Ilustrasi Pikiran Manusia (Sumber gambar: safjogja.org) |
KULIAHALISLAM.COM – Makna lain dari logika adalah sesuatu yang didesain, dirancang, ditata oleh pikiran manusia. Maka logika itu identik dengan mekanisme berpikir tertata, terstruktur.
Dan akal itu ibarat aplikasi komputer yang punya kemampuan sistemik atau unsur jiwa yang memiliki sistem alami bisa menata pikiran. Sedangkan pikiran itu ibarat data-data yang diolah. Jadi, kalau pikiran masuk sistem akal maka pikiran akan tertata.
Bandingkan bila pikiran masuk aplikasi hawa nafsu, maka jalannya pikiran tidak akan tertata, melainkan mengikuti kehendak nafsu termasuk melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan akal itu salah. Jadi, peristiwa kriminal sering terjadi karena pikiran masuk aplikasi hawa nafsu dan akal sedang off.
Nah ada hal-hal yang diluar logika manusia, dalam arti bukan hasil olahan logika manusia seperti wahyu (untuk para Nabi), mimpi, intuisi, insting, naluri. Mengapa disebut bukan hasil olahan logika ? Karena kehadirannya diluar perhitungan logika, tidak didesain oleh logika hal itu karena bisa hadir secara spontan tanpa diperkirakan sebelumnya.
Contohnya, kita berhadapan dengan sebuah permasalahan atau pertanyaan sulit dan kita mati-matian memainkan logika untuk mencari jawabannya dan tidak menemukan. Tetapi pada saat yang tidak kita perkirakan tiba-tiba kita peroleh intuisi yang berisi jawaban atas persoalan sulit tersebut sehingga kita bisa tahu jawabannya.
Itu sebab dalam keyakinan Teisme dalam jiwa manusia itu yang bermain bukan cuma pikiran manusia itu sendiri tapi pikiran diluar manusia. Tuhan yang memberi ilham atau intuisi yang bermanfaat dan setan yang memberi bisikan pikiran menyesatkan. Dimana keduanya juga hadir dalam mimpi dengan karakter mimpi yang berbeda tentunya.
Jadi dalam kehidupannya, manusia tidak semata-mata memainkan atau mengandalkan logika karena ada banyak “pemain” lain yg mempengaruhi pikiran manusia seperti wahyu, mimpi, intuisi, firasat, insting, naluri. Sehingga keliru kalau disebut manusia itu penguasa tunggal atas alam pikirannya sendiri.
Otak manusia dan struktur syaraf didalamnya itu dimanapun pada dasarnya sama, tapi pikirannya bisa berbeda-beda karena yang menentukan jalannya pikiran bukan jaringan neuron. Karena jaringan neuron itu ibarat jalan raya tempat berlalu lintas kendaraan, maka jaringan neuron hanya tempat berlalu lintas pikiran.
Pikiran manusia bisa berbeda-beda karena dimainkan oleh unsur-unsur ruhaniah yang substansinya diluar jaringan syaraf ; akal (logika), perasaan nafsu, unsur emotif, kalbu (nurani), intuisi, imajinasi, dan khayalan.
Memang logika itu di gunakan manusia baik di ranah sains, filsafat maupun agama. Intinya manusia itu makhluk berakal budi—menggunakan logika. Akalnya itu digunakan untuk mengelola beragam persoalan baik yang ditemukan dalam sains, filsafat maupun agama.
Perbedaan mendasarnya dalam sains, akal lebih fokus digunakan untuk mengelola obyek-obyek fisik (materi). Sedangkan dalam filsafat dan agama digunakan untuk mengelola persoalan non fisik (metafisik). Bedanya, metafisika dalam filsafat murni mengacu atau bersumber pada ide-ide serta gagasan manusiawi yang beragam. Sedangkan dalam ranah agama metafisika dipadukan dengan konsep yang berasal dari wahyu.
Jadi saya tidak ingin terlalu mengkotak-kotakkan akal atau mengkotakkan logika tertentu per se tapi berangkat dari frame work besar : manusia yang memiliki akal budi yang menghadapi beragam persoalan dalam kehidupannya baik fisik maupun non fisik, materi-non materi. Dan persoalan-persoalan besar itu mengerucut kedalam tiga institusi besar yang paling berpengaruh dalam peradaban ; sains, filsafat, dan agama.
Dalam menggumuli sains akal manusia melahirkan konsep besar seperti teknologi, rumus fisika, teori sainstifik, ketika menggumuli persoalan filsafati melahirkan beragam konsep metafisis seperti ilmu hukum, kaidah logika, konsep ontologi epistemologi, beragam kategori filsafat, sistem filsafat yang berbeda-beda.
Ketika menggumuli agama merumuskan apa itu konsep “kebenaran ilahiah”, konsep “kebenaran hakiki”,”konsep keadilan universal”, ilmu teologi dll. Semua adalah hasil karya akal budi manusia di berbagai persoalan yang mereka gumuli.
Jadi, tak perlu terlalu mengkotak-kotakkan akal atau logika seolah hanya harus bermain di ranah tertentu, misalnya, hanya di ranah sains atau filsafat karena persoalan yang ditemukan manusia dalam kehidupannya ternyata tak bisa diakomodasi hanya oleh dua institusi ini.
Jadi soal frame work dalam berpikir dan melihat serta menyelesaikan masalah keilmuan saya memakai frame work yang lebih diperluas agar fungsi akal budi manusia itu tidak berkutat hanya pada satu masalah, satu institusi, satu garapan, satu model, dan satu metode.
Dari frame work besar itulah saya ingin membangun pemahaman terhadal konsep “kebenaran menyeluruh” yang dibangun dari serpihan-serpihan puzzle yang ada pada semua institusi yang ada.
Bukan kebenaran parsial yang berkutat hanya pada satu model, satu institusi, satu sistem, satu mazhab filsafat, satu sudut pandang. Prinsip kebenaran menyeluruh memang memerlukan frame work yang diperluas.
Oleh: Irwan Wiharja