Sumber gambar : dokumen pribadi |
KULIAHALISLAM.COM – Biar tidak berisi berita kematian terus, saya sajikan secuil kisah seorang ulama, politisi, dan kawannya masyarakat dari segala lapisan. Namun sayangnya, catatan saya ini juga tentang tokoh yang sudah wafat juga. Siapa beliau?
Tokoh yang akan saya kisahkan ini punya nama KH. Syarif Utsman Yahya. Para sahabatnya sesama Kiai, para santrinya, juga masyarakat luas mengenalnya dengan sebutan Abah Ayip atau Kang Ayip. Saking terkenalnya panggilan itu, banyak orang yang tidak tahu nama aslinya.
Sementara itu, ‘Abah’ adalah sebutan penghormatan dan juga kedekatan, ditambah ‘Kang’ di depannya. Di Cirebon, saat saya kecil tidak banyak ulama yang dipanggil Kiai, kecuali sudah sepuh sekali.
Seingat saya, yang waktu itu disebut Kiai di daerah cuma tiga ulama, Kiai Umar Kempek (dipanggil juga dengan Walid), Kiai Aqil Kempek, dan Kiai Abdullah Abbas Bunten. Seorang ulama yang masyhur dan singa podium saja dipanggilnya Kang: Kang Fuad Hasyim dari Buntet. Apalagi putra-putra Kiai Aqil yang lebih muda-muda seperti Kang Ja’far, Kang Said, dll.
Kiai Syarif Utsman Yahya termasuk yang dipanggil Kang: Kang plus Ayip. Ayip itu dalan tradisi Cirebon sebutan untuk Habib.
Di Cirebon waktu itu, tidak ada ulama yang punya kedekatan dengan anak muda dan masyarakat luas seperti—saya memanggilnya—Abah Ayip. Mungkin memang beliau waktunya lebih longgar dari Kiai lainnya, karena tidak memiliki jadwal ngaji rutin, seperti Kiai pesantren pada umumnya.
Santri yang ngaji kepadanya adalah santri senior yang dipilih sesuai ‘pirasatnya’. Itupun ngaji informal, buka kitab sebentar saja, selebihnya banyak diskusi, dan dilanjutkan makan-makan. Apa beliau tidak tertarik wacana keagamaan?
Kalau di lihat rumahnya, memang tidak terlihat kitab berderet-deret di rak buku. Entah di mana beliau menyimpan kitab dan buku-buku, saya tidak pernah melihatnya. Namun jangan salah, kealiman ulama lulusan Pesantren Lirboyo ini sundul langit, ilmu fikih dan ilmu ushul fikih dikuasainya dengan matang.
Ketika saya menjadi mahasiswa awal di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abah Ayip nitip salam untuk Pak Malik Madani. Pak Malik langsung menyambutnya dengan girang, “Masya Allah, beliau itu alim sekali! Anda kenal?”
Malam-malam, tepatnya dinihari, saya menjadi saksi Abah Ayip berdiskusi dengan Kang Husein Muhammad, waktu itu di rumah kontrakan peserta muktamar NU di Makassar. Malam itu kami cuma bertiga, yang lain sudah istirahat. Kang Husein agak kerepotan melayani Abah Ayip, sampai melepas sarung dan celana pendeknya terlihat. Waktu itu temanya khitan perempuan: abah hukum khitan perempuan? Di samping alim, Abah Ayip memang senior. Jadi mungkin Kang Husein mengalah.
Jika dalam level nasional tokoh dialog antar agama dari kalangan ulama adalah Gus Dur, maka di Cirebon yang punya intensitas tinggi dalam tema itu adalah Abah Ayip. Dalam hal ini, ulama yang lain makmum Abah Ayip. “Isun manut abah Ayip baelah,” kata seorang Kiai dengan bahasa Cirebonnya. Maksudnya, “Saya pasrah pada Abah Ayip sajalah.” Maka itu tidak heran, temannya dari nonmuslim banyak sekali dan menghormatinya dengan sepenuh hati.
Dalil beliau komplit sekali, bukan cuma nash dan qoul ulama, tapi juga aqly, bahkan dengan humor.
“Abah, apa hukumnya larung sesajen di laut?”
“Boleh.. Niati makani (kasih makan) ikan. Aja angel-angel (jangan susah-susah),” jawabnya sambil mengelus-elus rokok kesukaannya: Gudang Garam Merah.
Rumahnya, berhalaman luas dan banyak pohon besar, sering sekali ramai dengan berbagai acara. Kumpulan Kiai, kumpulan anak muda, klinik pesantren, dan lain-lain. Tak jarang anak muda menginap di sana. Di depan dan sisi kiri rumah, ada satu bangun dengan beberapa kamar (satu kamar pribadi beliau juga ada di situ) yang digunakan untuk klinik dan tamu yang ingin menginap.
Masyarakat umum juga tak segan datang ke rumahnya. Bahkan preman pun sowan, keluarga yang sedang dirundung masalah sowan, orang punya banyak hutang datang. Ada yang minta do’a, minta nama buat bayi, minta air, minta sangu, supir taxi mau ke Jakarta sowan, minta dicarikan jodoh, dan lain sebagainya. Pernah juga beliau disowani warga yang motornya dicuri. Besoknya, si maling motor datang, mengaku salah sambil bawa barang curian.
Ketika reformasi, beliau salah satu Kiai yang pertama mengusulkan NU punya partai politik. Dan bersama Kiai lain, akhirnya lahir Partai Kebangkitan Bangsa. Beliau deklaratornya. “Beliau harus dicatat sebagai salah satu Kiai yang usul bikin partai. Luar biasa itu Kang Ayip, Kiai di kampung kok usul mendirikan partai politik,” kata Kiai Masyhuri Malik. Beliau pernah jadi anggota DPR RI di awal reformasi.
Lepas dari DPR, beliau tidak pensiun (umumnya Kiai memang tidak ada yang merencanakan pensiun). Rumahnya tidak pernah sepi. Segala macam inisiatif keagamaan dan sosial lahir di rumahnya.
Dua hari lalu, kami memperingati haulnya yang kesebelas. Mari kita warisi jiwa keilmuan dan kepeduliannya pada masyarakat. Karena baginya, dan bagi siapa saja umat Nabi Muhammad, ilmu dan amal, wacana dan solidaritas sosial adalah satu tarikan nafas. Alfatihah…
Di muat atas izin penulis. Sumber: Facebook Hamzah Sahal, juga dimuat NU Online Jabar dan Alif.ID
Editor : Adis Setiawan