(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam) |
Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif
AGAMA, ILMU, DAN TANGGUNG JAWAB
KEBENARAN agama, menurut keyakinan para pemeluknya, bersifat mutlak. Sekalipun penafsiran terhadapnya adalah relatif, karena relativisme ini sudah merupakan sesuatu yang inheren dalam konstruksi fikiran manusia. Adapun kebenaran ilmu, tidak pernah menca pai posisi mutlak Karena hal ini juga bertaut rapat dengan relativisme manusia, yang dikungkung oleh lingkup ruang dan waktu. Ini hanyalah berusaha menjawab pertanyaan apa” dan “bagaimana”. Sementara, persoalan yang menyangkut “apa yang seharusnya, berada di luar domain llmu pengetahuan Bahkan di luar domain filsafat. Untuk pertanyaan yang terakhir ini, etika, moral dan terutama agama, menawarkan diri untuk memberi jawaban.
Prof. Dr. T. Jacob (mantan Rektor Universitas Gadjah Mada, Red.), dengan sederhana menggambarkan hubungan ilmu, teknologi dan etika itu sebagai berikut: “Jika kita sudah mengenai ilmu (apa, bagaimana) dan teknologi (dapat dijadikan apa), maka kita wajib naik ke tahapan etika (bolehkah, baikkkah). Karena kalau tidak, teknologi akan menjadi binatang buas yang siap menerkam kita Kemudian, pertanyaan strategis tentang peran agama diajukan T. Jacob: “Dapatkah agama berperan kembali pada abad depan untuk mengendalikan keliaran teknologi dan tak terbatasnya nafsu manusia? Ataukah agama sendiri akan menjadi korban teknologi dan ekonomisasi”.
UNTUK melihat posisi ilmu pengetahuan dalam Islam, kita harus menelusurinya dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sebagai sumber otentik dan agama terakhir ini. Sumber-sumber lain yang dikaitkan dengan Islam, adalah hasal deduksi para ulama dan pemikir Muslim masa lampau dalam kerja mereka secara sungguh-sungguh, untuk mengawal perubahan dan perkembangan zaman agar tetap mengacu kepada pesan agama. Kerja ini dalam metode pemikiran Islam disebut ijtihad. Jihad intelektual dalam memahami berbagai aspek Ajaran Islam, termasuk yang terpenting, di antaranya adalah pengalaman “istinbath” hukum suatu masalah, bila al-Qur’an dan Sunnah tidak menjelaskan secara gamblang atau dalam ungkapan an Na’im when the Qur’an and Sunnab are silent“. Ijtihad tidaklah mungkin tanpa ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas, mengenai aspek kehidupan manusia yang memang menjadi sasaran Ajaran Islam untuk diben warna dan diarahkan.
Dalam dialog segitiga antara Tuhan, Adam dan Malaikat-seperti disebutkan dalam Surat al-Baqarah ayat 30-45 dan lain-lainnya menunjukkan, bahwa Adam telah dikaruniai ilmu pengetahuan kreatif, hingga mempunyai kapasitas untuk memberi nama kepada segala sesuatu. Jadi, Adam (manusia) memiliki kapasitas besar untuk ilmu pengetahuan Makhluk lain, termasuk malaikat, tidak memiliki kapasitas semacam itu.
Tetapi ada pula dimensi lain dari manusia yang perlu dilihat Karena kapasitas ini, yaitu karena dikarunia “aql” (intelek, penalaran), manusia melalui kreativitasnya dapat menemukan ilmu pengetahuan. Proses ini telah berlangsung berabad-abad. Dengan ilmunya, manusia seharusnya mempunyai rasa tanggungjawab. Jika kita memberikan sebilah pedang kepada anak kecil, boleh jadi ia melukai dirinya. Kecuali ia mempunyai rasa tanggung jawab untuk mendampingi pemilikannya terhadap alat itu.
Di sini, al-Qur’an berulangkali menegaskan, bahwa manusia juga belum mengembangkan rasa tanggung jawab itu secara memadai. Yang lebih tragis lagi ialah kenyataan, bahwa sekalipun kemampuan kognitifnya begitu dahyat, kemampuannya dalam melaksanakan tanggung-jawab moral sering benar gagal.
Terlihat di sini, sementara ilmu telah dikuasai, sedangkan rasa tanggung-jawab mengalami kegagalan. Hampir selalu terjadi manakala datang cobaan krusial, manusia tidak dapat melaksanakan amanah ini Al-Qur’an dalam Surat Abasa menggambarkan kelalaian manusia dalam menunaikan amanah. Betul sekali kali Manusia belum juga melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya” Tanggung-jawab moral manusia itu ternyata lemah sekali.
ILMU pengetahuan dan teknologi yang diciptakannya, sering benar disalahgunakan, lantaran redupnya rasa tanggung jawab itu. Kesenjangan antara kekuatan ilmu yang dimiliki manusia dan kegagalannya melaksanakan tanggung-jawab moral yang lahir dari ilmu itu merupakan sesuatu yang teramat penting, untuk senantiasa diperhatikan bila kita memang ingin melihat tampilnya sebuah peradaban alternatif yang ditegakkan atas landasan keamanan ontologi. Sesuatu yang tidak dapat ditawarkan sebegitu jauh oleh peradaban modern yang semakin sekuler. Kritik al-Qur’an terhadap masyarakat komersial Makkah pada masa awal Islam, semakin terasa gaungnya pada masa mutakhir ini. Keterpukauan terhadap ilmu pengetahuan serta materi dan segala yang tampak, telah membutakan mata butin mereka untuk dapat melihat yang hakikat, yang akan menentukan perjalanan hidup mereka setelah mati. Konsep tentang ‘al-akbirab yang dapat mengawal pen laku seseorang, tidak mereka miliki. Situasi ini dilukiskan al-Qur’an dalam Surat ar-Rum ayat 7 Orang yang tidak percaya hari akhir dan sangat terikat dengan tarikan bumi, akan sangat sulit diharapkan untuk menjadi manusia yang benanggung jawab. Di benak mereka, tergores bahwa segalanya akan diselesaikan di dunia ini saja.
Tidak ada ekuilibrium sama sekali antara tarikan bumi dan tarikan lungit. Dalam perdagangan, misalnya, yang dipikir selalu laba sebanyak-banyaknya. Tanpa menghiraukan dampak buruknya bagi masyarakat miskin. Uang dijadikan ukuran yang sah terhadap nilai. Dalam politik, bagaimana akan menang dengan tidak peduli pada cara apapun yang digunakan. Persoalan jujur, adil ataupun curang, tidak lagi perlu dipertimbangkan Corak hidup ini dikritik al-Qur’an sejak periode Makkah. Dan Islam menawarkan ekuilibrium dalam dimensi apapun dalam kehidupan manusia.(Disampaikan dalam seminar Pengembangan Etika Iptek dan Pendidikan al-Islam di Perguruan Tinggi di Yogyakarta, hm).
*)Artikel diatas pernah terbit di rubrik PEDOMAN Majalah SUARA MUHAMMADIYAH NO 16 tahun KE-82. Redaksi Kuliah Al-Islam menerbitkan kembali untuk mengenang karya dan pemikiran Ahmad Syafii Maarif sebagai refleksi dalam menjalani kehidupan ini.