Pernikahan Sederajat, Seharta (Kafa’ah) dalam Islam Antara Kebutuhan dan Pilihan (Sumber Gambar : istock) |
KULIAHALISLAM.COM – Pada saat ini banyak yang ingin menikah dengan seseorang yang memiliki kesetaraan derajat dengan calon suami atau istrinya. Kesetaraan derajat yang dimaksud adalah kesetaraan atau kesamaan derajat di bidang harta, artinya jika si pria memiliki harta banyak maka si wanita juga juga memiliki harta yang sebanding, jika si pria berpendidikan tinggi atau terlahir dari keluarga berpengaruh maka si wanitanya juga harus demikian.
Dalam Islam, kondisi seperti ini dinamakan dengan istilah “kafa’ah”. Kafa’ah bisa diartikan sebagai kesetaraan derajat sama dihadapan istrinya. Muhammad Jawad Mugniyah berkata bahwa kafa’ah adalah kesamaan derajat keturunan, harta dan profesi. Ali Audah (intelektual Muslim Indonesia) menyatakan dalam arti yang sempit, kafa’ah ditekankan pada persamaan derajat keturunan, tetapi dalam arti yang luas, kafa’ah menekankan pada persamaan derajat status sosial, ekonomi, agama, ras, suku.
Sekalipun masalah kafa’ah ini bukan sah syaratnya perkawinan dalam Islam tetapi dalam kehidupan masyarakat hal ini sering dijadikan pegangan. Membicarakan masalah kafa’ah tidaklah mudah karena setiap mazhab punya pendapat dan alasannya sendiri. Dari segi fikih mazhab Hanafi, Hambali, Maliki, Syafi’i dan Syiah di antara mereka masih ada perbedaan pendapat.
Ada beberapa kalangan yang mungkin akan berpegang pada kitab Bughyah al-Mustarsyidin (1251 H) yang ditulis Ibn al-Hadrami (As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar, Mufti Hadramaut di Yaman). Kitab ini cukup terkenal di Indonesia, terutama di kalangan Pesantren.
Rasulullah Muhammad SAW memiliki misi egaliter, misi persamaan dan manusia hanya diukur dari ketakwaanya. Dalam khutbah haji perpisahan, Rasulullah berpesan bahwa “tidak ada kelebihan orang Arab dan orang ‘ajam (non Arab), yang berkulit merah dari yang berkulit hitam dan yang berkulit hitam dari yang berkulit merah selain ketakwannya.”
Dalam masalah perkawinan, Nabi memberi nasihat diantaranya adalah, Nabi Muhammad SAW bersabda “Perempuan dinikahi karena empat alasan : ada yang karena hartanya, karena keturunanya serta kecantikannya, dan ada yang karena agamanya. Maka pilihlah yang karena agamanya, semoga engkau berhasil selamat.”
Dan dalam Hadis lain, Nabi Muhammad SAW bersabda “Jika yang datang (melamar) kepadamu orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah”. Nabi Muhammad SAW mengucapkan kata-kata itu tiga kali karena masih ditanya bagaimana kalau si calon itu cacat.
Imam Ali bin Abi Thalib pernah ditanyai mengenai hukum perkawianan kafa’ah, Imam Ali menyatakan “Manusia satu sama lain adalah sederajat (kafa’ah), mereka yang Arab, yang bukan Arab, yang Suku Quraisy dan yang keturunan Bani Hasyim kalau sudah masuk Islam dan sudah beriman.”
Allah berfirman : Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (mempunyai) keturunan dan musaharah dan Tuhanmu adalah Mahakuasa, (Q.S al-Furqan :54).
Nabi Muhammad SAW menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy. Zaid dikenal sebagai bekas budak dan Zainab dikenal sebagai bangsawan Quraisy. Bilal bin Rabah yang bekas budak keturunan Afrika berkulit hitam menikah dengan adik perempuan Abdurrahman bin Auf.
Walau dalam Islam yang membeda-bedakan hanya iman dan takwa tetapi realitanya tidak dapat dipungkiri banyak di negeri-negeri Islam termasuk Saudi Arabia yang mempunyai tradisi harus menikah dengan yang sekafa’ah. Untuk mengukur apakah si calon tersebut sekafa’ah atau tidak terkadang diukur dengan besaran mahar yang ditetapkan keluarga mempelai wanita.
Semakin besar nilai maharnya maka semakin menunjukan tingkat kemapananya. Dan dalam sejarah Islam juga dikenal pernikahan Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy yang tidak sekafa’ah, memang karena pernikahan mereka berlangsung tetapi karena perbedaan derajat keturunan maka pernikahan mereka hanya dirundung kedukaan berupa pertengkaran sehingga Zaid bin Haritsah meminta Nabi Muhammad SAW menceraikan mereka berdua karena tidak sekafa’ah.
Berdasarkan hal inilah para Ulama ada yang berpendapat bahwa memang sekafa’ah itu bukan syarat sahnya pernikahan tetapi sekafa’ah itu dapat dijadikan suatu pertimbangan atau anjuran untuk menghindari apa yang terjadi pada pernikahan Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy.
Syekh Manshur Ali Nashif dalam bukunya “Edisi terjemahan : Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah SAW Jilid 2” menyebutkan bahwa ada Hadis yang diriwayatkan Jabir RA yang menyatakan : Tidak boleh ada yang menikahkan kecuali wali-walinya dan wanita tidak boleh dikawinkan kepada orang yang tidak sekafa’ah (sepadan) denganya.
Imam Syafi’i menyatakan bahwa menikah dengan orang yang tidak sepadan bukanlah haram yang menyebakan tertolaknya pernikahan melainkan hal itu berarti demi kemaslahatan wanita yang dimaksud dan para walinya, tetapi jika mereka rela dengan lelaki yang tidak sepadan maka sahlah akadnya dan sudah seharusnya mereka membiarkannya.
Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa seandainya pihak istri tidak mengetahui atau dipaksa menikah dengan laki-laki yang tidak sepadan maka ia boleh meminta fasakh jika ia menghendakinya, hal ini mendasar kepada Hadis Imam Ahmad dan Imam Nasa’i yang sahih yaitu seorang gadis datang kepada Nabi Muhammad SAW.
Gadis itu berkata pada Nabi “Sesungguhnya ayahku telah menikahkanku dengan sepupuku dengan maksud agar dengan melaluiku kedudukannya yang rendah menjadi terangkat.”
Maka Nabi Muhammad SAW menjadikan perkara itu terserah kepada gadis itu, gadis tersebut kemudian menjawab : Sesungguhnya aku rela dengan apa yang diperbuat ayahku terhadap diriku, tetapi aku bermaksud memaklumatkan kepada kaum wanita, bahwa para ayah itu tidak boleh ikut campur dalam hal ini.”
Kesimpulannya adalah kafa’ah bukanlah merupakan syarat sahnya pernikahan tetapi masalah kafa’ah ini diserahkan pada masing-masing pihak yang ingin menikah, jika dianggap masalah kafa’ah ini berpotensi menganggu keharmonisan rumah tangganya maka boleh saja seseorang menikah dengan yang menurutnya sekafah dengan catatan itu diserahkan pada yang akan menikah, artinya masalah kafa’ah ini seharusnya orang tua tidak ikut campur tetapi sifatnya hanya menyarankan.