Warga menyantap hidangan dalam kenduri (Sumber gambar : Kompas.com) |
Penulis: Rabiul Rahman Purba, SH
KULIAHALISLAM.COM – Ritual Kenduri Arwah sering dilakukan kebanyakan masyarakat di Indonesia. Kenduri Arwah ini disebut juga dengan istilah Tahlilan yang dilakukan dengan mengundang para tetangga dan saudara untuk mendoakan terhadap salah satu anggota keluarganya yang telah meninggal.
Acara Kenduri Arwah atau Tahlilan ini dilakukan 3 hari berturut-turut dan dilakukan pula pada malam ketujuh, keempat puluh dan keseratus hari dari kematian seseorang.
Ritual Kenduri Arwah atau Tahlilan ini biasanya diisi dengan membaca sejumlah surat dalam Alquran seperti Al-Fatihah, Q.S Al-Ikhlas, Q.S An-Nas, dan membaca kalimat Tasbih, Tahmid, Tahlil dan Takbir.
Pahala bacaan itu akan dihadiahkan pada orang yang telah meninggal, serta diakhir acara Kenduri Arwah atau Tahlilan, keluarga dari yang meninggal itu akan memberikan sedekah berupa Nasi dan lauk pauknya kepada tamu yang hadir dalam acara Kenduri Arwah atau Tahlilan.
Dalam tulisan ini saya tidak akan bahas apakah hal itu kategori Sunnah atau Bid’ah, yang akan dibahas adalah sejarahnya. Ada yang menyebutkan Kenduri Arwah atau tahlilan ini berasal dari budaya Hindu.
Jika dilihat dari sejarah, penyebaran dan perkembangan agama Islam di Nusantara khususnya Pulau Jawa tidak terlepas dari peranan para Wali Songo. Wali Songo merupakan sembilan ulama yang merupakan pelopor dan pejuang pengembangan agama Islam di Pulau Jawa pada abad ke-15 (Kesultanan Demak).
Wali Songo terdiri dari Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati. Para Wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa harus menghadapi rintangan yang berat yaitu masyarakat Jawa saat itu memuja roh dan banyak mengikuti adat atau tradisi Hindu.
Para Wali tidak mungkin menghapus adat yang telah melembaga di masyarakat Jawa, oleh karena itu para Wali Songo berijtihad. Wali Songo dalam ijtihadnya tidak menghapus adat tersebut tetapi menyelaraskan dengan ajaran Islam, salah satu tradisi yang diselaraskan dengan Islam adalah “Nyadran”.
Nyadran dan Ritual Kenduri Arwah
Nyadran berasal dari bahasa Jawa : Sadran. Upacara itu dimaksudkan untuk menghormati arwah para leluhur keluarga tertentu. Dalam upacara itu, biasanya dilakukan ziarah kubur dengan membawa bunga-bungaan, terutama bunga telasih sebagai lambang masih adanya hubungan yang akrab dan selalu segar antara si penziarah dan arwah leluhur yang diziarahi.
Tradisi Nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha yang kemudian diislamisasi oleh para Wali Songo. Naydran dimaksudkan untuk menunjukan bakti seseorang kepada leluhurnya yang telah meninggal.
Sejarah mencatat, tradisi Nyadran dilaksanakan pada masa Kerajaan Majapahit yang dilakukan Raja Hayam Wuruk untuk memperingati kematian Putri Gayatri. Dalam keyakinan agama Hindu, dikenal istilah “Kedatangan ruh kembali atau tansukh”.
Tansukh adalah ruh yang telah keluar dari sebuah tubuh lalu kembali lagi ke alam dunia di dalam tubuh yang lain. Sebab-sebab pengulangan kelahiran ini adalah ruh itu keluar dari tubuh dan masih mempunyai hawa nafsu dan kemauan yang terikat dengan alam kebendaan yang belum dilaksanakan dan ruh itu keluar dari tubuh dengan menanggung banyak utang yang harus dipenuhi.
Untuk itu orang yang telah mati, didoakan keselamatan untuk ruh agar ia dapat terlahir kembali dan ia dapat memenuhi keinginannya yang belum tercapai dikehidupan sebelumnya, tradisi ini dalam keyakinan Hindu dinamakan “Sraddha”, kemudian pada masa Majapahit, berubah namanya mejadi “Nyadran”.
Berkaitan dengan tradisi Nyadran, ada pula tradisi Ruwahan hanya saja perbedaannya, Ruhawan hanya diselenggarakan bertepatan dengan tangggal 15 Ruwah yaitu saat Nisfu Syaban.
Para wali kemudian merubah tradisi Nyadran dan Ruwahan dengan menyelenggarakan kenduri yang diisi dengan pembaca ayat-ayat Alquran tertentu, zikir-tahlil dan doa, kemudian ditutup dengan makan bersama dan melakukan besik yaitu membersihkan makam leluhur dari rerumputan serta melakukan ziarah kubur dengan cara berdoa di atas makam leluhur.
Penyelarasan tradisi Nyadran ke dalam Islam merupakan karena perkembangan situasional untuk menarik masyarakat Jawa ke dalam Islam dengan harapan para Wali Songo, tradisi ini akan dapat terhapuskan ketika akidah umat Islam semakin kuat.
Namun sayangnya, para Wali Songo tidak sempat menghapusnya lagi sebab tanah Jawa diserang penjajah Portugis dan kemudian Hindia-Belanda. Tradisi Nyadran yang berubah nama jadi Kenduri Arwah atau Tahlilan saat ini sudah sangat melekat dalam masyarakat muslim Nusantara.
Dalam pandangan Islam, sedekah yang diniatkan untuk yang telah meninggal merupakan amalan yang disunnahkan Nabi.
Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam bersabda “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amal kecuali tiga hal yakni Shadaqah yang bermanfaat, ilmu yang bermanfaat dan doa anaknya yang Saleh”.
Tetapi Kenduri Arwah atau Tahlilan ini jangan dianggap sebagai kewajiban dalam Islam sehingga memberatkan bagi keluarga yang tengah dirundung duka.
Dalam Islam, dikenal takziah yaitu menghibur keluarga yang tengah berduka dengan cara memberikan mereka makan, minum, atau hadiah lainnya yang bermanfaat untuk keluarga yang ditinggalkan.
Nah kegiatan ini yang tampak pudar saat ini, yang ada adalah keluarga yang meninggal yang harus memberikan sedekah berupa makanan pada hari ketiga setelah hari kematian.
Masyarakat muslim banyak yang membentuk sebuah kelompok untuk melaksanakan Tahlilan atau Kenduri, sayangnya bagi masyarakat yang tidak ikut bergabung akan mendapatkan sanksi sosial berupa ketika ada keluarganya yang memninggal maka masyarakat tidak terlalu memperdulikannya.
Ini tentu sangat disayangkan karena apa yang disunnahkan Nabi diabaikan dan apa yang tidak diperintahkan Nabi dilaksanakan. Ini contoh kerusakan umat Islam pada dewasa ini yang harusnya diubah.
Penulis adalah Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia (STH-YNI), Pematangsiantar