KULIAHALISLAM.COM – Saya beragama (dalam hal ini, Islam), mungkin sama seperti Anda dan banyak orang lainnya. Bagi teman-teman karib saya yang pintar-pintar, saya ini belum cukup tercerahkan, karena masih mengimani Tuhan.
Buku Karen Armstrong, Reza Aslan |
Tapi, saya bisa jamin, bahwa meskipun saya beriman dan beragama, beberapa orang yang seagama tetap memandang saya sebagai sesat.
***
Terlepas dari itu semua, sama seperti dua sarjana panutan saya dalam studi agama-agama, Karen Armstrong dan Reza Aslan, kajian kami atas sejarah agama menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Ada alasan kuat untuk mengatakan bahwa Homo sapiens juga adalah Homo religiosus.
Menurut Armstrong dan Aslan, manusia mulai memiliki rasa rindu pada tuhan, segera setelah mereka menyadari diri sebagai manusia (mirip dengan ajaran terkenal dalam Islam: Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu).
Rasa ketuhanan (keagamaan) ini juga dekat dengan rasa keindahan (kesenian). Manusia mulai menciptakan agama-agama pada saat yang sama ketika mereka menciptakan karya-karya seni (catatan: sama seperti Armstrong dan Aslan, saya percaya bahwa manusialah yang menciptakan agama).
Kata Armstrong, pada mulanya manusia menciptakan agama bukan karena mereka ingin menaklukkan kekuatan alam; melainkan untuk mengekspresikan rasa takjub mereka terhadap dunia (alam) yang indah dan mengagumkan, yang mereka saksikan dan mereka alami.
Di halaman xix buku A History of God terbitan Ballantine Books, London (1993), Armstrong menegaskan posisinya dalam memandang agama (posisi yang sangat saya sukai dan setujui). Katanya: Sebagaimana seni, agama merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dan nilai kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud fisik kita.
Tak cuma itu posisi Armstrong. Dia berkata juga (di halaman yang sama): Seperti aktivitas manusia lainnya, agama dapat disalahgunakan; bahkan tampaknya justru itulah yang selalu kita lakukan. Kata Armstrong: Hal ini bukanlah kejadian khusus yang hanya menimpa agama, tapi juga terjadi dalam bidang lainnya (sains dan teknologi, misalnya).
***
Walhasil, tergantung dari sudut mana Anda melihat agama, Anda akan menemukan makna berbeda mengenainya.
Di atas tadi adalah sudut pandang historis dari Armstrong dan Aslan. Sementara di sudut berbeda (bernama sudut teologi), Anda bisa terjebak dalam dogma dan terjebak untuk melihat agama secara hitam-putih.
“Loh, agama itu ya teologi dan akidah, harus tegas mana yang benar dan batil,” bisa saja Anda menyanggah kami seperti itu.
Tapi, persis di situlah bedanya sudut pandang historis dan teologis. Lewat sejarah, Anda akan mengerti (meski perlu waktu panjang), bahwa agama adalah kebutuhan alamiah kita; dan keragaman agama bukanlah ancaman dan kekacauan. Lewat teologi (akidah), Anda justru berhasrat mencari-cari pembenaran bagi agama sendiri, dan mencari-cari kelemahan agama lain.
Persis di sinilah orang menyesatkan saya (atau Anda juga mengalami hal yang sama). Serba aneh memang. Bagi si pintar, Armstrong, Aslan, dan mungkin saya, dianggap tak pintar karena masih percaya pada tuhan. Bagi si saleh, kami dianggap sesat, karena punya paradigma berbeda soal agama.
***
Buku Armstrong dan Aslan. Isinya sama-sama sejarah tentang tuhan dan agama. Armstrong memberi judul wajar: A History of God. Aslan memberi judul provokatif, God: A Human History. Ditambah dengan buku-buku Charles Kimball, Walter Isaacson, Yuval Noah Harari, Hans Rosling, dan Steven Pinker, dua buku ini menemani saya tumbuh, dan menguatkan keberpihakan saya pada rasionalitas dan spiritualitas.
Oleh: Ibnu Rusyd