertimpa kelaparan yang sangat hingga kamu tidak mampu
bangkit dari tempat tidurmu untuk ke masjidmu, maka apakah yang akan kamu
lakukan?” Abu Zar menjawab,
“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah
menjawab, “Peliharalah
kehormatanmu (jangan
meminta-minta).”

Rasulullah bersabda, “Hai Abu Zar, bagaimanakah
pendapatmu jika manu­sia tertimpa kematian yang sangat, sehingga rumahnya
adalah kuburan, maka apakah yang akan kamu lakukan?” Abu Zar menjawab, “Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah
bersabda, ‘Sabarlah.” Lalu
ditanya, “Hai Abu Zar, bagai­manakah
menurutmu, kalau manusia satu sama lainnya saling membunuh, sehingga terjadi
banjir darah, maka apakah yang akan kamu lakukan?” Abu Zar menjawab.”Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui.” Rasulullah
bersabda.”Duduklah di dalam
rumahmu dan kuncilah rapat-rapat pintu rumahmu.” Abu Zar bertanya,
“Bagaimanakah jika aku tidak mau tinggal di rumah?”

 Rasulullah menjawab, “Maka datanglah kepada
orang-orang yang kamu adalah sebagian dari mereka, kemudian bergabunglah dengan
mereka.”Abu Zar bertanya “Berarti aku mengangkat senjataku?” Rasulullah
Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Kalau demikian, berarti kamu ikut
bersama dengan mereka dalam apa yang sedang mereka kerjakan. Tetapi jika kamu
merasa takut akan kilatan pedang, maka tutupilah wajahmu dengan ujung kain
selendangmu, agar dia (si
pembunuh)membawa dosanya sendiri dan dosamu.”

Hadis
diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahlus Sunan, kecuali Imam Nasa’i melalui
berbagai jalur dari Abu Imran Al-Juni, dari Abdullah ibnus Samit dengan lafaz
yang sama. 
Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Hammad ibnu
Zaid, dari Abu Imran, dari Al-Musya’as ibnu Tarif, dari Abdullah ibnus Samit
dari Abu Zar dengan lafaz yang semisal. 
Imam Abu Daud mengatakan bahwa Al-Musya’as tiada yang menyebutkannya dalam
hadis ini selain Hammad ibnu Zaid.

قَالَ ابْنُ مَرْدُويَه: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ دُحَيْم،
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَازِمٍ، حَدَّثَنَا قَبِيصَة بْنُ عُقْبَة، حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ رِبْعِيّ قَالَ: كُنَّا فِي جِنَازَةِ حُذَيفة،
فَسَمِعْتُ رَجُلًا يَقُولُ: سَمِعْتُ هَذَا يَقُولُ فِي نَاسٍ: مِمَّا سَمِعْتُ
مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْه
ِ وَسَلَّمَ: “لَئِنِ اقْتَتَلْتُمْ لَأَنْظُرَنَّ
إِلَى أَقْصَى بَيْتٍ فِي دَارِي، فلألجنَّه، فَلَئِنْ دَخَلَ عَليّ فُلَانٌ
لَأَقُولُنَّ: هَا بُؤْ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ، فَأَكُونُ كَخَيْرِ

ابْنَيْ آدَمَ.

Ibnu
Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu
Duhaim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan
kepada kami Qubaisah ibnu Uqbah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari
Mansur, dari Rib’i yang telah menceritakan, “Ketika kami sedang melayat
jenazah Huzaifah, aku mendengar seorang lelaki berkata bahwa ia pernah
mendengar je­nazah ini mengatakan di antara orang banyak apa yang pernah ia
dengar dari Rasulullah
yaitu: Sungguh jika kalian saling membunuh,
aku benar-benar akan mencari suatu tempat yang paling sulit dicapai di dalam
rumah­ku, dan sungguh aku benar-benar akan bersembunyi di tempat itu. Kalau ada
si Fulan yang masuk kepadaku, maka aku akan katakan kepadanya, ‘Hai, inilah
dosaku dan dosamu, dan aku akan menjadi seperti salah seorang yang paling baik
di antara dua orang anak Adam!’

Firman-Nya:

{إِنِّي
أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ}

Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali
dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan
menja­di penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang
yang zalim. (Al-Maidah: 29)

Ibnu Abbas, Mujahid,
Ad-Dahhak, Qatadah, dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:Sesungguhnya
aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri. (Al-Maidah: 29); Makna yang dimaksud
ialah “memikul dosa membunuhku dan dosamu yang lainnya yang kamu lakukan
sebelumnya”.Demikianlah menurut Tafsir
Ibnu Jarir. 

Sedangkan menurut
yang lainnya, makna yang dimaksud ialah “sesungguhnya aku bermaksud agar
kamu kelak kembali dengan membawa semua dosaku, lalu dosa-dosa itu kamu pikul
bebannya dan juga dosamu dalam membunuhku”. Ini menurut suatu pendapat yang
kujumpai bersumberkan dari Mujahid, tetapi aku merasa khawatir bila ini suatu
kekeliruan, mengingat hal yang benar dari riwayatnya berpendapat berbeda. Yakni
berbeda dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri. dari Mansur,
dari Mujahid. 

Sesungguhnya aku
ingin agar kamu kembali dengan(membawa) dosa (membunuh). (Al-Maidah: 29); Yaitu
karena kamu telah membunuhku. Dan lafaz “ismuka” yakni “dosa-dosamu sendiri
yang telah kamu lakukan sebelum itu”. Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Isa ibnu Abu Nujai’, dari Mujahid.

Syibl telah
meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya aku ingin agar kamu
kembali dengan (membawa) dosa (membunuh) dan dosamu.sendiri. (Al-Maidah: 29); Makna yang dimaksud
ialah bahwa sesungguhnya aku bermaksud agar kamu memikul semua dosa-dosaku dan
dosa membunuhku, maka ka­mu kembali kelak dengan membawa dan memikul kedua dosa
itu secara bersamaan.

Menurut hemat kami, telah terjadi suatu kesalahpahaman di kalangan orang banyak
mengenai pendapat ini, dan mereka mengetengahkan sehubungan dengannya sebuah
hadis yang tidak ada asalnya, yaitu:

مَا
تَرَكَ الْقَاتِلُ عَلَى الْمَقْتُولِ مِنْ ذَنْبٍ

Tiada suatu dosa pun
yang ditinggalkan oleh si pembunuh atas si terbunuh.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar telah meriwatyatkan sebuah hadis yang serupa
dengan hadis di atas. tetapi tidak sama. 


حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا عَامِرُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
الْأَصْبَهَانِيُّ، حدثنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا عتبة بن
سعيد، عن هشام
 بْنِ عُرْوَة، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “قَتْلُ
الصَّبْر لَا يَمُرُّ بِذَنْبٍ إِلَّا مَحَاهُ”.

Disebutkan bahwa
telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali. telah menceritakan kepada kami
Amir ibnu Ibrahim Al-Asbahani. telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu
Abdullah, telah menceritakan kepada kami Atabah ibnu Sa’id, dari Hisyam ibnu
Urwah, dari ayahnya. dari Sayyidah  Aisyah semoga Allah meridainya, yang telah
menceritakan bahwa Rasulullah
telah bersabda: Terbunuh dengan sabar, tiada
melalui suatu dosa pun melainkan pasti dihapuskan karenanya.

Bila dibandingkan
dengan hadis ini, maka hadis di atas tidak sahih; tetapi seandainya memang
sahih, maka makna yang dimaksud ialah bahwa Allah menghapuskan dosa-dosa dari
diri si terbunuh sebagai imbalan dari merasakan sakitnya mati.

Adapun jika diartikan
bahwa dosa-dosanya dipikulkan kepada si pembunuh, maka pengertian ini tidak
benar. Akan tetapi, pada sebagian orang kebanyakan pengertian ini sesuai,
karena sesungguhnya si terbunuh kelak menuntut si pembunuh di hari peradilan
Allah kelak. Maka diambilkan baginya sebagian dari kebaikan si pembunuh sesuai
dengan perbuatan zalimnya. Apabila kebaikan si pembunuh telah habis, sedangkan
dia masih belum dapat melunasinya, maka diambilkan sebagian dari dosa si
terbunuh, lalu dibebankan kepada si pembunuh; dan barangkali si terbunuh tidak
lagi mempunyai dosa karena semuanya telah dipikulkan kepada si pembunuhnya. Ada
sebuah hadis sahih yang menyatakan hal ini bersumberkan dari Rasulullah
ﷺ.

Baca...  Kata Kita: Plato dan Surga Jannat Al Mawahib

Dalam masalah seluruh mazalim (perbuatan-perbuatan aniaya), sedangkan
perbuatan membunuh jiwa merupakan perbuatan zalim yang paling besar dan paling
berat, wallahu a’lam.


Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang benar mengenai masalah ini ialah yang
mengatakan bahwa takwil ayat adalah seperti berikut, “Sesungguhnya aku
ingin agar kamu kembali dengan membawa dosamu karena kamu telah
membunuhku.” Pengertian inilah yang dimaksud oleh firman-Nya:  Sesungguhnya aku ingin agar kamu
kembali dengan(membawa) dosa (membunuh). (Al-Maidah: 29).

Adapun mengenai makna firman-Nya: dan dosamu. (Al-Maidah: 29); maka dosa tersebut
adalah dosanya sendiri, seperti berbuat maksiat kepada Allah dalam amal
perbuatan yang lain. Sesungguhnya kami katakan tafsir ini adalah tafsir yang
benar, tiada lain karena ulama ahli takwil telah sepakat mengenainya, dan bahwa
Allah telah memberitahu­kan kepada kita bahwa “setiap orang yang beramal,
maka balasan amalnya adalah untuknya sendiri atau membinasakan dirinya (jika
amalnya jahat)”.

Apabila memang demikian ketetapan Allah pada
makhluk-Nya, berarti tidak dapat dikatakan bahwa dosa-dosa si terbunuh diambil,
lalu dibebankan kepada si pembunuh. Dan sesungguhnya si pembunuh hanya dihukum
karena dosanya sendiri, yaitu perbuatan pembunuhan yang diharamkan dan
dosa-dosa lainnya yang dikerjakannya sendiri, bukan dosa terbunuh yang
dipikulkan atas dirinya. Demikianlah menurut keterangan Ibnu Jarir.

Kemudian Ibnu Jarir
mengemukakan suatu hipotesis sehubungan dengan masalah ini, yang kesimpulannya
menyatakan “mengapa Habil menginginkan agar saudaranya—yaitu Qabil—
memikul dosa membunuh dirinya dan juga dosa dirinya sendiri, padahal perbuatan
membunuh jelas haram”. Lalu Ibnu Jarir mengemukakan jawabannya, yang
intinya mengatakan bahwa kedudukan Habil menjelaskan perihal dirinya dengan
maksud agar Qabil jangan sampai melangsungkan niatnya; jika terjadi pembunuhan,
maka bukan dia yang menjadi penyebabnya, melainkansemata-mata atas kehendak
Qabil sendiri. Menurut hemat kami ucapan ini mengandung nasihat bagi Qabil
seandainya ia mau menerimanya, dan sebagai peringatan untuknya seandainya dia
menyadarinya.

Karena itulah Allah
berfirman: Sesungguhnya aku ingin
agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri. (Al-Maidah: 29); Yaitu kamu menanggung
dosaku dan dosamu sendiri. 

{فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ}

Maka kamu akun menjadi penghuni neraka, dan
yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim. (Al-Maidah: 29) Ibnu Abbas mengatakan
bahwa Habil menakut-nakuti Qabil dengan siksaan neraka tetapi ia tidak takut
dan tidak menghiraukannya. 

Firman Allah :

{فَطَوَّعَتْ
لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ}

Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya
menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia
seorang di antara orang-orang yang merugi. (Al-Maidah:
30)

Yakni maka hawa nafsu Qabil merayu dan memacu
dirinya untuk membunuh saudaranya, lalu ia membunuhnya, sesudah saudaranya
memberikan nasihat dan peringatan di atas.
Dalam pembahasan yang lalu yaitu dalam riwayat yang bersumber­kan dari Abu
Ja’far Al-Baqir alias Muhammad ibnu Ali ibnul Husain— disebutkan bahwa Qabil
membunuh Habil dengan sebuah barang tajam yang digenggamnya.

As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik dan dari
Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan dari Murrah ibnu Abdullah, juga dari sejumlah
sahabat Nabi
bahwa setelah hawa nafsu Qabil mendorongnya
untuk membunuh saudaranya, maka ia mencari-cari saudaranya untuk ia bunuh, lalu
ia berangkat mencarinya di daerah puncak pegunungan.

Kemudian pada suatu hari ia datang kepada
saudaranya yang saat itu sedang menggembalakan ternak kambingnya Ketika Qabil
datang, Habil sedang tidur, lalu ia mengangkat sebongkah batu besar, kemudian
ia pukulkan ke atas kepala Habil sehingga Habil mati seketika itu juga dan
jenazahnya dibiarkan di padang (tanah lapang). Demikianlah menurut riwayat Ibnu
Jarir.

Diriwayatkan dari sebagian Ahli Kitab bahwa
Qabil membunuh Habil dengan mencekik dan menggigitnya, sama halnya dengan hewan
pemangsa yang membunuh mangsanya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ketika Qabil hendak membunuh Habil, maka Qabil
membungkukkan lehernya (dengan maksud akan menggigitnya), maka iblis mengambil
seekor binatang, lalu meletakkan kepala binatang itu di atas batu, lalu iblis
mengambil sebuah batu dan memukulkannya ke kepala binatang itu hingga mati,
sedangkan Qabil melihatnya.

Lalu ia mempraktekkan
hal yang semisal terhadap saudaranya.Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa Abdullah
ibnu Wahb telah meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari
ayahnya yang telah menceritakan bahwa Qabil memegang kepala Habil dengan maksud
ingin membunuhnya, lalu ia hanya menekan kepalanya tanpa mengerti bagaimana
cara membunuhnya. Kemudian datanglah iblis dan bertanya kepadanya, “Apakah
kamu hendak membunuhnya?” Qabil menjawab, “Ya.” Iblis berkata,
“Ambillah batu ini dan timpakanlah ke atas kepalanya.” Maka Qabil
mengambil batu itu dan menimpakannya ke kepala Habil hingga kepala Habil pecah
dan meninggal dunia.

Kemudian iblis segera
datang menemui Hawa dan berkata, “Hai Hawa, sesungguhnya Qabil telah
membunuh Habil.” Maka Hawa ber­kata kepadanya, “Celakalah kamu,
apakah yang dimaksud dengan terbunuh itu?” Iblis menjawab, “Tidak
makan, tidak minum, dan tidak bergerak.” Hawa menjawab, “Kalau
demikian, itu artinya mati.” Iblis berkata, “Memang itulah
mati.” Maka Hawa menjerit, hingga Adam masuk menemuinya ia masih dalam
keadaan menangis menjerit. Lalu Adam mengulangi lagi pertanyaannya, dan Hawa
masih tidak menjawab. Maka Adam berkata, “Mulai sekarang kamu dan semua anak
perempuanmu menjerit, dan aku serta semua anak lelakiku berlepas diri dari
perbuatan itu.” Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Hatim. 

Firman Allah :

{فَأَصْبَحَ
مِنَ الْخَاسِرِينَ}

Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang
yang merugi. (Al-Maidah; 30)
Yakni merugi di dunia dan akhirat, dan memang tiada satu kerugian pun yang
lebih besar daripada kerugian seperti ini.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ ووَكِيع قَالَا
حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرّة، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَا تُقتَل نَفْسٌ ظُلْمًا، إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ
آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا، لِأَنَّهُ كَانَ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ
الْقَتْلَ”.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Mu’awiyah dan Waki’, keduanya mengatakan bahwa telah mencerita­kan
kepada kami Al-A’masy, dari Abdullah, ibnu Murrah, dari Masruq, dari Abdullah
ibnu Mas’ud yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam
bersabda: Tiada seorang pun yang
terbunuh secara aniaya, melainkan atas anak Adam yang pertama tanggungan
sebagian dari darahnya, karena dialah orang yang mula-mula mengadakanpembunuhan.

Hadis ini telah
diketengahkan oleh Jamaah —selain Imam Abu Daud— melalui berbagai jalur dari Al-A’masy
dengan lafaz yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepadaku
Hajjaj, bahwa Ibnu Juraij telah mengatakan bahwa Mujahid pernah mengatakan,
“Salah satu dari kaki si pembunuh itu digantungkan berikut dengan betis
dan pahanya sejak hari itu, sedangkan wajahnya dipanggang di matahari dan ikut
berputar dengannya ke mana pun matahari bergulir. Pada musim panas terdapat api
yang membakarnya dan pada musim dingin terdapat salju yang menyengatnya”.

Hajjaj mengatakan
bahwa Abdullah ibnu Amr pernah mengatakan, “Sesungguhnya kami benar-benar
menjumpai anak Adam si pembunuh ini berbagi azab dengan ahli neraka dengan
pembagian yang benar. Azab yang dialaminya adalah separo dari azab mereka
semua.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah
menceritakan kepada kami Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Hakim ibnu Hakim, bahwa
ia pernah menceritakan sebuah riwayat dari Abdullah ibnu Amr yang telah
berkata, “Sesungguhnya manusia yang paling celaka ialah anak Adam yang
membunuh saudaranya (yakni Qabil), tiada setetes darah pun yang dialirkan di
bumi ini sejak dia membunuh saudaranya sampai hari kiamat, melainkan ia
kebagian dari siksaannya.

Demikian itu karena
dialah orang yang mula-mula melakukan pembunuhan.”
Ibrahim An-Nakha’i mengatakan bahwa tiada seorang pun yang terbunuh secara
aniaya, melainkan anak Adam yang pertama dan iblis ikut bertanggung jawab
terhadapnya. Hal ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir.

Firman Allah .:

{فَبَعَثَ
اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الأرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْأَةَ
أَخِيهِ قَالَ يَا وَيْلَتَى أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ
فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ}

Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak
menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia harus menguburkan
jenazah saudaranya. Berkata Qabil, “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak
mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat
saudaraku ini?” Karena itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang yang
menyesal. (Al-Maidah:31).

As-Saddi telah
meriwayatkan dalam sanad yang terdahulu sampai kepada para sahabat, bahwa
ketika anak itu (Habil) meninggal dunia, maka pembunuhnya meninggalkannya di
tanah lapang, tanpa menge­tahui bagaimana cara menguburnya. Maka Allah menyuruh
dua ekor burung gagak yang bersaudara, lalu keduanya saling baku hantam hingga
salah satunya mati, kemudian burung gagak yang menang menggali sebuah galian,
lalu tubuh saudaranya itu dimasukkan ke dalam galian itu dan diurug dengan
tanah. Ketika anak Adam si pembunuh itu melihatnya, ia berkata, seperti yang disitir
oleh firman-Nya:

{قَالَ
يَا وَيْلَتَى أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ
سَوْأَةَ أَخِي}

Aduhai, celakalah
aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat
menguburkan mayat saudaraku ini? (Al-Maidah: 31). Ali ibnu Abu Talhah telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan bahwa seekor burung gagak
datang kepada seekor burung gagak lainnya yang telah mati, lalu ia mengurug
tubuhnya dengan tanah hingga tertimbun. Maka berkatalah orang yang telah
membunuh saudaranya itu: Aduhai,
celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagakjini, lalu aku
dapat menguburkan mayat saudara­ku ini? (Al-Maidah:
31).

Ad-Dhahhak telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Qabil menggendong tubuh saudaranya yang ia
masukkan ke dalam sebuah karung di atas pundaknya selama satu tahun, hingga
Allah menyuruh dua ekor burung gagak. Qabil melihat kedua ekor burung gagak itu
menggali-gali di tanah, maka berkatalah Qabil:  mengapa aku tidak mampu berbuat
seperti burung gagak ini? (Al-Maidah:
31). Lalu ia menguburkan mayat saudaranya.
Lais ibnu Abu Sulaim telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Qabil menggendong
mayat saudaranya di atas pundaknya selama seratus tahun, tanpa mengerti apa
yang harus ia lakukan terhadapnya; bila lelah, ia meletakkannya di tanah,
hingga ia melihat seekor burung gagak mengubur seekor burung gagak lainnya yang
telah mati.

Setelah menyaksikan pemandangan itu, ia
berkata: Aduhai, celaka aku,
mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat
menguburkan mayat saudaraku ini? Karena itu jadilah dia seorang di antara
orang-orang yang menyesal. (Al-Maidah:
31)
Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan ibnu
Jarir.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa tatkala Qabil membunuh Habil, maka Qabil
menyesali perbuatannya itu, lalu ia memeluk tubuh saudaranya yang telah mati
itu hingga berbau, sedangkan burung-burung dan hewan-hewan pemangsa
menunggu-nunggu di sekitarnya kapan ia membuang jenazah saudaranya, sebab
mereka akan memakannya.

Demikianlah menurut
apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari sebagian ahli ilmu mengenai kitab
terdahulu, bahwa setelah Qabil membunuhnya, maka ia tertegun kebingungan tanpa
mengetahui apa yang akan dilakukan terhadap mayat saudaranya dan bagaimanakah
cara menguburnya.

Demikian itu karena
hal tersebut, menurut dugaan mereka, merupakan peristiwa pembunuhan yang
pertama kalinya di kalangan Bani Adam dan juga permulaan orang yang mati,
sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya: Kemudian
Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan
kepadanya(Qabil) bagaimana dia
menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil, “Aduhai, celaka aku. mengapa
aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan
mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang
yang menyesal. (Al-Maidah: 31).

Muhammad ibnu Ishaq
mengatakan, ahli kitab Taurat menduga bahwa ketika Qabil telah membunuh
saudaranya Habil, Allah berfirman kepadanya,”Hai Qabil, di manakah
saudaramu Habil?” Qabil menjawab, ”Saya tidak mengetahui, saya bukan
orang yang ditugaskan untuk menjaganya.” Allah berfirman,
“Sesungguhnya darah saudaramu memanggil-manggil-Ku dari bumi sekarang.
Kamu orang yang terlaknat di muka bumi yang telah membukakan mulutnya, lalu
menelan darah saudaramu yang diakibatkan dari ulah tanganmu. Maka jika kamu
bekerja di lahanmu, bumi tidak mau lagi memberikan tanamannya kepadamu,
sehingga kamu menjadi ketakutan dan tersesat mengembara di bumi.”

Firman Allah .:

{فَأَصْبَحَ
مِنَ النَّادِمِينَ}

Karena itu, jadilah
dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (Al-Maidah: 31)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa Allah meliputinya (Qabil) dengan penyesalan
dan kerugian.Demikianlah menurut pendapat mufassirin sehubungan dengan kisah
ini, mereka semua sepakat bahwa para pelakunya adalah kedua anak Adam, seperti
yang tersiratkan dari makna lahiriah Al-Qur’an.

Hal
ini jelas dan gamblang. Tetapi Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Waki’, telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Yusuf, dari Amr, dari
Al-Hasan —yaitu Al-Basri— yang telah mengatakan bahwa kedua orang lelaki yang
disebutkan di dalam Al-Qur’an melalui firman-Nya: Ceritakanlah kepada mereka kisah
kedua anak Adam menurut yang sebenarnya. 
(Al-Maidah:
27); adalah dua orang lelaki dari kalangan Bani Israil. bukan kedua putra Adam
yang sesungguhnya, mengingat persembahan kurban hanya dilakukan oleh kalangan
Bani Israiil.

Dan Nabi Adam عَلَيْهِ
السَلاَمُ

adalah manusia yang mula-mula meninggal dunia.
Riwayat ini aneh sekali, dan dalam sanadnya masih perlu ada yang
dipertimbangkan, karena sesungguhnya Abdur Razzaq telah meriwayat­kan dari
Ma’mar, dari Al-Hasan, bahwa Rasulullah Sallallahu Alahi Wasallam. pernah
bersabda: Sesungguhnya kedua putra Adam
عَلَيْهِ
السَلاَمُ

telah memberikan suatu contoh bagi umat ini, maka ambillah oleh kalian yang
terbaik dari keduanya.Ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Asim Al-Ahwal, dari
Al-Hasan yang mengatakan bahwa Rasulullah Sallallahu Alahi Wasallam telah
bersabda: Sesungguhnya Allah
telah membuat suatu perumpamaan untuk kalian melalui kedua putra Adam
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
,
maka ambillah oleh kalian contoh yang baik dari mereka dan buanglah oleh kalian
contoh yang buruk dari mereka.

Hal yang sama telah diriwayatkan secara mursal oleh Bukair Ibnu Abdullah Al Muzanni
yangsemuanya itu diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir. Salim ibnu Abul Ja’d mengatakan bahwa setelah anak Adam membunuh
saudaranya, Nabi Adam tinggal selama seratus tahun dalam keadaan sedih, tidak
tertawa sama sekali. Kemudian didatangi dan dikatakan kepadanya, “Semoga
Allah menghidupkanmu dan membuat­mu bahagia.”

Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Kemudian
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah
menceritakan kepada kami Salamah, dari Gayyas ibnu Ibrahim, dari Abu Ishaq
Al-Hamdani yang telah mengatakan bahwa Ali ibnu Abu Talib pernah berkata,
 Setelah anak Adam membunuh saudaranya, maka Nabi Adam
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
menangisinya,
dan mengatakan: ‘Negeri-negeri
dan semua penduduknya telah berubah, kini warna bumi menjadi kelabu lagi buruk,
semua yang berwarna kini telah layu dan berubah rasanya serta jarang wajah
cantik yang berseri.

Kemudian
Nabi Adam dijawab: ‘Hai ayah Habil, kini keduanya telah terbunuh, dan kehidupan
kini menjadi sembelihan kematian, maut datang dengan kejahatannya, padahal
dahulunya maut masih dalam keadaan takut, tetapi kini ia datang kepada kehidupan
dengan suara lantangnya*

Menurut lahiriahnya
Qabil disegerakan azabnya, seperti yang telah disebutkan oleh Mujahid dan Ibnu
Jubair: kakinya digantung ke atas sejak hari ia melakukan pembunuhan, dan Allah
menjadikan wajahnya menghadap ke arah matahari serta ikut berputar bersamanya
sebagai siksaan dan pembalasan untuknya. Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa
Nabi Sallallahu Alahi Wasallam pernah bersabda:

“مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرَ أَنْ يُعَجَّل اللَّهُ عُقُوبَتَهُ فِي
الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخر لِصَاحِبِهِ فِي الْآخِرَةِ، مِنَ البَغْي
وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ”

Tidak ada suatu dosa
pun yang lebih layak disegerakan siksaan-nya oleh Allah di dunia berikut siksaan
di akhirat yang telah disediakan oleh Allah buat pelakunya selain dari bagyu (pem­bunuhan) dan memutuskan tali silaturahmi. Sedangkan kedua perbuatan tersebut
telah terhimpunkan di dalam perbuatan Qabil. Maka kami hanya dapat mengatakan
bahwa sesung­guhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kami semua
kembali.

Siapakah
Yang Disembelih Nabi Ismail ataukah Nabi Ishaq ?

{وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي
سَيَهْدِينِ (99) رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ
بِغُلامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ
إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا
أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
(102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا
إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي
الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ (106)
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الآخِرِينَ (108)
سَلامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (109) كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (110) إِنَّهُ
مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ (111) وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ
الصَّالِحِينَ (112) وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاقَ وَمِنْ
ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَظَالِمٌ لِنَفْسِهِ مُبِينٌ (113) }

Artinya : Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku
pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya
Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang
anak) yang termasuk orang-orang
yang saleh.” Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat
sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada
umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai Anakku, sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa
pendapatmu!” Ia menjawab, “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar.” Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan
anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah
kesabaran keduanya). Dan Kami
panggillah dia, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi
itu, “sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan
Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk
Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang
kemudian (yaitu).”Kesejahteraan
dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan
Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk
orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq . Dan
di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri
dengan nyata.

Allah
menceritakan tentang kekasih-Nya Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمَُ
bahwa sesungguhnya setelah Allah
menolongnya dari kejahatan kaumnya dan ia merasa putus asa dari keimanan
kaumnya, padahal mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat yang besar. Maka
Ibrahim
عَلَيْهِ السَلاَمُ hijrah dari kalangan mereka seraya berkata:

{إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ}

“Sesungguhnya
aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya
Tuhanku, anugerah­kanlah kepadaku (seorang
anak) yang termasuk orang-orang
yang saleh.” (Ash-Shaffat:
99-100)
. Yakni anak-anak yang taat sebagai
ganti dari kaumnya dan kaum kerabatnya yang telah ditinggalkannya. Allah  berfirman:

{فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ}

Maka
Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (Ash-Shaffat: 101)

Anak
ini adalah Nabi Ismail
عَلَيْهِ السَلاَمُ karena sesungguhnya dia adalah anak pertamanya yang sebelum
kelahirannya, dia telah mendapat berita gembira mengenainya. Dia lebih tua
daripada Nabi Ishaq
عَلَيْهِ السَلاَمُ, menurut kesepakatan kaum muslim dan kaum Ahli Kitab, bahkan di
dalam nas kitab-kitab mereka disebutkan bahwa ketika Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
mempunyai anak Nabi Ismail  عَلَيْهِ
السَلاَمُ
, ia berusia delapan puluh enam
tahun. Dan ketika beliau mempunyai anak Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
, usia beliau sembilan puluh sembilan
tahun.

Menurut
mereka (Ahli Kitab), Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
diperintahkan oleh Allah  untuk menyembelih anak tunggalnya itu, dan
dalam salinan kitab yang lain disebutkan anak pertamanya. Akan tetapi, mereka
mengubahnya dan membuat-buat kedustaan dalam keterangan ini, lalu mengganti
dengan Ishaq
عَلَيْهِ السَلاَمُ. Padahal hal tersebut bertentangan dengan nas kitab asli
mereka. Sesungguhnya mereka menyusupkan penggantian dengan memasukkan Nabi Ishaq
sebagai ganti Ismail
عَلَيْهِ السَلاَمُ
karena bapak moyang mereka adalah Nabi
Ishaq
عَلَيْهِ السَلاَمُ, sedangkan Nabi Ismail  عَلَيْهِ
السَلاَمُ
adalah bapak moyang bangsa Arab.

Orang-orang
Ahli Kitab dengki dan iri hati kepada bangsa Arab, karena itu mereka
menambah-nambahinya dan menyelewengkan arti anak tunggal dengan pengertian
‘anak yang ada di sisimu,’ karena Nabi  Ismail
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
telah dibawa pergi oleh Nabi Ibrahim عَلَيْهِ
السَلاَمُ
bersama ibunya ke Mekah. Takwil
seperti ini merupakan takwil yang menyimpang dan batil, karena sesungguhnya
pengertian anak tunggal itu adalah anak yang semata wayang bagi Nabi  Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
(saat itu). Lagi pula anak pertama
merupakan anak yang paling disayang lebih dari anak yang lahir sesudahnya, maka
perintah untuk menyembelih­nya merupakan ujian dan cobaan yang sangat berat.

Sejumlah
ahlul ‘ilmi mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
, menurut apa yang telah diriwayatkan dari
segolongan ulama Salaf; sehingga ada yang menukilnya dari sebagian sahabat.
Tetapi hal tersebut bukan bersumber dari Kitabullah, bukan pula dari sunnah. Dan saya
dapat memastikan bahwa hal tersebut tidaklah diterima, melainkan dari ulama
Ahli Kitab, lalu diterima oleh orang muslim tanpa alasan yang kuat. Yang jelas Kitabullah ini merupakan saksi yang
menunjukkan kepada kita bahwa putra yang disembelih itu adalah Isma’il. Karena
sesungguhnya Al-Qur’an telah menyebutkan berita gembira bagi Ibrahim akan
kelahiran seorangputra yang penyabar dan menyebutkan pula bahwa putranya itulah
Az-Zabih (yang disembelih).

Setelah
itu disebutkan oleh firman-Nya:

{وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ
الصَّالِحِينَ}

Dan
Kami beri dia kabar gembira dengan 
(kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk
orang-orang yang saleh. 
(Ash-Shaffat:
112)

Malaikat
ketika menyampaikan berita gembira akan kelahiran Ishaq kepada Ibrahim
mengatakan:

{إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ عَلِيمٍ}

Sesungguhnya
kami memberi kabar gembira kepadamu dengan 
(kelahiran
seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim (Al-Hijr:53)

Dan
firman Allah .:

{فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ
إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ}

maka
Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang 
(kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya’qub. (Hud: 71).
Yakni dilahirkan bagi Ishaq عَلَيْهِ
السَلاَمُ
di masa keduanya (Ibrahim dan istrinya)
seorang putra yang diberi nama Ya’qub
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
. Dengan demikian, Nabi Ibrahim عَلَيْهِ
السَلاَمُ
beroleh keturunan dan cucu.

Dalam
pembahasan terdahulu telah disebutkan bahwa tidaklah mungkin Nabi Ibrahim diperintahkan
untuk menyembelih Nabi Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
semasa kecilnya, karena Allah telah
menjanjikan kepada keduanya bahwa kelak Ishaq akan melahirkan keturunannya.
Maka mana mungkin sesudah semuanya itu Nabi Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
diperintahkan agar di sembelih saat ia
masih kecil. Dan lagi Nabi Ismail di sini mendapat julukan sebagai orang yang
amat sabar, maka predikat inilah yang lebih pantas untuk kedudukan ini (sebagai
anak yang rela disembelih).

Firman
Allah .:

{فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ}

Maka
tatkala anak itu sampai 
(pada
umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim. 
(Ash-Shaffat:
102)Yakni telah tumbuh menjadi dewasa dan dapat pergi dan berjalan bersama
ayahnya. Disebutkan bahwa Nabi Ibrahim 
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
setiap waktu pergi menengok anaknya dan
ibunya di negeri Faran, lalu melihat keadaan keduanya. Disebutkan pula bahwa
untuk sampai ke sana Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
mengendarai buraq yang cepat larinya;
hanya Allah-lah Yang Maha mengetahui.

Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair, Ata Al-Khurrasani, dan
Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka tatkala anak itu sampai (pada usia sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, (Ash-Shaffat: 102) Maksudnya,
telah tumbuh dewasa dan dapat bepergian serta mampu bekerja dan berusaha
sebagaimana yang dilakukan ayahnya.

{فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا
بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى}

Maka
tatkala anak itu sampai 
(pada
usia sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai Anakku, sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu! 
” (Ash-Shaffat: 102)

Ubaid
ibnu Umair mengatakan bahwa mimpi para nabi itu adalah wahyu, kemudian ia
membaca firman-Nya: Ibrahim
berkata, “Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”
(Ash-Shaffat: 102)

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ الْجُنَيْدِ، حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الملك
الكرندي، حدثنا
 سُفْيَانُ
بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ إِسْرَائِيلَ بْنِ يُونُسَ، عَنْ سِمَاك، عَنْ عِكْرِمَةَ ،
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: “رُؤْيَا الْأَنْبِيَاءِ فِي الْمَنَامِ وَحْي”

Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnul
Junaid, telah menceritakan kepada kami Abu Abdul Malik Al-Karnadi, telah
menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Israil ibnu Yunus, dari
Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah
Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda: Mimpi
para nabi itu merupakan wahyu.
Dan sesungguhnya Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
memberitahukan mimpinya itu kepada putranya agar putranya tidak
terkejut dengan perintah itu, sekaligus untuk menguji kesabaran dan keteguhan
serta keyakinannya sejak usia dini terhadap ketaatan kepada Allah Swt. dan
baktinya kepada orang tuanya.

{قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ}

Ia
menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintah­kan kepadamu.” 
(Ash-Shaffat:
102)Maksudnya, langsungkanlah apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu untuk
menyembelih diriku.

{سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ}

Insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” 
(Ash-Shaffat: 102).
Ismail Alahi Sallam selalu menepati apa yang dijanjikannya. Karena itu, dalam
ayat lain disebutkan melalui firman-Nya:

{وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ
إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولا نَبِيًّا وَكَانَ يَأْمُرُ
أَهْلَهُ بِالصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا}

Dan
ceritakanlah 
(hai
Muhammad kepada mereka) kisah
Ismail 
(yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia
adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan
ia menyuruh ahlinya untuk salat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang
yang diridai di sisi Tuhannya. 
(Maryam:
54-55).

Adapun
firman Allah :

{فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ}

Tatkala
keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis 
(nya),
(nyatalah kesabaran keduanya), dalam (Ash-Shaffat: 103). Setelah
keduanya mengucapkan persaksian dan menyebut nama Allah untuk melakukan
penyembelihan itu, yakni persaksian (tasyahhud) untuk mati. Menurut pendapat
yang lain, aslama artinya berserah diri dan patuh.
Nabi Ibrahim Alahi salam dan Nabi Ismail Alahi salam mengerjakan perintah
Allah. sebagai rasa taat keduanya kepada Allah, dan bagi Ismail  
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
sekaligus berbakti kepada ayahnya.
Demikianlah menurut pendapat Mujahid, Ikrimah, Qatadah, As-Saddi, Ibnu Ishaq,
dan lain-lainnya.

Makna tallahu lil jabin ialah merebahkannya dengan wajah
yang tengkurap dengan tujuan penyembelihan akan dilakukan dari tengkuknya dan
agar Nabi Ibrahim Alahi salam tidak melihat wajahnya saat menyembelihnya,
karena cara ini lebih meringankan bebannya. Ibnu Abbas radiallahu anhu,
Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya:dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya). (Ash-Shaffat: 103) Yakni
menengkurapkan wajahnya.

Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih dan Yunus. Keduanya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Abu Asim
Al-Ganawi, dari Abut Tufail, dari Ibnu Abbas radiallahu anhu yang mengatakan
bahwa ketika Nabi Ibrahim Alahi salam. diperintahkan untuk mengerjakan manasik,
setan menghadangnya di tempat sa’i, lalu setan menyusulnya, maka Nabi Ibrahim
Alahi salam menyusulnya.

Kemudian
Jibril Alahi salam membawa Nabi Ibrahim Alahi salam ke jumrah ‘aqabah, dan
setan kembali menghadangnya; maka Ibrahim melemparnya dengan tujuh buah batu
kerikil hingga setan itu pergi. Kemudian setan menghadangnya lagi di jumrah
wusta, maka Nabi Ibrahim Alahi salam melemparnya dengan tujuh buah batu
kerikil.

Kemudian
Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ السَلاَمُ merebahkan
Ismail pada keningnya, saat itu Nabi Ismail mengenakan kain gamis putih, lalu
Ismail berkata kepada ayahnya, “Hai Ayah, sesungguhnya aku tidak mempunyai
pakaian untuk kain kafanku selain dari yang kukenakan ini, maka lepaskanlah kain
ini agar engkau dapat mengafaniku dengannya.” Maka Ibrahim bermaksud
menanggalkan baju gamis putranya itu.

 Tetapi tiba-tiba ada suara yang menyerunya
dari arah belakang: Hai
Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. 
(Ash-Shaffat: 104-105); Maka
Ibrahim
عَلَيْهِ السَلاَمُ menoleh ke belakang, tiba-tiba ia melihat seekor kambing gibasy
putih yang bertanduk lagi gemuk. Ibnu Abbas mengatakan bahwa sesungguhnya
sampai sekarang kami masih terus mencari kambing gibasy jenis itu. Hisyam
menyebutkan hadis ini dengan panjang lebar di dalam Kitabul Manasik.

Kemudian
Imam Ahmad meriwayatkannya pula dengan panjang lebar dari Yunus, dari Hammad
ibnu Salamah, dari Ata ibnus Sa’ib, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.
Hanya dalam riwayat ini disebutkan Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
. Menurut riwayat yang bersumber dari Ibnu
Abbas  tentang nama anak yang disembelih,
ada dua riwayat. Tetapi riwayat yang terkuat adalah yang menyebutnya Ismail
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
, karena alasan yang akan kami sebutkan, insya Allah.

Muhammad
ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Dinar, dari Qatadah, dari
Ja’far ibnu Iyas, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. 
(Ash-Shaffat:
107) Bahwa dikeluarkan untuknya seekor kambing gibasy dari surga yang telah
digembalakan sebelum itu selama empat puluh musim gugur (tahun). Maka Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
melepaskan putranya dan mengejar kambing gibasy itu.
Kambing gibasy itu membawa Nabi Ibrahim ke jumrah ula, lalu Nabi Ibrahim
melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil. Dan kambing itu luput darinya, lalu
lari ke jumrah wusta dan Ibrahim mengeluarkannya dari jumrah itu dengan
melemparinya dengan tujuh buah batu kerikil. Kambing itu lari dan ditemuinya
ada di jumrah kubra, maka ia melemparinya dengan tujuh buah batu kerikil. Pada
saat itulah kambing itu keluar dari jumrah, dan Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
menangkapnya, lalu membawanya ke tempat penyembelihan
di Mina dan menyembelihnya.

Ibnu
Abbas radiallahu anhu melanjutkan, “Demi Tuhan yang jiwa Ibnu Abbas berada
di tangan kekuasaan-Nya, sesungguhnya sembelihan itu merupakan kurban yang
pertama dalam Islam, dan sesungguhnya kepala kambing itu benar-benar
digantungkan dengan kedua tanduknya di talang Ka’bah hingga kering.”Abdur
Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Az-Zuhri, telah
menceritakan kepada kami Al-Qasim yang mengatakan bahwa Abu Hurairah  berkumpul bersama Ka’b, lalu Abu Hurairah menceritakan
hadis dari Nabi Sallallahu ‘alahi wasallam sedangkan Ka’b menceritakan tentang
kisah-kisah dari kitab-kitab terdahulu. Abu Hurairah radiallahu ‘anhu
mengatakan bahwa Nabi Sallahu ‘Alahi Wasalam bersabda:

“إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةً
مُسْتَجَابَةً، وَإِنِّي قَدْ خَبَأتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ”

Sesungguhnya
masing-masing Nabi mempunyai doa yang mustajab, dan sesungguhnya aku menyimpan
doaku sebagai syafaat buat umatku kelak di hari kiamat.

Maka
Ka’b bertanya kepadanya, “Apakah engkau mendengar ini dari Rasulullah.?”
Abu Hurairah menjawab, “Ya.” Ka’b berkata, “Semoga ayah dan
ibuku menjadi tebusanmu, atau semoga ayah dan ibuku menjadi tebusannya, maukah
kuceritakan kepadamu tentang perihal Nabi Ibrahim Alahi salam.?” Ka’b
melanjutkan perkataannya, bahwa sesungguhnya ketika Nabi Ibrahim bermimpi
menyembelih putranya Ishaq, setan berkata.”

Sesungguhnya
jika tidak kugoda mereka saat ini, berarti aku tidak dapat menggoda mereka
selamanya.” Nabi Ibrahim alahi salam berangkat bersama anaknya dengan
tujuan akan menyembelihnya, maka setan pergi dan masuk menemui Sarah, lalu
berkata, “Ke manakah Nabi Ibrahim pergi bersama anakmu?” Sarah
menjawab, “Ia pergi membawanya untuk suatu keperluan.” Setan berkata,
“Sesungguhnya Ibrahim pergi bukan untuk suatu keperluan, melainkan ia
pergi untuk menyembelih anaknya.” Sarah bertanya, “Mengapa dia
menyembelih anaknya?” Setan berkata, “Ibrahim mengira bahwa Tuhannya
telah memerintahkan kepadanya hal tersebut.” Sarah menjawab,
“Sesungguhnya lebih baik baginya bila menaati Tuhannya.”

Baca...  Urgensi Tafsir Al-Qur’an

Lalu
setan pergi menyusul keduanya. Setan berkata kepada anak Nabi Ibrahim, “Ke
manakah ayahmu membawamu pergi?” Ia menjawab,” Untuk suatu
keperluan.” Setan berkata, “Sesungguhnya dia pergi bukan untuk suatu
keperluan, tetapi ia pergi untuk tujuan akan menyembelihmu.” Ia bertanya,
“Mengapa ayahku akan menyembelihku?” Setan menjawab,
“Sesungguhnya dia mengira bahwa Tuhannya telah memerintahkan hal itu
kepadanya.” Ia berkata, “Demi Allah, sekiranya Allah yang
memerintahkannya, benar-benar dia akan mengerjakannya.”

Setan
putus asa untuk dapat menggodanya, maka ia meninggalkannya dan pergi kepada Nabi
Ibrahim
عَلَيْهِ السَلاَمُ lalu bertanya, “Ke manakah kamu akan pergi dengan anakmu
ini ?”  Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
menjawab, “Untuk suatu
keperluan.” Setan berkata, “Sesungguhnya engkau membawanya pergi
bukan untuk suatu keperluan, melainkan engkau membawanya pergi dengan tujuan
akan menyembelihnya.” Nabi Ibrahim  
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
bertanya, “Mengapa aku harus menyembelihnya
?” Setan berkata, “Engkau mengira bahwa Tuhanmu lah yang
memerintahkan hal itu kepadamu.” Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
berkata, “Demi Allah, jika Allah  memerintahkan hal itu kepadaku, maka aku
benar-benar akan melakukannya.” Setan putus asa untuk
menghalang-halanginya, lalu ia pergi meninggalkannya.

Ibnu
Jarir meriwayatkannya dari Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Yunus ibnu Yazid, dari
Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa sesungguhnya Amr ibnu Abu Sufyan ibnu Usaid
ibnu Jariyah As- Saqafi pernah menceritakan kepadanya bahwa Ka’b pernah berkata
kepada Abu Hurairah; lalu disebutkan hal yang semisal dengan panjang lebar. Dan
di penghujung kisahnya disebutkan bahwa lalu Allah menurunkan wahyu kepada Nabi
Ishaq
عَلَيْهِ السَلاَمُ, bahwa sesungguhnya Aku memberimu suatu doa yang Kuperkenankan
bagimu.

Maka
Nabi Ishaq
عَلَيْهِ السَلاَمُ berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berdoa kepada-Mu,
semoga Engkau memperkenankannya. Semoga siapa pun di antara hamba-Mu yang
bersua dengan-Mu, baik dari kalangan orang terdahulu maupun dari kalangan orang
yang terkemudian, dalam keadaan tidak mempersekutukan-Mu dengan sesuatu pun,
semoga Engkau memasukkannya ke dalam surga.”

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا
أَبِي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْوَزِيرِ الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا
الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ
أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
[رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ] قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللَّهَ خَيَّرَنِي بَيْنَ أَنْ يَغْفِرَ لِنِصْفِ
أُمَّتِي، وَبَيْنَ أَنْ أَخْتَبِئَ شَفَاعَتِي، فَاخْتَبَأْتُ شَفَاعَتِيَ،
وَرَجَوْتُ أَنْ تُكَفِّرَ الجَمْ لِأُمَّتِي، وَلَوْلَا الَّذِي سَبَقَنِي
إِلَيْهِ الْعَبْدُ الصَّالِحُ لَتَعَجَّلْتُ فِيهَا دَعْوَتِي، إِنِ اللَّهَ
لَمَا فَرَّجَ عَنْ إِسْحَاقَ كرْبَ الذَّبْحِ قِيلَ لَهُ: يَا إِسْحَاقُ، سَلْ
تُعْطَهُ. فَقَالَ: أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَتَعَجَّلَنَّهَا قَبْلَ
نَزَغَاتِ الشَّيْطَانِ، اللَّهُمَّ مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِكَ شَيْئًا
فَاغْفِرْ لَهُ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ”

Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnul Wazir Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami
Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid
ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Hurairah yang mengatakan
bahwa Rasulullah Sallahu Alahi Waslam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah
menyuruhku untuk memilih, apakah separuh dari umatku mendapat ampunan ataukah
doa permohonan syafaatku diterima. Maka aku memilih syafaatku diterima dengan
harapan semoga sejumlah besar dari umatku diampuni dosa-dosanya. Seandainya
tidak ada hamba saleh yang mendahuluiku, tentulah aku menyegerakan doaku itu.
Sesungguhnya ketika Allah membebaskan Nabi Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
dari musibah penyembelihan, dikatakan
kepadanya, “Hai Ishaq, mintalah, niscaya kamu diberi.” Nabi Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
berkata, “Demi Tuhan yang jiwaku
berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sungguh aku akan menyegerakan doaku
ini sebelum setan menggodaku. Ya Allah, barang siapa yang mati dalam keadaan
tidak mempersekutukan-Mu dengan sesuatu pun, berilah dia ampunan dan
masukkanlah ke dalam surga.”

Hadis
ini garib lagi munkar; Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam
daif hadisnya, dan saya merasa khawatir bila di dalam hadis ini terdapat
tambahan yang disisipkan, yaitu ucapan, “Sesungguhnya setelah Allah  membebaskan Nabi Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
dari musibah penyembelihan,”
hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Jika hal ini terpelihara, maka yang lebih
mirip kepada kebenaran dia tiada lain adalah Ismail
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
. Dan sesungguhnya mereka (Ahli Kitab)
telah mengubahnya dengan Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
karena dengki dan iri terhadap bangsa
Arab, seperti alasan yang telah dikemukakan di atas.Lagi pula mengingat manasik
dan penyembelihan kurban itu tempatnya tiada lain di Mina, yaitu bagian dari
kawasan tanah Mekah, adalah tempat Nabi Ismail
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
berada, bukan Nabi Ishaq عَلَيْهِ
السَلاَمُ
. Karena sesungguhnya Ishaq عَلَيْهِ
السَلاَمُ
 berada di tanah Kan’an, bagian dari negeri
Syam.

Firman
Allah .:

{وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ
صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا}

Dan
Kami panggillah dia, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan
mimpi itu!” 
(Ash-Shaffat:
104-105)
. Yakni sesungguhnya
engkau telah mengerjakan apa yang telah dilihat dalam mimpimu itu hanya dengan
membaringkan putramu untuk disembelih. As-Saddi dan lain-lainnya menyebutkan
bahwa Nabi Ibrahim alaihi salam sempat menggorokkan pisaunya, tetapi tidak
dapat memotong sesuatu pun, bahkan dihalang-halangi antara pisau dan leher Nabi
Ismail  
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
oleh lempengan tembaga. Lalu saat itu
juga Nabi Ibrahim alahi salam diseru: sesungguhnya
kamu telah membenarkan mimpi itu. 
(Ash-Shaffat:
105)

Firman
Allah :

{إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ}

sesungguhnya
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 
(Ash-Shaffat: 105)

Yakni
demikianlah Kami palingkan hal-hal yang tidak disukai dan hal-hal yang
menyengsarakan dari orang-orang yang taat kepada Kami, dan Kami jadikan bagi
mereka dalam urusannya jalan keluar dan kemudahan. Semakna dengan apa yang
disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain, yaitu:

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ
مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ
لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا}

Barang
siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan
keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan 
(keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan 
(yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. 
(At-Talaq:
2-3)

Ayat
yang menceritakan kisah penyembelihan ini dijadikan dalil oleh sejumlah ulama
Usul untuk menyatakan keabsahan nasakh sebelum melakukan pekerjaan yang
diperintahkan, lain halnya dengan pendapat segolongan ulama dari kalangan
Mu’tazilah. Tetapi penunjukkan makna dalam ayat ini sudah jelas, karena pada
mulanya Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
agar menyembelih anaknya, kemudian Allah
menasakh (merevisi)nya dan mengalihkannya menjadi tebusan (yakni kurban). Dan
sesungguhnya tujuan utama dari perintah ini pada mulanya hanyalah untuk menguji
keteguhan dan kesabaran Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
dalam melaksanakan perintah Allah Swt.
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

{إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ}

Sesungguhnya
ini benar-benar suatu ujian yang nyata. 
(Ash-Shaffat:
106).

Maksudnya,
ujian yang jelas dan gamblang, yaitu perintah untuk menyembelih anaknya. Lalu
Ibrahim
عَلَيْهِ السَلاَمُ bergegas mengerjakannya dengan penuh rasa berserah diri kepada
Allah dan tunduk patuh kepada perintah-Nya. Karena itulah disebutkan oleh
firman-Nya:

{وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى}

dan
Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji. 
(An-Najm:
37)

Adapun
firman Allah Swt.:

{وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ}

Dan
Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. 
(Ash-Shaffat: 107)

Sufyan
As- Sauri telah meriwayatkan dari Jabir Al-Ju’fi, dari Abut Tufail dari Ali sehubungan dengan
makna firman-Nya:Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang
besar. 
(Ash-Shaffat: 107)
Yakni dengan kambing gibasy yang berbulu putih, gemuk, lagi bertanduk yang
telah diikat di pohon samurah. Abut Tufail mengatakan bahwa mereka (berdua)
menemukannya dalam keadaan telah terikat di pohon samurah yang ada di Bukit
Sabir.

As-Sauri
telah meriwayatkan pula dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khasyam, dari Sa’id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas  yang mengatakan
bahwa kambing gibasy itu telah digembalakan di surga selama empat puluh tahun. Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan
kepada kami Yusuf ibnu Ya’qub As-Saffar, telah menceritakan kepada kami Daud
Al-Attar, dari Ibnu Khasyam’ dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas  yang mengatakan bahwa batu besar yang ada di
Mina di lereng Bukit Sabir adalah batu tempat Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
menyembelih tebusan anaknya Ishaq  عَلَيْهِ
السَلاَمُ
.

Kambing
gibasy yang gemuk lagi bertanduk turun dari Bukit Sabir menuju ke tempat Nabi
Ibrahim
عَلَيْهِ السَلاَمُseraya
mengembik, lalu Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
menyembelihnya. Kambing itu juga yang
dipakai kurban oleh anak Adam, lalu diterima, dan kambing itu disimpan hingga
dijadikan tebusan untuk Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
.Telah diriwayatkan pula dari Sa’id ibnu
Jubair yang mengatakan bahwa kambing gibasy itu hidup bebas di dalam surga
hingga dikeluarkan dari Bukit Sabir, dan pada leher kambing itu terdapat bulu
yang berwarna merah.

Disebutkan
dari Imam Al-Hasan Al-Basri, bahwa nama kambing gibasy yang dijadikan kurban
oleh Nabi Ibrahim alaihi salam adalah Jarir.Ibnu Juraij mengatakan bahwa
menurut Ubaid ibnu Umair, Nabi Ibrahim alaihi salam menyembelihnya di maqam
Ibrahim.Menurut Mujahid, Nabi Ibrahim alaihi salam menyembelihnya di Mina di
tempat penyembelihan kurban sekarang.

Hasyim
telah meriwayatkan dari Sayyar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas
pernah memberikan fatwa kepada orang yang bernazar akan menyembelih dirinya,
lalu Ibnu Abbas memerintahkan kepadanya agar menggantinya dengan menyembelih
seratus ekor unta. Sesudah itu ia berkata bahwa seandainya dia memberikan fatwa
kepadanya agar menyembelih seekor kambing gibasy, tentulah hal itu sudah
mencukupi baginya. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam
Kitab-Nya: Dan Kami tebus anak
itu dengan seekor sembelihan yang besar. 
(Ash-Shaffat:
107).Menurut pendapat yang sahih, tebusan tersebut berupa seekor kambing
gibasy.

As-Sauri
telah meriwayatkan dari seorang lelaki, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya:Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan
yang besar. 
(Ash-Shaffat:
107) Ibnu Abbas mengatakan bahwa sembelihan itu adalah seekor kambing gunung. Muhammad
ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Amr ibnu Ubaid, dari Al-Hasan yang mengatakan
bahwa tidaklah Ismail
عَلَيْهِ السَلاَمُ ditebus melainkan dengan seekor kambing
gunung dari Aura yang diturunkan untuk Ibrahim
عَلَيْهِ السَلاَمُ
dari Bukit Sabir.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ، عَنْ خَالِهِ مُسافع ، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ
شَيْبَةَ قَالَتْ: أَخْبَرَتْنِي امْرَأَةٌ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ -وَلدت عَامَّةَ
أَهْلِ دَارِنَا-أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِلَى عُثْمَانَ بْنِ طَلْحَةَ -وَقَالَ مَرَّةً: إِنَّهَا سَأَلَتْ عُثْمَانَ:
لِمَ دَعَاكَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: قَالَ:
“إِنِّي كنتُ رَأَيْتُ قَرْنَيِ الْكَبْشِ، حِينَ دَخَلْتُ الْبَيْتَ،
فَنَسِيتُ أَنْ آمُرَكَ أَنْ تُخَمِّرَهُمَا، فَخَمَّرْهما، فَإِنَّهُ لَا
يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ فِي الْبَيْتِ شَيْءٌ يَشْغَلُ الْمُصَلِّيَ”.

Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan
kepadaku Mansur, dari pamannya (yaitu Musafi’ dan Safiyyah binti Syaibah) yang
mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya seorang wanita dari Bani Salim
yang telah melahirkan sebagian besar penduduk perkampungan kami, bahwa
Rasulullah Salallahu ‘Alahi Wasalam mengirimkan utusan kepada Usman ibnu Abu
Talhah  (pemegang kunci Ka’bah). Wanita
itu pernah bertanya kepada Usman, “Mengapa Nabi memanggilmu ?” Maka
Usman menjawab, bahwa Rasulullah bersabda kepadanya: Sesungguhnya aku melihat sepasang
tanduk saat memasuki Ka’bah, dan aku lupa untuk memerintahkan kepadamu agar
menutupinya dengan kain. Karena itu, tutupilah sepasang tanduk itu dengan kain,
sebab tidak patut bila di dalam Ka’bah terdapat sesuatu yang mengganggu
kekhusyukan orang yang salat 
(di
dalamnya).

Sufyan
mengatakan bahwa kedua tanduk itu masih tetap tergantung di dalam Ka’bah hingga
Ka’bah mengalami kebakaran dan keduanya ikut terbakar.Hal ini merupakan bukti
tersendiri yang menunjukkan bahwa anak yang disembelih itu adalah Nabi Ismail
alaihi salam Karena sesungguhnya orang-orang Quraisy menerimanya secara
turun-temurun dari para pendahulu mereka generasi demi generasi, sampai Allah
mengutus Rasul­Nya. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

  1. Berikut ini sebuah pasal yang mengemukakan
    asar-asar yang ditemukan dari ulama Salaf tentang siapakah sebenarnya anak
    yang disembelih itu berdasarkan penelitian Ibnu Katsir

Berikut ini dikemukakan pendapat orang-orang yang
mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Nabi Ishaq alaihi salam.

Hamzah Az-Zayyat telah meriwayatkan dari Abu Maisarah rahimahullah yang mengatakan, bahwa Nabi
Yusuf   
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
pernah mengatakan kepada raja dalam
alasannya, “Apakah engkau menginginkan makan bersama denganku, sedangkan
aku adalah Yusuf ibnu Ya’qub nabiyyullah ibnu Ishaq sembelihan Allah ibnu
Ibrahim kekasih Allah.”As-Sauri telah meriwayatkan dari Abu Sinan, dari Ibnu
Abul Huzail bahwa Yusuf mengatakan hal yang sama kepada raja.

Sufyan
As-Sauri  rahimahullah
telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair,
dari ayahnya yang mengatakan, bahwa Musa
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
pernah mengatakan dalam doanya, “Ya
Tuhanku, mereka selalu mengatakan demi Tuhannya Nabi Ibrahim, Ishaq, dan Yaqub.
Mengapa mereka selalu mengatakan hal tersebut?” Allah menjawab
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang tidak membandingkan sesuatu
dengan-Ku, melainkan dia pasti memilih-Ku. Dan sesungguhnya Ishaq  telah rela demi Aku untuk disembelih, selain
itu dia adalah seorang yang lebih dermawan. Dan sesungguhnya Ya’qub itu
manakala Kutambahkan kepadanya cobaan, maka makin bertambah pulalah baik prasangkanya
kepada-Ku.”

Syu’bah
telah meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas yang telah menceritakan
bahwa pernah ada seorang lelaki membanggakan dirinya dihadapan Ibnu Mas’ud
radiallahu anhu. Lelaki itu berkata, “Aku adalah Fulan bin Fulan bin para
tetua yang terhormat.” Maka Abdullah ibnu Mas’ud r.a. berkata bahwa orang
yang patut mengatakan demikian adalah Yusuf ibnu Ya’qub ibnu Ishaq Zabihullah (sembelihan Allah) ibnu Ibrahim
kekasih Allah.

Riwayat
ini sahih bersumber dari Ibnu Ma’sud. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh
Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa dia adalah Ishaq. Juga telah diriwayatkan dari
Al-Abbas dan Ali ibnu Abu Talib hal yang semisal. Telah diriwayatkan pula oleh
Ibnu Ishaq dan Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Az-Zuhri, dari Abu Sufyan, dan
Al-Ala ibnu Jariyah dari Abu Hurairah radiallahuanhu dan Ka’bul Ahbar yang
telah mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
.

Pendapat-pendapat
yang telah disebutkan di atas hanya Allah Yang Maha Mengetahui— semuanya bersumber
dari Ka’bul Ahbar. Ketika masuk Islam di masa pemerintahan Khalifah Umar, ia
bercerita kepada Umar bin Khattab tentang apa yang terkandung di dalam
kitab-kitab terdahulunya. Dan barangkali Umar bin Khattab sendiri mau
mendengarkannya sehingga orang-orang pun mau mendengarkan apa yang ada pada
Ka’bul Ahbar, bahkan menukil darinya segala sesuatu yang ada padanya, baik yang
telah dipalsukan maupun yang masih asli.

Akan
tetapi, bagi umat ini hanya Allah Yang Maha Mengetahui tidak memerlukan suatu
huruf pun dari apa yang ada pada Ka’bul Ahbar itu. Al-Bagawi telah meriwayatkan
suatu pendapat yang mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq,
yang menurutnya bersumber dari Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, dan Al-Abbas, sedangkan
dari kalangan tabi’in bersumber dari Ka’bul Ahbar, Sa’id ibnu Jubair. Qatadah,
Masruq, Ikrimah, Ata. Muqatil. Az-Zuhri, dan As-Saddi. Al-Bagawi mengatakan
bahwa hal ini dikatakan oleh salah satu di antara dua riwayat yang bersumber
dari Ibnu Abbas. Dan telah disebutkan mengenai masalah ini dalam sebuah hadis
yang seandainya hadis tersebut terbukti kesahihannya, tentulah kita mau
mengatakannya dengan penuh kepercayaan, tetapi sayangnya sanad hadis tersebut
tidak sahih.

Ibnu
Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan
kepada kami Zaid ibnu Habbab, dari Al-Hasan ibnu Dinar, dari Ali ibnu Zaid ibnu
Jad’an, dari Al-Hasan, dari Al-Ahnaf ibnu Qais, dari Al-Abbas ibnu Abdul
Muttalib, dari Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalm. dalam suatu hadis yang di
dalamnya disebutkan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq.Akan tetapi, di
dalam sanad hadis di atas terdapat dua perawi yang daif, yaitu Al-Hasan ibnu Dinar Al-Basri
berpredikatmatruk, dan Ali
ibnu Zaid ibnu Jad’an hadisnya munkar (tidak dapat diterima).

Ibnu
Abu Hatim telah meriwayatkannya dari ayahnya, dari Muslim ibnu Ibrahim, dari
Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid ibnu Jad’an dengan sanad yang sama
secara marfu’. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan
bahwa Mubarak ibnu Fudalah telah meriwayatkannya dari Al-Hasan, dari Al-Ahnaf,
dari Al-Abbas. Dan sanad riwayat ini lebih sahih ketimbang yang sebelumnya,
hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

  1. Dasar-Dasar yang menyebutkan
    bahwa anak yang disembelih itu adalah Nabi Ismail
    عَلَيْهِ
    السَلاَمُ
    predikatnya sahih dan dapat
    dijadikan sebagai pegangan Berdasarkan Kitab Ibnu Katsir

Di
atas telah disebutkan suatu riwayat dari Ibnu Abbas  yang mengatakan bahwa dia adalah Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui,
Sa’id ibnu Jubair, Amir Asy-Sya’bi, Yusuf ibnu Mahran, Mujahid, dan Ata serta
lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas  bahwa anak yang disembelih itu adalah Ismail
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
.Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, .telah menceritakan
kepadaku Amr ibnu Qais, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Ibnu Abbas, bahwa anak
yang dikurbankan itu adalah Ismail
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
. Dan orang-orang Yahudi mengira bahwa dia
adalah Ishaq
عَلَيْهِ السَلاَمُ, orang-orang Yahudi itu telah dusta. Israil telah meriwayatkan
dari Saur, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang telah mengatakan bahwa anak yang
disembelih adalah Ismail
عَلَيْهِ السَلاَمُ.

Ibnu
AbuNajih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa dia adalahNabi Ismail
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
. Hal yang sama telah dikatakan oleh Yusuf
ibnu Mahran. Asy-Sya’bi mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Nabi Ismail
عَلَيْهِ السَلاَمُ.
Dan ia pernah melihat sepasang tanduk gibasy itu di dalam Ka’bah.Muhammad ibnu
Ishaq telah meriwayatkan dari Al-Hasan ibnu Dinar dan Amr ibnu Ubaid, dari
Al-Hasan Al-Basri; ia tidak pernah meragukan masalah ini bahwa anak yang
diperintahkan oleh Allah agar Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
menyembelihnya di antara salah seorang
dari kedua anaknya adalah Ismail
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
.

Ibnu
Ishaq mengatakan, ia pernah mendengar Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi mengatakan
bahwa anak yang Ibrahim
عَلَيْهِ السَلاَمُ
diperintahkan oleh Allah untuk
menyembelihnya di antara kedua putranya adalah Nabi Ismail
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
. Dan sesungguhnya kami benar-benar
menjumpai keterangan hal ini di dalam Kitabullah. Demikian itu ialah bahwa setelah
Allah  selesai mengutarakan kisah anak
yang disembelih di antara kedua anak Ibrahim, lalu ia berfirman: Dan Kami beri dia kabar gembira
dengan 
(kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk
orang-orang yang saleh. 
(Ash-Shaffat:
112) Dan firman Allah :Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan sesudah Ishaq (lahir pula) Ya’qub. (Hud: 71)

Yakni
dia akan mempunyai anak, dan anaknya itu akan mempunyai anak. Jadi tidak
mungkin Allah memerintahkan kepada Ibrahim
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
agar menyembelih Ishaq, sedangkan Ishaq عَلَيْهِ
السَلاَمُ
telah dijanjikan akan mempunyai keturunan
sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah, Dengan demikian, tiada lain
putra yang Nabi Ibrahim
عَلَيْهِ السَلاَمُ diperintahkan untuk menyembelihnya hanyalah Nabi Ismail عَلَيْهِ
السَلاَمُ
. Ibnu Ishaq mengatakan bahwa ia mendengar
Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi sering mengatakan hal ini.

Ibnu
Ishaq telah meriwayatkan dari Buraidah ibnu Sufyan Al-Aslami, dari Muhammad
ibnu Ka’b Al-Qurazi, bahwa ia pernah menceritakan hal ini kepada Umar ibnu
Abdul Aziz yang saat itu menjabat sebagai khalifah karena saat itu Muhammad
ibnu Ka’b ada bersamanya di negeri Syam Lalu Umar ibnu Abdul Aziz berkata,
“Sesungguhnya berita ini merupakan suatu berita yang belum pernah saya
perhatikan, dan sesungguhnya aku hanya berpendapat seperti apa yang engkau
katakan.”

Selanjutnya
Umar ibnu Abdul Aziz memanggil seorang lelaki Yahudi yang ada di negeri Syam
yang telah masuk Islam dan berbuat baik dalam Islamnya. Dahulu lelaki itu
termasuk salah seorang dari ulama mereka (Yahudi); Lalu Khalifah Umar ibnu
Abdul Aziz bertanya kepadanya, “Manakah di antara kedua putra Ibrahim yang
diperintahkan agar disembelih?” Saat itu Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi
berada di samping Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz. Lelaki itu menjawab,
“Demi Allah, hai Amirul Mu-minin, sesungguhnya orang-orang Yahudi
benar-benar mengetahui hal tersebut, tetapi mereka dengki terhadap kalian
bangsa Arab bila bapak moyang kalian yang disebutkan dalam perintah Allah dan
keutamaan yang dimilikinya saat menghadapi perintah Allah berkat kesabarannya.
Mereka berbalik mengingkari hal tersebut dan menduganya bahwa yang disembelih
itu adalah Nabi Ishaq
 عَلَيْهِ السَلاَم
 karena Ishaq   عَلَيْهِ
السَلاَمُ
adalah bapak moyang mereka. Hanya Allah
Yang lebih mengetahui mana yang sebenarnya, yang jelas Nabi Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
adalah seorang yang taat kepada Allah

Abdullah
putra Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah mengatakan bahwa ia pernah
bertanya kepada ayahnya tentang anak yang disembelih itu, Nabi Ismail  
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
ataukah Nabi Ishaq عَلَيْهِ
السَلاَمُ
. Maka Imam Ahmad menjawab bahwa putra yang
disembelih itu adalah Ismail
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
. Ia menyebutkan hal ini di dalam Kitabuz Zuhud-nya. Ibnu Abu
Hatim mengatakan, ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa anak yang
disembelih itu yang benar adalah Nabi Ismail
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
.

Telah
diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Abut Tufail, Sa’id ibnul
Musayyab, Sa’id ibnu Jubair, Al-Hasan, Mujahid, Asy-Sya’bi, Muhammad ibnu Ka’b
Al-Qurazi, dan Abu Ja’far alias Muhammad ibnu Ali serta Abu Saleh, bahwa mereka
telah mengatakan anak yang disembelih itu adalah Nabi Ismail
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
.

Al-Bagawi
di dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa pendapat yang sama dikatakan oleh
Abdullah ibnu Umar, Sa’id ibnul Musayyab, As-Saddi, Al-Hasan Al-Basri, Mujahid,
Ar-Rabi’ ibnu Anas, Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi, dan Al-Kalbi, juga menurut
suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas, dan pendapat yang sama
diriwayatkan pula dari Abu Amr ibnul Ala.

Sehubungan
dengan hal ini Ibnu Jarir telah meriwayatkan sebuah hadis yang garib. Dia mengatakan, telah menceritakan
kepadaku Muhammad ibnu Ammar Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Ismail
ibnu Ubaid ibnu Abu Karimah, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abdur
Rahim Al-Khaltabi, dari Abdullah ibnu Muhammad Al-Atabi  (salah seorang
putra Atabah ibnu Abu Sufyan), dari ayahnya, bahwa telah menceritakan kepadanya
Abdullah ibnu Sa’id, dari As-Sanabiji yang mengatakan, bahwa ketika kami berada
di tempat Mu’awiyah ibnu Abu Sufyan, orang-orang yang hadir membicarakan
tentang anak yang disembelih, apakah dia Nabi  Ismail ataukah nabi Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
. Lalu Mu’awiyah ibnu Abu Sufyan berkata,
“Kalian bertanya kepada orang yang tepat.”

Mu’awiyah
melanjutkan bahwa pada suatu hari ketika kami para sahabat berada di tempat
Rasulullah Sallallahu ‘alahi wa sallam , maka beliau kedatangan seorang lelaki
yang berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, berikanlah kepadaku sebagian
dari apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu sebagai harta fai’, wahai
putra kedua orang yang disembelih.”

Rasulullah
Salallahu Alahi Wasalam tersenyum mendengar hal itu. Lalu ada yang bertanya
(kepada Mu’awiyah), “Wahai Amirul Mu-minin, siapakah kedua orang yang
disembelih itu?” Maka Mu’awiyah menjawab, bahwa ketika Abdul Muttalib
diperintahkan untuk menggali (ulang) sumur zam-zam, ia bernazar kepada Allah,
bahwa jika segala sesuatunya dilancarkan oleh Allah dalam urusannya itu, dia
akan menyembelih salah seorang putranya. Mu’awiyah melanjutkan kisahnya, bahwa
ternyata setelah dilakukan undian (di antara anak-anaknya) pilihan jatuh kepada
Abdullah (ayahanda Nabi Sallallahu alaihi wasalam ). Tetapi paman-pamannya yang
dari pihak ibu melarangnya, dan mereka mengatakan, “Tebuslah anakmu ini
dengan seratus ekor unta.” Akhirnya Abdul Muttalib menebusnya dengan
seratus ekor unta. Dan orang kedua yang disembelih adalah Ismail
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
.

Hadis
ini garib sekali, dan Al-Umawi telah
meriwayatkan hadis ini di dalam kitab Magazi-nya, telah menceritakan kepada kami
sebagian dari teman-teman kami, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu
Ubaid ibnu Abu Karimah, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdur Rahman
Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Muhammad Al-Atabi
(salah seorang anak Atabah ibnu Abu Sufyan), telah menceritakan kepada kami
Abdullah ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada kami As-Sanabiji, bahwa ia
pernah menghadiri Majelis Mu’awiyah. Lalu kaum yang hadir membicarakan tentang
Ismail
عَلَيْهِ السَلاَمُ atau Ishaq عَلَيْهِ السَلاَمُ anak yang disembelih itu, kemudian disebutkan hal yang semisal.

Dan
sesungguh­nya Ibnu Jarir melakukan suatu kekeliruan dengan memilih pendapat
yang mengatakan Zabih adalah Ishaq terhadap firman Allah Swt.: Maka Kami beri dia kabar gembira
dengan seorang anak yang sangat sabar. 
(Ash-Shaffat:
101). Ia menakwilkan bahwa kabar gembira ini adalah yang menyangkut kelahiran
Ishaq, padahal yang sebenarnya adalah firman Allah : dan mereka memberi kabar gembira
kepadanya dengan 
(kelahiran) seorang anak yang alim (Ishaq). (Az-Zariyat: 28).

Dan
ia menjawab tentang berita gembira akan kelahiran Ya’qub
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
dari Ishaq عَلَيْهِ
السَلاَمُ
, bahwa hal itu terjadi setelah dia
sampai pada usia sanggup berusaha (bekerja). Dan merupakan suatu hal yang tidak
mustahil bila Ishaq
 عَلَيْهِ
السَلاَمُ
mempunyai anak lain selain Ya’qub عَلَيْهِ
السَلاَمُ
. Ibnu Jarir mengatakan, ‘Adapun mengenai
sepasang tanduk yang digantungkan di Ka’bah, bisa saja keduanya (Ibrahim dan
Ishaq) memindahkannya dari negeri Kan’an (ke Mekah).'” Ibnu Jarir
mengatakan pula bahwa di antara ulama ada yang berpendapat bahwa anak yang
disembelih itu adalah Ishaq
عَلَيْهِ
السَلاَمُ
, dan penyembelihannya dilakukan di Kan’an.

Apa
yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya ini bukan
merupakan suatu pendapat yang benar, bukan pula merupakan hal yang pasti.
Bahkan jauh sekali dari kebenaran, mengingat apa yang telah disimpulkan oleh
Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi yang mengatakan bahwa anak yang disembelih itu
adalah Ismail, merupakan pendapat yang lebih kuat dan lebih sahih serta lebih
terbukti kebenarannya; hanya Allah  Yang
Maha Mengetahui.

  1. Siapa
    yang Disembelih Menurut Muhammad Husein Haekal ?

Mohammad Husain Haekal merupakan
salah satu Intelektual Muslim yang berpengaruh di dunia. Mohammad Husain Haekal
terkenal di timur dan barat setelah ia berhasil menyelesaikan  buku berjudul “Hayatu Muhammad (Kehidupan
Muhammad). Mohammad Husain Haekal dilahirkan pada tanggal 30 Agustus 1888 di
desa Kafr Ghannam, wilayah Mesir Hilir. Haekal lahir dari keluarga yang berada,
terpandang dan berpengaruh.

Dalam karyanya “Hayatu Muhammad ”,  Ia menyatakan bahwa beberapa
ahli sejarah berselisih pendapat tentang penyembelihan Nabi Ismail Alahi salam
serta kurban yang telah dipersembahkan Nabi Ibrahim Alahi salam. Apakah sebelum
kelahiran Nabi Ishaq Alahisalam atau sesudahnya ? Ahli sejarah Yahudi
berpendapat bahwa yang disembelih itu Nabi Ishaq Alahisalam bukan Nabi Ismail
Alahisalam. Dalam kitab Qisasul Anbiya’ karya Syaikh Abdul Wahab an-Najjar
berpendapat bahwa yang disembelih itu adalah Nabi Ismail Alahisalam. Argumen
ini diambil dari kitab Taurat sendiri.

 Karena pada saat itu
Ismail Alahisalam adalah putera satu-satunya Nabi Ibrahim Alahisalam sebelum
Nabi Ishaq
عَلَيْهِ السَلاَمُ
lahir. Dalam menafsirkan peristiwa di Q.S 37 : 103-104, Abdullah Yusuf Ali
dalam karyanya “The Holy Qur’an” menyebutkan bahwa versi Islam mungkin dapat
dibandingkan dengan versi Yahudi dan versi Kristen menurut Injil Perjanjian
Lama yang sekarang.

Untuk menganggungkan cabang keluarga yang lebih muda yakni
keturunan dari Nabi Ishaq alahisalam (leluhur bangsa Yahudi) sebagailawan
cabang yang lebih tua keturuanan Nabi Ismail alahisalam (leluhur bangsa Arab)
maka cerita turun menurun orang Yahudi ,menyebutkan bahwa sang kurban itu
adalah Nabi Ishaq (dalam Kitab Kejadian xxii, 1-18). Nabi Ishaq alahisalam
lahir ketika Nabi Ibrahim alahisalam berusia 100 tahun (dalam kitab Kejadian
xxi.5) sementara Nabi Ismail alahisalam lahir ketika Nabi Ibrahim berumur 86
tahun (kitab kejadian xvi.16). Ini berarti Nabi Ismail alahisalam lebih tua 14
tahun dibandingkan Nabi Ishaq alahisalam. Selama dalam umur 14 tahun itu, Nabi
Ismail alahisalam adalah anak satu-satunya Nabi Ibrahim alahisalam.

Dalam Injil Perjanjian Lama kitab Kejadian disebutkan bahwa :
Ambilah anakmu yang tunggal itu , yang engkau kasihi ke tanah Moria dan
persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu Gunung yang
akan Ku katakan padamu. Jadi jelas yand dikorbankan itu anak yang tunggal saat
itu yakni Nabi Ismail alahisalam bukan Nabi Ishaq. Tanah Moria sendiri tidak
jelas dimana namun orang-orang Ahli kitab menjadikan Moria di Yerusalem untuk
membenarkan Kitab Kejadian tersebut.

 

 

 

 

 



BAB II

Pelaksanaan Qurban dalam Tinjauan Syariat
Islam dan Fiqih Kontemporer

            
I.    
Hukum Berqurban (Al Adla-Hi) dalam Syariat
Islam

Kata “Al Adla-hi
itu, jamaknya dari kata “Udlhiyatun
dengan dhommah hamzah. Boleh kasrah hamzah dan boleh pula dibuang hamzah itu
dengan fathah dha”, sehingga menjadi dhahhiyyah.
Seakan-akan kata itu diambil dari nama waktu itu diisyaratkan penyembelihan
Qurban. Berdasarkan itu maka dinamailah hari itu dengan Hari Raya Idul Adha. Dari
sunnah terdapat riwayat dari Anas bin Malik radiallahu ‘anhu, ia berkata,

ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَالَ
وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى
صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ

Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor kambing kibasy putih yang telah
tumbuh tanduknya. Anas berkata : “Aku melihat beliau menyembelih dua ekor
kambing tersebut dengan tangan beliau sendiri. Aku melihat beliau menginjak
kakinya di pangkal leher kambing itu. Beliau membaca basmalah dan takbir
(HR. Bukhari no. 5558
dan Muslim no. 1966). Dalam Hadis Lain disebutkan bahwa :

 

وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – – “مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا”
– رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ مَاجَه, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, لَكِنْ رَجَّحَ
اَلْأَئِمَّةُ غَيْرُهُ وَقْفَه ُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memiliki
kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat
shalat kami.
” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu
Majah. Al Hakim menshahihkannya. Akan tetapi ulama lainnya mengatakan bahwa hadits
ini mauquf, yaitu hanyalah perkataan sahabat. (HR.
Ahmad 14: 24 dan Ibnu Majah no. 3123. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa
sanad hadits ini hasan).

 

Hadis ini
dijadikan dalil (dasar) tentang kewajiban berqurban atas orang yang mempunyai
kemampuan, karena sesungguhnya takala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang orang yang mampu berqurban namun tidak melaksanakannya untuk tidak
mendekati tempat Shalat itu menunjukan bahwa dengan meninggalkan Qurban maka
dia telah meninggalkan kewajibannya. Seakan-akan Nabi bersabda “ Tidak ada
gunanya Shalat dengan meninggalkan kewajiban Qurban ini”. Kewajiban Qurban ini
berdasarkan pula firman Allah :
, فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Fashalli Lirabbika wanhar
(Lalu Shalatlah kamu kepada Tuhanmu dan berqurbanlah). Juga berdasarkan Hadis
dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

يَا يُّهَاالنَّاسُ اِنَّ عَلى كُل أهْلِ
بَيْتٍ في كلِّ عَامٍ أُضْحِيَّة

 

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya
atas tiap-tiap ahli rumah pada tiap-tiap tahun disunatkan berkurban,” (HR
Abu Dawud). Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam itu menunjukan
kewajiban berqurban. Mengenai kewajiban Qurban ini menjadi pendapat Imam Abu
Hanifah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian Ulama lainnya. Imam Abu
Hanifah semoga Allah merahmatinya mewajibkan Qurban atas Muslim yang kaya
maupun yang miskin. Sebagian Ulama juga berpendapat bahwa hukum berqurban itu
tidak wajib karena Hadis yang pertama tadi adalah Hadis Mauquf (sanadnya hanya
sampai kepada Sahabat Nabi). Sedangkan Hadis yang kedua, dinilai lemah  karena dalam sanadnya ada Abu Ramlah. Kata
Al-Khathabi : sesungguhnya Abu Ramlah itu orang yang tidak dikenal.

Baca...  Peran Hijab dalam Filsafat Keberagaman

Lalu Firman Allah : فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
, ditafsirkan beragam
oleh para Ulama. Seandainya benar ayat itu menjadi landasan wajib Qurban maka
ayat tersebut menunjukan bahwa penyembelihan Qurban itu sesudah Shalat Ied.
Jadi, ayat itu hanya menentukan waktu penyembelihan Qurban bukan menunjukan
wajibnya. Seakan-akan Allah berfirman : Apabila kamu menyembelih Qurban maka
lakukanlah sesudah Shalat Ied. Sesungguhnya Ibnu Jarir telah meriwayatkan Hadis
dari Anas semoga Allah meridainya menyatakan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa salam pernah menyembelih Qurban selama beliau Shalat Ied lalu beliau
diperintahkan lebih dahulu kemudian menyembelih Qurban.

Oleh
karena kelemahan beberapa Dalil (dasar) tentang kewajiban berkurban itu, maka
Mayoritas Sahabat Nabi, para Tabi’in, dan Fuqaha (ahli fiqih) menyatakan bahwa
berqurban itu hukumnya Sunnah Muakkadah. Ibnu Hazm semoga Allah merahmatinya
berkata bahwa tidak benar dari seorang Sahabat pun dari para sahabat itu yang
berpendapat bahwa Qurban itu wajib. Dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam
 diriwayatkan oleh al Jama’ah kecuali
Imma Al Bukhari yaitu dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha
:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ
ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ
وَأَظْفَارِهِ

“Jika kalian telah menyaksikan
hilal Dzul Hijah (maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah, ) dan seseorang di
antara kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban membiarkan
(artinya tidak memotong) rambut dan kukunya”. Imam Syafi’i semoga Allah
merahmatinya, berkata  Sesungguhnya sabdanya
: “ seseorang di antara kamu ingin berqurban” itu menunjukan tidak wajibnya
berkurban.  

Imam al-Baihaqi meriwayatkannnya
dari sanad yang lain dengan susunan matan bahwa Nabi Muhammad Shallallu ‘alaihi
wasallam bersabda : “ Telah diwajibkan atasku berqurban dan tidak diwajibkan
atas kamu sekalian”. Semua praktik para Sahabat Nabi menunjukan tidak wajibnya
berkurban. Jadi, jelas bahwa hukum berqurban menurut Mayoritas Ulama adalah
Sunnah Muakkdah. 

Sekedar penjelasan, Sunnah
menurut Fuqaha adalah sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh syara’ kita
mengerjakannya tetapi dengan tuntutan yang tidak menunjukan kepada harus
dilakukan. Prof. Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya “ Pengantar
Hukum Islam Jilid II” menjelaskan bahwa Sunnah artinya pekerjaan itu disuruh
kita kerjakan, diberi pahala hanya saja tidak dihukumi berdosa orang yang
meninggalkannya, hanya saja orang yang tidak mengerjakannya boleh jadi mendapat
pencelaan, karena ia tidak memenuhi tujuan agama (syariat) atau yang lebih baik
dikerjakan walaupun boleh ditinggalkan.

Perbedaan Sunnah dengan Mandub
adalah jika Sunnah ialah yang selalu dikerjakan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wasalam dan Mandub ialah yang dikerjakan Nabi hanya sekali dua kali
saja (jarang dilakukan) menurut Al-Qadli Husain semoga Allah merahmatinya. Ahli
Ushul Fiqih membagi Sunnah kepada dua yaitu Sunnah Had-yin yaitu segala
pekerjaan yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban agama dan Sunnah
Za’idah yaitu segala pekerjaan yang Nabi kerjakan dan masuk urusan adat
kebiasaan dan tidak ada celaan meninggalkannya.

Sementara Ulama Madzhab
Syafi’iyah membagi Sunnah atas dua yaitu Sunnah Muakkadah yaitu sesuatu yang tetap
Rasull kerjakan atau yang lebih baik dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa
dia bukan Fardhu dan Sunnah Ghairu Muakkadah yaitu sesuatu yang tidak tetap
Rasull kerjakan sperti Shalat empat rakaat sebelum Shalat Dzuhur.

Jadi, yang dimaksud Hukum
berqurban Sunnah Muakkadah adalah sesuatu yang lebih baik dikerjakan oleh
setiap Muslim karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam tidak
meninggalkannya dan sesungguhnya pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam ada teladan yang baik dan sempurna. Jika seseorang bernazar untuk
berqurban maka hukumnya ia wajib melaksanakannya.

 

 

 

II.    
Waktu Penyembelihan Hewan Qurban

Mengenai
waktu penyembelihan qurban dijelaskan dalam hadits berikut,

عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه
وسلم – « مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ
ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ
الْمُسْلِمِينَ

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam
 bersabda, “Barangsiapa yang
menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia berarti menyembelih
untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Adha),
maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum
muslimin
.” Dalam Hadis lain disebutkan bahwa :

عَنْ
جُنْدَبٍ أَنَّهُ شَهِدَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ النَّحْرِ
صَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ « مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيَذْبَحْ
مَكَانَهَا أُخْرَى ، وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ »

Dari
Jundab bin Sufyan, ia menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam
 lalu beliau
berkhutbah dan bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘ied, hendaklah ia
mengulanginya. Dan yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih dengan
menyebut ‘Bismillah’.
 

Jundab
bin Sufyan semoga Allah merahmatinya pernah berhari raya Qurban bersama
Rasulullah. Saat Nabi berkhutbah Shalat Ied, beliau melihat seseorang menyembelih
seekor Kambing lalu Nabi bersabda : Barangsiapa yang menyembelih sebelum Shalat
Ied maka hendaklah dia menyembelih seekor Kambing lagi sebagai gantinya. Dan
barangsiapa yang belum menyembelihnya maka hendaklah dia menyembelih dengan
menyebut nama Allah. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam
Musli,m semoga Allah merahmati mereka.

Imam
Syafi’i dan Imam Abu Daud semoga Allah merahmati mereka, berkata waktu
penyembelihan hewan Qurban itu apabila sudah terbit Matahari dan setelah
berlangsung Shalat Ied. Jadi, mayoritas Ulama berpendapat tidak sah Qurban sebelum
selesai Shalat Ied dan dua khutbahnya. Selanjutnya seluruh Ulama bersepakat
(Ijma’) bahwa waktu penyembelihan hewan Qurban itu dimulai dari hari ke sepuluh
bulan Dzulhijah hingga dua hari sesudahnya.

  III. Hewan-Hewan yang Tidak Sah Dijadikan Hewan Qurban

Dalam
hadits no. 1359, disebutkan,

 

وَعَنِ اَلْبَرَاءِ بنِ عَازِبٍ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَامَ فِينَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
فَقَالَ: – “أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي اَلضَّحَايَا: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ
عَوَرُهَا, وَالْمَرِيضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا, وَالْعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ
ظَلْعُهَا  وَالْكَسِيرَةُ اَلَّتِي لَا تُنْقِي” – رَوَاهُ اَلْخَمْسَة ُ .
وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّان َ

Dari
Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma,
ia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami dan berkata,
“Ada empat cacat yang tidak dibolehkan pada hewan kurban: (1) buta sebelah dan
jelas sekali kebutaannya, (2) sakit dan tampak jelas sakitnya, (3) pincang dan
tampak jelas pincangnya, (4) sangat
 kurus sampai-sampai tidak
punya sumsum tulang.
” Dikeluarkan oleh yang lima
(empat penulis kitab sunan ditambah dengan Imam Ahmad). Dishahihkan oleh
Tirmidzi dan Ibnu Hibban semoga Allah merahmatinya. Imam Al-Hakim semoga Allah
merahmatinya menyatakan bahwa walau Hadis ini tidak diriwayatkan Imam Bukhari
dan Imam Muslim, semoga Allah merahmatinya tetapi Hadis ini Sahih. Imam Ahmad
bin Hanbal semoga Allah merahmatinya, bekata : Alangkah bagusnya Hadis itu.
Imam At-Tirmidzi  semoga Allah
merahmatinya, menyatakan Hadis itu Hasan.

Imam
Syafi’i semoga Allah merahmatinya, berkata : Bukti hewan itu pincang adalah
apabila dia terlambat dari Kambing atau hewan lain karena pincangnya itu.
Terdapat juga larangan berkqurban dengan hewan yang Mushfirah yaitun
hewan yang sangat kurus kering sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab
An-Nihayah. Dilarang juha hewan yang Al Mashfurah yaitu hewan yang tidak
mempunyai telinga. Yang Musta’shilah yaitu hewan yang patah tanduk dari
pangkalnya. Hewan yang Najqa’u yaitu hewan yang sakit matanya serta dilarang
juga hewan yang Kasra’u yaitu hewan yang patah kakinya.

  IV.     Batasan Umur Hewan yang Dapat Di Qurbankan

وَعَنْ
جَابِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – –
“لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا
جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ” – رَوَاهُ مُسْلِم ٌ

Dari
Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam
 bersabda, Janganlah kalian
menyembelih kecuali
Musinnah. Kecuali jika terasa
sulit bagi kalian, maka sembelihlah
Jadza’ah dari domba.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim, (HR.
Muslim no. 1963). Musinnah adalah hewan yang tumbuh gigi yang berumur
dua tahun masuk tiga tahun dari semua bianatang ternak dari Unta, Sapi, Kambing
dan yang lebih kecil dari itu. Hadis itu menjadi dasar sebagian kecil Ulama
menyatakan bahwa pada prinsipnya tidak sah berqurban dengan hewan yang  berumur 4 tahun masuk 5 tahun (Jadz’ah) dalam
semua kedaan kecuali sulit mendapatkan Musinnah.

Ibnu
Umar dan Imam Az-Zuhri semoga Allah meridai mereka, menyatakan bahwa tidak sah
berqurban dengan hewan Jadz’ah
sekalipun dalam kesulitan. Selanjutnya, mayoritas Ulama berpendapat bahwa sah
berqurban dengan hewan Kibas yang berumur 4 tahun masuk 5 tahun secara mutlak.
Mereka menafsirkan sunnah saja berqurban dengan hewan yang Musinnah.

 Sebagai titik temunya adalah jika kesulitan
mendapatkan Musinnah maka boleh berqurban dengan hewan berumur 4 tahun masuk 5
tahun.
Unta minimal berumur 5 tahun lebih
atau telah masuk tahun ke-6, Sapi atau kerbau minimal berumur 2 tahun lebih
atau telah masuk tahun ke-3, Domba berumur 1 tahun lebih atau sudah berganti
gigi,  Kambing berumur 2 tahun lebih atau
masuk tahun ke-3

Sebagai tambahan, Ulama sudah sepakat boleh berqurban
dengan semua hewan ternak dan mereka hanya berbeda pendapat hewan mana yang
lebih utama.Yang lebih utama adalah Kambing berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam kitab Subulussalam karya Imam As-Shan’ani
menyebutkan ada riwayat dari Asma’ semoga Allah meridainya, ia berkata bahwa :
Kami berqurban bersama Rasulullah dengan seekor Kuda. Dan Abu Hurairah semoga
Allah meridainya pernah berqurban dengan seekor Ayam jantan. Dan jika riwayat
Abu Hurairah ini benar maka itu hanyalah Ijtihad beliau semata.

   V.     Hukum Berkurban Satu Ekor Kambing untuk Satu Keluarga

Dalil
bahwa satu qurban bisa berserikat pahala untuk satu keluarga yaitu hadits dari
‘Atho’ bin Yasar, ia berkata :

سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى
عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : كَانَ
الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ
وَيُطْعِمُونَ

“Aku pernah bertanya
pada Ayyub Al-Anshari, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang biasa berqurban dengan seekor
kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka memakan
qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi no.
1505 dan Ibnu Majah no. 3147. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ada
Hadis riwayat Ibnu Majah. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah,

 عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيدٍ بِكَبْشَيْنِ فَقَالَ حِينَ
وَجَّهَهُمَا إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ
حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ
وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ
وَأُمَّتِهِ. رواه أبن ماجه

Dari Jabir bin Abdullah dia berkata,
“Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam menyembelih dua ekor kambing kurban
pada waktu Idul Kurban. Saat menghadapkan keduanya beliau mengucapkan:
‘Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan
bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan Allah. Sesungguhnya shalatku, ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu
bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah). Ya Allah (ini adalah)
dari-Mu dan untuk-Mu, dari Muhammad dan umatnya.’.”Kemudian Hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim adalah sebagai
berikut:

بِسْمِ
اَللَّهِ, اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ, وَمِنْ أُمّةِ
مُحَمَّدٍ

Bismillah, Allahumma taqobbal min
Muhammad wa aali Muhammad, wa min ummati Muhammad yang artinya “Dengan
nama Allah Ya Allah, terimalah dari Muhammad dan dari keluarga Muhammad dan
dari umat Muhammad.” Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam ketika
menyembelih hewan Qurban berdoa “Ya Allah terimalah dari Muhammad dan dari
keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad” dan ini dijadikan dalil kuat bahwa
boleh berqurban satu ekor Kambing untuk satu keluarga.

Selanjutnya, Dalam buku  Hukum-Hukum Fiqih Islam karya Prof. Muhammad
Hasbi ash-shiddiqiey menyebutkan bahwa Imam Malik semoga Allah merahmatinya
berkata bahwa boleh berqurban satu ekor Kambing untuk satu orang dan boleh juga
satu ekor Kambing untuk satu rumah. Imam As-Shan’ani semoga Allah merahmatinya,
dalam kitab Subulussalam menyebutkan kesepakatan Ulama bahwa satu ekor Kambing
sah untuk satu orang dan untuk keluarganya atau rumah tangga berdasarkan
perbuatan Nabi. Imam Malik semoga Allah meridainya dalam kitab Al-Muwatha’
menyatakan bahwa berdasarkan riwayat dari Abu Ayub Al-Anshari berkata bahwa :
Kami berqurban seekor Kambing yang disembelih oleh seorang untuk dirinya dan
keluarga rumah tangganya.

 Selanjutnya, seekor Unta untuk tujuh orang dan
seekor Sapi juga untuk tujuh orang. Ishaq ibn Rahawih berpendapat satu ekor
Sapi boleh untuk 10 orang. Boleh 7 orang tersebut berserikat menyembelih seekor
Unta atau Sapi baik mereka satu rumah maupun berlainan rumah. Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas bahwa seekor Unta itu untuk sepuluh orang.  Ibnu Rusyd kitab Bidayatul Mujtahid
menyebutkan bahwa kesepakatan Ulama menyatakan bahwa tidak boleh perkongsian
lebih daripada 7 orang untuk seekor Sapi dan seekor Unta.

Selanjutnya, Dalam kitab Sirah Nabawiyah
karya Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury menyebutkan bahwa Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alahi wa sallam pernah berqurban dalam Haji Wada sebanyak enam
puluh tiga ekor Unta untuk diri beliau dan menyerahkan kepada Imam Ali bin Abu
Thalib semoga Allah meridainya, berupa tiga puluh tujuh ekor unta, jadi
semuanya seratus ekor Unta. Jadi jika seseorang memiliki kelebihan harta dan
kemampuan maka ia boleh dan lebih baik jika berqurban menyembelih hewan Qurban
dengan jumlah yang banyak seperti yang dilakukan Nabi dan Imam Ali bin Abu
Thalib.

 VI.   Cara Menyembelih Hewan Qurban

Hadis
dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى
كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ
فَأَحْسِنُوا الذَّبْح وَ ليُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

 “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan
(baik) dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan ihsan, jika
kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR.Muslim). Berdasarkan
Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Standarisai Halal, syarat Penyembelihan
menurut syariat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1.  
Yang boleh menyembelih hewan adalah orang yang
beragama Islam dan akil balig (dewasa).

2.  
Cara penyembelihan adalah sah apabila dilakukan dengan
:

a.        
Membaca “bismilah
(dengan menyebut nama Allah)” saat menyembelih;

b.       
Menggunakan alat pemotong yang tajam;

c.        
Memotong sekaligus sampai putus saluran
pernafasan/tenggorokan (hulqum),
saluran makanan, dan kedua urat nadi;

d.       
Pada saat pemotongan, hewan yang dipotong masih hidup.

3.   Pada dasarnya
pemingsanan hewan (stunning)
hukumanya boleh dengan syarat tidak menyakiti hewan yang bersangkutan dan
sesudah di stunning hewannya masih
hidup (hayat mustaqirrah).

4.   Pemingsanan secara
mekanik, dengan listrik, secara kimiawi ataupun cara lain yang dianggap
menyakiti hewan hukumnya tidak boleh.

Ketika akan menyembelih hewan
Qurban maka hewan tersebut harus dihadapkan ke arah kiblat dan ketika
menyembelih mengucapkan doa Sementara itu, apabila hendak menyembelih hewan
kurban, maka dapat membaca doa sebagai berikut:

رَبَّنَا
تَقَبَّلْ مِنَّآ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ

Arab-latin: rabbanā taqabbal
minnā, innaka antas-samī’ul-‘alīm, Artinya: “Ya Tuhan kami terimalah
daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.”

  VII. Cara Pembagian
Hewan Qurban

Dalilnya,
dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم –
أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ ، وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا ،
لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا ] فِى الْمَسَاكِينِ[  ، وَلاَ
يُعْطِىَ فِى جِزَارَتِهَا شَيْئًا

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk
mengurusi unta-unta hadyu. Beliau memerintah untuk membagi semua daging
qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk
melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan beliau tidak
diperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada tukang jagal
(sebagai upah).
Dalam
hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menyedekahkan seluruh hasil
sembelihan qurbannya kepada orang miskin.

Dalam
Kitab Subulussalam disebutkan Hadis itu menunjukan bahwa hewan Qurban itu
disedekahkan kulit-kulitnya dan kotorannya untuk pupuk sebagaimana disedekahkan
daging-daging dan tulang-tulangnya. Tidak boleh (Haram) hukumnya penyembelih
mengambil sedikitpun  dari daging atau
bagian tubuh hewan  Qurban itu sebagai upahnya
dan ini merupakan kesepakatan Ulama.

 Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid
menyebutkan bahwa Ulama sepakat bahwa tidak boleh menjual daging Qurban dan
Ulama ada yang berpendapat boleh menjual kulitnya tetapi hasil dari penjualan
kulit itu harus dibagikan semuanya kepada orang yang menerima Qurban.

Selanjutnya,
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda : “ Apabila sudah hari ke 10
Dzulhijjah dan seseorang di antara kamu sekalian hendak berqurban maka jangan
hendaknya dia jangan memotong rambut dan kukunya sedikitpun”. Maksud Hadis ini
adalah bagi orang yang berqurban agar pada tanggal 10 Dzulhijjah agar tidak
memotong kuku dan rambut orang yang mau berqurban agar tidak ada bagian
tubuhnya yang terlepas sebelum diampuni dosanya oleh Allah. Tetapi sebagian
Ulama menyatakan bahwa hal tersebut adalah Sunnah bukan termasuk haram.

Selanjutnya
disunnahkan juga bagi orang yang mau berqurban untuk mensedekahkan daging
Qurbannya dan memakannya sebagian. Mayoritas Ulama menyatakan bahwa hewan
Qurban itu dibagi atas sepertiga untuk disedekahkan kepada fakir dan miskin dan
sepertiga lagi untuk orang yang berqurban
. Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Makanlah kamu sekalian, sedekahkanlah dan
simpanlah sebagian”.

 Tidak dibenarkan orang yang ditugaskan menyembelih
hewan Qurban menikmati atau memakan bagian-bagian tubuh hewan Qurban yang akan
dibagikan karena semua bagian tubuh hewan Qurban tersebut adalah hak si
penerima hewan Qurban dan orang yang berqurban. Sesungguhnya Allah akan
memintai pertanggungjawaban setiap tindakan dan perbuatan. Selanjutnya para
Ulama membolehkan membagian daging hewan Qurban kepada orang-orang bukan Islam.

Selanjutnya,
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda yang artinya : “ Saya
melarang kamu membagi daging Qurban itu lebih dari tiga hari agar cukup
pemberian orang yang mampu kepada orang yang tidak mampu, maka makanlah sesuatu
yang nampak ada bagimu, sedekahkanlah dan simpanlah sebagian”.

Selanjutnya,
Dalam kitab “ Kado Sang buah Hati” karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah disebutkan
bahwa boleh hukumnya aqiqah dan kurban digabung jika bertepatan dengan hari
kurban karena tercapainya tujuan dengan satu penyembelihan. Jika ia menyembelih
dengan niat beraqiqah dan berkurban maka hal itu boleh menurut sebagian besar Ulama.

  VIII.     Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang
Hukum Qurban dengan Hewan yang Terkena Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Tahun 2022

Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa hukum berqurban dengan hewan yang
terkena penyakit kuku dan mulut (PMK) 
bernomor 32 tahun 2022 yang isinya bahwa :

a.    Hewan yang terkena PMK dengan gejala
klinis kategori ringan seperti lepuh ringan pada cela kuku, kondisi lesu, tidak
nafsu makan, keluar air liur lebih dari biasanya hukumnya sah dijadikan hewan
Qurban;

b.   Hewan yang terkena PMK dengan gejala
klins kategori berat seperti lepuh pada kuku hingga terlepas dan/atau
menyebabkan pincang/tidak bisa berjalan serta menyebabkan sangat kurus hukumnya
tidak sah dijadikan hewan kurban;

c.    Hewan yang terkena PMK dengan gejala
klins berat dan sembuh dari PMK dalam rentang waktu yang dibolehkan Qurban
(tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah) maka hewan sembelihan itu dianggap sedekah
bukan hewan Qurban.

d.   Pelobangan pada telinga hewan (ear tag)
atau pemeberian cap pada tubuhnya sebagai tanda hewan itu sudah divaksin atau
sebagai identitasnya tidak menghalangi keabsahan hewan Qurban itu.

Umat Islam yang akan berkurban dan
penjual hewan Qurban wajib memastikan hewan yang akan dijadikan hewan Qurban memenuhi
syarat sah khususnya dari segi kesehatan dengan standar yang ditetapkan
pemerintah. Umat Islam Islam yang melaksanakan Qurban tidak harus menyembelih
sendiri dan/atau menyaksikan langsung peroses penyembelihan.



Bab III

Hikmah Berqurban dalam Islam

Memahami Qurban bisa dilakukan dari
berbagai aspek dan dalam pembahasan ini akan dikaji secara hikmah . Ibnu Sina
dalam Ath-tha’biyat mendefiniskan hikmat sebagai mencari kesempurnaan diri
manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat
baik yang bersifat teori maupun praktek manurut kadar kemampuan manusia.

Hikmah Qurban yang pertama adalah agar
kita memperkuat keyakinan dan keimanan kepada Allah (memperkuat Tauhid).  Prof. Ismail Raji’ al-Faruqi dalam karyanya “
Tawhid “its implications for thought and life” menyebutkan bahwa secara tradisional
dan ungkapan yang sederhana, Tauhid adalah keyakinan  dan kesaksian bahwa “Tiada Tuhan selain
Allah”. Pernyataan yang sangat singkat ini mengandung makna  yang paling agung dan paling kaya dalam
seluruh khazanah Islam.

Syarat sah diterimanya Qurban oleh Allah
adalah Tauhidnya harus benar. Jika Tauhidnya rusak maka sebanyak apapun dan
sebaik apapun Qurban tidak ada nilainya dihadapan Allah. Seperti halnya Qabil
yang membunuh Habil karena Qabil mengalami kecacatan Tauhid hal ini
menyebabkan  hilangnya rasa taqwa dalam
diri Habil yang membuat dirinya diliputi rasa dengki dan melakukan dosa teramat
besar yakni membunuh saudaranya sendiri.

Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah disebutkan
bahwa :
Ia (Qabil) berkata,
“Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil, “Sesungguhnya Allah hanya
menerima (kurban) dari
orang-orang yang bertakwa.” “Sungguh, kalau kamu menggerakkan
tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan
tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan
seru sekalian alam.Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dari dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi
penghuni neraka, dan yang demikian itu­lah pembalasan bagi orang-orang yang
zalim.

Oleh sebab itu, dalam buku “ Rumah Tangga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa sallam” karya H.M.H Al-hamid al-Husaini disebutkan bahwa Imam Hasan bin Ali
bin Abu Thalib semoga Allah meridhainya berpesan agar menjauhkan diri dari
sifat iri hati karena iri hati adalah printis kejahatan karena iri hati Qabil
membunuh Habil. Dalam melaksanakan Qurban dan menerima Qurban haruslah berusaha
menghilangkan rasa iri hati dan memperbaiki Tauhidnya. Allah berfirman dalam
Q.S An-Nisa ayat 32 : “ Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain”.

Iri hati hanya diperbolehkan kepada orang yang yang dikaruniai ilmu
oleh Allah dan orang yang dikaruniai harta oleh Allah lalu ia menginfakannya di
jalan Allah. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya “ Mukaasyafatul Quulub” menyebutkan  orang yang tidak takut kepada Allah akan
selalu mengeluarkan rasa permusuhan, kebohongan, kedengkian dari dalam hatinya
dan kedengkian itu dapat merusak kebaikan sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Sesungguhnya dengki itu akan membakar hangus
kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar”.

Ibadah Qurban harus berupaya menghilangkan sifat iri atau dengki. Salah
satu penyebab iri hati pada orang lain adalah merasa diri terkena penyakit
kegagalan sama halnya dengan Qabil yang merasa gagal mempersembakan Qurban
kepada Allah. Untuk itu David J. Schwartz dalam bukunya “ Berpikir dan Berjiwa
Besar” menyebutkan bahwa untuk mengatasi dari penyaki kegalalan maka
pelajarilah orang lain secara cermat untuk menemukan mengapa ia dapat berhasil
dan kemudian terapkan prinsip penghasil keberhasilan pada kehidupan.

Kemudian, jangan menjadi orang yang suka berangan-angan kosong dan
memboroskan energi mental untuk bermimpi menjadi  orang yang berhasil mencapai tujuan tanpa
usaha untuk mendapatkan keberhasilan. Kita tidak akan menjadi berhasil hanya
melalui nasib baik, keberhasilan datang dari usaha dan pengusaan
prinsip-prinsip yang menghasilkan keberhasilan. Selain itu cara agar
menghilangkan  rasa dengki dan iri hati
adalah selalu bersyukur dan jangan suka membandingkan diri terhadap
keberhasilan orang lain namun berusaha dan bertawakal itu lebih utama.

Yang kedua, hikmah Qurban dalam Islam dapat kita ambil dari sejarah
pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail salam sejahtera atasnya. Nabi Ismail salam
sejahtera atasnya, rela mengorbankan 
jiwanya (nafsnya) untuk mematuhi perintah Allah, Nabi Ismail salam
sejahtera atasnnya juga rela tubungnya dicincang-cincang demi kepatuhan
terhadap Allah. Lantas yang menjadi Muhasabah (bercermin) diri bagi kita adalah
sudah sejauh manakah kita mengorbankan pemikiran, Qalbu dan nafs serta harta
kita untuk beribadah kepada Allah atau berbagai nikmat yang dianugerahkan
kepada kita apakah hanya menjauhkan diri kita daripada mengingat Allah ?

Hari Raya Qurban menjadi muhasabah bagi kaum Muslimin dan Mukminin.
Peristiwa penyembelihan Nabi Ismail salam sejahtera atasnya yang dilakukan Nabi
Ibrahim salam sejahtera atasnya juga memberikan pesan penting bagi kaum
Muslimin yakni pentingnya mendidik dan memiliki keluarga yang Rabbaniyah, dekat
dengan Allah. Karena mustahil Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim mampu melaksanakan
perintah Allah tersebut jika sebelumnya Nabi Ibrahim tidak membekali pendidikan
yang benar sesuai ajaran Islam kepada Nabi Ismail.

Ketika kaum Muslimim merayakan Hari Raya
Qurban dan menyaksikan hewan-hewam disembelih dengan dengan mengucapkan kalimat
Allah yang Agung, takbir, tahmid dan tahlil kemudian menyantap hewan Qurban itu
dengan nikmat maka pada saat itu hewan-hewan yang dagingnya dicincang-cincang
dan disantap itu akan meminta pertanggungjawban kepada kita di hadapan Allah,
hewan-hewan itu rela mengorbankan nyawanya untuk Syariat Islam lantas sudah
sejauh manakah kontribusi kita kepada Islam dan sejauh manakah kecintaan kita
kepada Syariat dan syiar-syiar Islam. Untuk itu perlu ada Muhasabah (perenungan
diri) dan diikuti terus berupaya beribadah mendekatkan  diri kepada Allah Yang Maha Agung.

Hikmah yang ketiga adalah,  Nabi Ismail dipilih Allah untuk disembelih
bukan Nabi Ishaq, padahal Nabi Ismail dari kangan Arab dan keturunan seorang
mantan budak yaitu Sayyidah Hajar salam sejahtera atasnya, artinya disitu
adalah dengan itu Allah hendak memberikan suatu pengajaran pada seluruh
ciptaaannya bahwasanya yang membeda-bedakan 
insan yang satu dengan yang lain 
adalah iman dan amal shaleh yang  menghasilkan
taqwa. Allah tidak memebeda-bedakan bangsa Arab dan non-Arab seperti kaum Ahli
Kitab.

Oleh karena itu Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa salam dalam Pidatonya nyang terakhir dalam Haji Wada dan Piagam
Madinah selalu mengumandangkan pesan egalitarianisme. Jadi, ketika kita bersikap
membeda-bedakan status bangsa dan merasa bangsanya terhebat maka pesan spritual
Qurban tidak akan tercapai.

Hikmah keempat adalah, Ibadah Qurban
meningkatkan ibadah sosial yang sudah banyak diabaikan kaum Muslimin pada
dewasa ini. Karen Amstrong dalam bukunya “ Sejarah Tuhan” menyebutkan bahwa
praktik terpenting dalam Islam adalah kaum Muslimin memiliki kewajiban untuk menciptakan
masyarakat yang adil dan setara dimana orang-orang miskin dan lemah
diperlakukan secara layak, pesan moral Al-Qur’an sangat sederhana yakni janganlah
menimbun kekayaan dan mencari keuntungan bagi diri sendiri tetapi bagilah
kemakmuran secara merata  dengan
menyedekahkan sebagian harta kepada fakir-miskin”.

Dengan adanya ibadah Qurban ini, Islam
menghendaki orang-orang Muslim yang mammpu agar tidak melupakan fakir-miskin
dan kaum yang lemah dengan cara memberi mereka makanan berupa hewan daging
Qurban. Untuk itu, kaum Muslimin dengan perayaan Hari Raya Qurban diminta oleh
Allah senantiasa meningkatkan ibadah sosial sehingga tidak hanya sibuk
meratakan dahinya di atas sajadah.

Hikmah yang kelima adalah, dengan adanya
hari raya Qurban ini, umat Islam kembali diingatkan untuk mencintai syariat
Islam, mendirikan Shalat sesuai dengan
firman Allah yangb berbunyi : , فَصَلِّ لِرَبِّكَ
وَانْحَرْ
Fashalli
Lirabbika wanhar (Lalu Shalatlah kamu kepada Tuhanmu dan berqurbanlah). Buya
Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menyebutkan Orang-orang Muslim sekarang banyak yang
ketakutakan dengan syariat Islam karena terlalu lama termakan propaganda
Kolonialisme. Padalah syariat Islam itu indah, menyebarkan rahmat dan
mengajarkan untuk saling berbagi seperti Qurban ini.

Hikmah
keenam adalah perayaan hari raya Qurban untuk mengingatkan kembali sejarah para
Nabi dan Rasull serta umat-umat terdahulu sebelum kita, kemudian mengambil
pelajaran dari sejarah yang terjadi dan meyakini kebenarannya walau kita sendiri
tidak pernah melihat apa yang terjadi sesungguhnya. Banyak Intelektual Muslim
seperti Dr. Thaha Hussein (mantan Rektor Universitas Alexsandria, Mesir) yang
mengingkari sejarah-sejarah yang termaktub dalam Al-Qur’an termasuk sejarah
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail alaihisalam, ia walau buta namun hafal Al-Qur’an
dan menguasai ilmu keislaman namun ia dalam bukunya “Syair-Syair Jahiliyah”
tidak yakin akan sejarah dalam Al-Qur’an dan menyebutnya sebagai
dongeng-dongeng jahiliyah.

Oleh sebab itu, kita umat Muslim
wajib mempelajari sejarah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Islam secara
keseluruhan agar dengan hal tersebut kita dalam mengambil pelajaran.

Hikmah ketujuh, meningkatkan Taqwa. Imam
Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib pernah bertanya pada
muridnya yaitu Imam Asy-Syibliy. Apakah saat menyembelih hewan  Qurban telah berniat memotong belenggu
ketamakan dan kerakusan ? Apakah telah berniat hendak menghayati kehidupan yang
bersih dari dosa dan noda ? Apakah juga telah bertekad mengikuti jejak Nabi
Ibrahim yang rela melaksanakan perintah Allah menyembelih putera kesayangannnya
sendiri ? jika belum maka berarti belum berqurban sebenarnya.

Jadi, orang yang berqurban dan menerimanya
harus berniat membersihkan dirin dari ketamakan dan kerakusan, berniat
menghayati kehidupan yang bersih dari noda dan dosa. Jika telah berniat dan
berusaha dengan cara berupaya melaksanakan ibadah wajib, sunnah dan muamalah
(sosial kemasyarakatan) maka akan menghasilkan rasa takut pada Allah dan ia akan
dikategorikan sebagai orang yang bertaqwa.

Takwa berarti melindungi diri dari akibat
perbuatan sendiri yang buruk dan jahat. Nenurut Prof. Fazlur Rahman , takwa istilah
tunggal yang terpenting di dalam Al-Qur’an. Takwa pada tingkatan tertinggi
menunjukan keperibadian manusia yang benar-benar utuh dan integral. Orang yang
bertakwa mempunyai kekuatan yang mampu menghadapi berbagai macam persoalan
hidup dan dapat melihat sinar yang menerangi jalan ditengah-tengah malam gelap
gulita. Semoga Allah senantiasa menjadikan kita termasuk orang yang bertakwa.
Amin.

Kesimpulan : Ibadah Qurban telah dilaksanakan sejak Nabi Adam alaihisalam yang
tujuannya mensucikan dari noda dan dosa serta mengajarkan kita untuk saling
berbagi pada fakir dan msikin. Hukum melaksanakan ibadah Qurban adalah sunnah
muakkad.

Saran  : Berqurbanlah sesuai syariat Islam karena hanya ibadah yang sesuai
syariat Islam saja yang mendapatkan pahala disisi Allah.

Catatan : Demikian tulisan ini, Saran dan
kritikan sangat kami butuhkan namun kritiklah sesuai dengan adab dan etika.
Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada orang-orang yang mampu melaksanakan
Qurban dan melancarkan rezekinya. AMIN

 

Bab V

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an
    al Karim dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam;
  2. Imam
    Malik bin Anas. Kitab Hadis Al-Muwaththa’ ;
  3. Muhmmad
    Fuad Abdul Baqi, Al-Lulu wal Marjan : Kumpulan Hadis Shahih Bukhari dan
    Muslim;
  4. Imam
    al-Munziri, Ringkasan Shahih Muslim.
  5. Imam
    Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Kitab Subulussalam jillid 4;
  6. Tafsir
    Ibnu Katsir terbitan Sinar Baru Algesindo;
  7. Muhammad
    Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
    terbitan Pustaka al-Kautasr;
  8. Prof.
    Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Gukum-Hukum Fiqih Islam, Bulan Bintang 1952:
    Jakarta.
  9. Prof.
    Dr. Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam jilid II,terbitan
    Bulan Bintang
  10. Imam
    Al-Ghazali, Menyingkap Rahasia Qalbu, penerbit Amelia Surabaya
  11. Ibnul
    Qayyim al-Jauziyah, Kado Sang Buah Hati, terbitan Al-Qawam
  12. Ibnu
    Katsir, sejarah para Nabi terbitan Pustaka al-Kautsar
  13. H.M.H
    Al-Hamid al-Husaini, Rumah Tangga Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
    salam, terbitan Pustaka Hidayah
  14. Muhammad
    Husain Haekal, Hayatu Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, terbitan
    Lentera
  15. Shafiyyur
    Rahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah terbitan Pustaka al-Kautsar
  16. Prof.
    Ismail Raji’ al-Faruqi, Tauhid, terbitan Pustaka
  17. David
    J. Schwartz, Berpikir dan Berjiwa Besar, terbitan Binarupa Aksara
  18. Prof.
    Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqiey, Falsafah Hukum Islam, terbitan Bulan
    Bintang




2366 posts

About author
Merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
Artikel

Tidak Bisa Mengetik di Word karena "Selection is Locked", Ini Solusinya!

2 Mins read
Kompak – Salah satu masalah yang sering ditemui pengguna Microsoft Word adalah pesan “Selection is Locked” yang muncul saat mencoba mengetik atau…
Artikel

Ingin Rumah Lebih Sejuk? Coba Roster Jogja dari AM Roster

4 Mins read
Mendapatkan rumah yang sejuk merupakan impian bagi setiap orang, terutama di negara tropis seperti Indonesia. Salah satu cara untuk menciptakan suhu udara…
Artikel

Sekolah Bisnis Online dan Konsultan Feasibility Study: Meningkatkan Kualitas Bisnis di Era Digital

4 Mins read
Pendahuluan Di era digital yang terus berkembang, memulai dan mengelola bisnis bukan lagi hal yang sulit. Teknologi internet memberikan akses ke berbagai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights