KULIAHALISLAM.COM – Saat itu, masih di periode awal milenium ketiga, persisnya pada tahun 2001, beberapa bulan setelah “perseteruan” saya dengan sebuah ormas Islam bertendensi anarkis, dan perlu saya garis bawahi ini bukan dendam pribadi atau perseteruan personal saya dengan anggota laskar mereka, tetapi benar-benar karena materi dakwah saya yang cenderung moderat dianggap melemahkan perjuangan mereka.
Hingga malam itu mereka datang dengan—secara istiadat umum—sangat mengganggu tatakrama bertamu—, lalu saya sempat matur ke Kiai Said Aqil Siradj, yang saat itu belum menjadi Ketum PBNU, pertemuan saya dengan beliau juga di majelis taklim beliau karena saya—saat itu rutin—mengikuti kajian tafsir ar-razi di kediaman beliau di Ciganjur. Beliau merespon baik curhatan saya lalu bersedia datang ke kampung saya untuk memberikan pencerahan.
Sebuah perhelatan kecil segera saya siapkan, bertajuk halaqoh kebangsaan dengan mengangkat diskusi mengenai format dakwah Islam kontemporer, saya mengundang para asâtidz di kampung kami, beberapa petinggi ormas Jslam itu saya undang dan mereka hadir. Pendek cerita, Kiai Said mendapatkan porsi luas sebagai pembicara tunggal, beliau membedah siroh nabawi dalam kemasan fikih dakwah yang penuh spirit cinta kasih lewat uraian tafsir QS Al-Fîl serta menggunakan rujukan kitab i’ânah ath-thâlibîn pada saat menguraikan terminologi Jihad.
Dan semua termangu pada saat Kiai Said membacakan nyaris satu lembar kitab Fathul Mu’in dengan hafalan di luar kepala. Beliau juga menyampaikan bahwa dengan metode dakwahnya yang moderat telah mengIslamkan lebih dari 200 orang non-muslim. Dengan fakta itu saja sebenarnya kita sudah mengerti bahwa metode dakwah beliau jauh dari kesan sesat apalagi liberal, lha wong malah menjadi jalan hidayah buat para muallaf.
Saya yang memoderatori halaqah itu, tak banyak menyampaikan uraian, saya benar-benar ingin memberi kesempatan yang luas kepada para ustâdz dan Kiai di kampung kami yang dihadiri sekitar 40 orang itu. Hingga saat salah seorang pengurus ormas Islam itu mengajukan pertanyaan yang membuat saya terhenyak bahkan Kiai Said sempat kulihat menelan ludah saat mendengar pertanyaan sang ustadz bergamis putih dan berimamah ini, begini dia bertanya:
“Pemaparan Kiai tentang jihad boleh jadi benar, tapi saya mau tanya perasaan dan sikap Kiai aja dah, seandainya anak perempuan Kiai diperkosa didepan mata Kiai, apa yang Kiai lakukan? Apa Kiai akan diam saja dan memaafkan si pemerkosa?.”
Glek!
Saya segera mengingatkan sang ustadz untuk menjaga sopan santun dan adab dalam menyampaikan pertanyaan, tapi sang ustadz malah membentak saya, “kenapa saya disebut tidak sopan, saya mah nanya pakai perasaan aja dah, kaga usah pakai dalil panjang-panjang.”
Saya menoleh Kiai Said, dan beliau mengambil mikrofon lalu mejawab sambil tersenyum tanpa amarah sama sekali, lalu memberikan jawaban panjang mengenai akhlak seorang muslim menyikapi kemungkaran, kata kunci yang masih kuingat adalah menegakkan amar ma’ruf bil ma’ruf (menyeru kebaikan dengan kebaikan) dan nahi munkar bil ma’ruf (mencegah kemunkaran juga dengan cara penuh kebaikan).
Beliau memang tidak secara langsung menjawab pertanyaan sang ustadz, tetapi terhadap pertanyaan yang tidak santun seperti itu jawaban Kiai Said saya rasa sangat tepat. Sayangnya sang ustadz tidak terima, ia berkali-kali mendesak dan membuat suasana gaduh, lalu saya coba menenangkan, tapi sang ustaz tetap dengan gayanya yang arogan sambil tangan menunjuk-nunjuk ke arah Kiai Said. Kiai Said tetap tenang, tersenyum dan sama sekali tak menunjukkan amarahnya.
Sang ustaz pun meninggalkan ruangan, acara berlanjut kepada tanya jawab dari peserta lain, berjalan khidmat hingga menjelang sore, kami mengakhirinya dengan sholat ashar berjamaah diimami Abuya KH Muhali dan do’a oleh Kiai Said.
Saat mengantar beliau ke mobil, saya berbisik lirih seraya mohon maaf atas kejadian tadi, beliau hanya menepuk bahu saya dan berpesan, “mas huda yang sabar yaaa, menghadapi mereka nda perlu dengan kekerasan, jihad kita dengan terus mewujudkan spirit rahmatan lil’alamin, saya mendukung penuh perjuanganmu di tempat ini.”
Saya menangguk seraya menjawab, “inggih Kiai, mohon do’a dan nasihat-nasihat Kiai.” Saya mencium tangan beliau dan menyerahkan map dan amplop berisi sedikit bisyâroh hasil gajian, beliau menerimanya lalu meraih tangan saya, “mas huda, saya datang karena ingin mendukung perjuangan dakwah sampean, ini saya terima tapi saya kembalikan lagi untuk dakwahmu di kampung ini, sering-sering buat acara seperti ini agar banyak pencerahan buat mereka.”
Saya kaget, beliau menolak pemberian tulus ini dan memberi teladan yang tak pernah saya lupakan. Sami’na wa atha’na Kiai. Untuk sang guru yang menjadi teladan dalam dakwah saya, KH Said Aqil Siradj, semoga Allah paringi kesehatan dan panjang umur, bisirri asrâr al-fâtihah.
Ayah Enha
Pengurus LD-PBNU Demisioner
Terima kasih Kiai Said, atas totalitas khidmah dua periode memimpin organisasi kecintaan kami, engkaulah teladan bagi kami.