KULIAHALISLAM.COM – Kontroversi yang begitu panas hingga menjadi trending di kalangan mahasiswa Indonesia, mengenai Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penangana kekerasan sesksual (PPKS) di kalangan perguruan tinggi, di bangsa kita yang mengalami pro dan kontra.
Pro dan Kontra Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Oleh: Fakhrurrahman Mahasiswa UMM |
Diketahui bahwa Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini dipandang sangat moderat sejauh mencegah dan menjaga kebrutalan seksual menurut sudut pandang orang yang bersangkutan, salah satunya dengan alasan bahwa ia mengontrol masalah persetujuan.
Terburai, bahwa dalam Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini menjadi pertikaian bagi masyarakat maupun tokoh politik.
Tifatul Sembiring mengatakan, ketika rancangan undang-undang (RUU) Partai Sejahtera Sejahtera (PKS) dihadirkan, subtansi dalam RUU tersebut fokus dan mengarah pada seksualitas sangat dicela serta di perbincangkan, juga menimbulkan kontroversi di tokoh masyarakat.
“Sebenarnya saat RUU PKS diajukan, poin-poin yang mengarah kepada ‘sexual consent’ ini sangat diktirik tokoh-tokoh masyarakat, sebagai zina asal suka sama suka. Lah ini justru UU-nya belum jadi, sudah buat Permen PPKS. Kebelet amat ya” ujar Tifatul Sembiring di akun twitter nya.
Berbeda dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Untuk situasi ini telah mensurvei bahwa substansi atau substansi Permendikbud ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penanggulangan dan Perlakuan Kebiadaban Seksual (PPKS) sudah sesuai dengan jaminan (HAM).
Dikatakan langsung oleh wakil ketua Komnas HAM Amiruddin, bahwa subtansi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang (kebebasan bersama) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas jaminan pribadi, keluarga, kehormatan, ketenangan dan kebebasan milik.
Tentu saja pernyataan yang dikeluarkan oleh Tifatul Sembiring dan wakil Komnas HAM Amiruddin, sontak mengalami pro dan kontrak di tokoh masyarakat dan menjadi pertikaian bagi para pionir politik dan masyarakat umum.
Di tambah lagi dengan persetujuan Ahmad Sahroni seorang politisi tentang Permendikbud nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penangan kekerasan (PPKS).
“Saya mendukung standar ini karena penting bagi korban untuk menjaga diri, sehingga gawatnya sangat mengerikan. Sebelum RUU PKS disahkan, Pedoman Pastoral diandalkan untuk memberikan jaminan dasar yang sah,” ucap Ahmad Sahroni.
Ia juga menampik anggapan bahwa Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 memiliki pasal yang seolah-olah melegitimasi seks bebas.
Hal ini karena ada salah satu fokus pandangan dunia seks bebas yang tidak bergantung pada agama. Selain itu, pedoman ini juga dipandang tidak sesuai dengan standar yang sah di Indonesia.
Permendikbud Ristek ini dinilai sangat moderat dalam hal pencegahan dan penanganan kekejaman seksual menurut pandangan korban, salah satunya karena mengatur masalah setuju atau tidak.
Sehingga mengakibatkan orang-orang tertentu percaya bahwa Permendikbud eksplorasi dan inovasi ini mengizinkan seks bebas.
Menurut ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Lincolin Arsyad, salah satu kelainan materiil ada pada Pasal 5 yang memuat persetujuan dalam ungkapan “tanpa persetujuan yang bersangkutan.”
“Pasal 5 Permendikbud, Eksplorasi dan Inovasi No. 30 Tahun 2021 memberi izin pada demonstrasi yang tidak benar dan persetujuan seks bebas berdasarkan persetujuan,” kata Lincolin.
Secara keseluruhan, apa substansi Pasal 5 Permendikbud Eksplorasi dan Inovasi Nomor 30 Tahun 2021 yang telah menarik analisis? Berikut Isi Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Pasal 5 yang menuai kontroversi:
Pasal 5
1. Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
2. Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban:
b. Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
c. Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
d. Menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
e. Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
f. Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h. Mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
i. Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
j. Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
k. Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
l. Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
m. Memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
n. Mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
o. Melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
p. Melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
q. Memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
r. Memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
s. Membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
t. Melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
3. Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:
a. Memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan atau menyalah gunakan kedudukannya;
c. Mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. Mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e. Memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f. Mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g. Mengalami kondisi terguncang.
Oleh: Fakhrurrahman*
* Penulis adalah Mahasiswa Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang. Kader IMM Komisariat Tamaddun FAI UMM.