Pencari Mahabbah Sang Ilahi (Tasawuf)
Oleh: Erika Putri Wulandari, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
KULIAHALISLAM.COM – Mencari cinta Allah SWT merupakan salah satu pencapaian dan tujuan utama bagi seorang muslim dalam kehidupannya. Sejatinya cinta yang paling sangat mulia yaitu mencari cinta penciptanya.
Kalau sudah mendapat cintanya Allah SWT semua akan dipermudah dan dijauhkan dari masalah kehidupan, seperti halnya dengan seorang sufi perempuan yang disebut dengan ibunya para sufi atau seorang sufi pertama yang sangat berusaha mencari jalan untuk mencari cintanya Allah SWT dan tidak tertarik kepada kehidupan duniawi yaitu Rabi’ah Al-Adawiyah.
Rabi’ah Al-Adawiyah merupakan seorang anak ke empat dan sufi perempuan yang hidupnya dengan segala apa adanya bahkan bisa dikatakan dengan keadaan kemiskinan yang berprinsip teguh dengan nilai-nilai keagamaan yang diajarkan oleh ayahnya. Nama lengkapnya Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah, seseorang pemuka sufi abad kedua hijriyah.
Dia lahir di Basrah tahun 95 H./713-714 M. Kehidupannya dipenuhi dengan mencari jalan untuk mencapai mahabbah cinta Ilahi sehingga disebut dengan sufi yang berkonsep Mahabbah Ilahi, sehingga beliau tidak melakukan satu sunnah nabi yaitu menikah. Beliau mencetuskan konsep baru yaitu konsep mahabbah.
Mahabbah dalam pengertian yaitu mencintai Allah SWT dengan melakukan perintahnya dan meninggalkan larangannya serta rida dengan keikhlasan hati. Mencari mahabbah cinta ilahi Rabi’ah Al-Adawiyah melakukan tahap demi tahap yang sangat sulit.
Menurut Rabi’ah Al-Adawiyah cinta yang sebenarnya ialah cinta yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sesungguhnya arti sebenarnya menurut Rabi’ah Al-Adawiyah cinta itu mengharapkan imbalan atau pamrih, seperti halnya kalau sudah cinta dengan Allah SWT tidak mengharapkan surga, neraka, pahala, dan penghapusan dosa.
Rabi’ah Al-Adawiyah tidak menikah bukan karena tidak mengikuti sunnah nabi Muhammad SAW, tetapi karena hatinya sudah dikuasai oleh rasa cintanya kepada Allah SWT, sehingga tidak terpikirkan cintanya terhadap manusia yang ada dihatinya cuma ada Allah dan Rasulnya.
Salah satunya dengan cara bersholawat sebanyak 50.000 kali untuk membanggakan Rasulullah dikelak hari kiamat dihadapan nabi-nabi dan rasul agar rasulullah tidak malu. Bahkan hatinya tidak ada ruang sedikitpun kosong untuk membenci siapapun termasuk setan.
Pada hari yang lain, Rabi’ah memaparkan dua berbagai pembagian cinta, selaku puncak tasawufnya serta dinilai sudah menggapai tingkatan paling tinggi dalam sesi cinta. Pembagian cinta tersebut, lariknya yaitu;
Aku mencintai-Mu dengan dua macam cinta,
Cinta karena keinginanku dan cinta karena Engkau layak untuk dicinta.
Adapun cinta karena keinginanku, kusibukkan diriku dengan senantiasa
mengingat-Mu, bukan selain-Mu.
Adapun cinta karena Engkau layak dicinta,
Engkau singkapkan hijab sehingga aku dapat melihat-Mu.
Namun, tak ada pujian dalam ini dan itu.
Segala puji hanyalah untuk-Mu dalam ini dan itu.
Rabi’ah Al-Adawiyah begitu sangat jatuh cinta kepada Allah, sehingga beliau membuat syair;
Ya Allah, kalau ada nikmat buatku didunia aku tidak butuh,
Serahkan semua sama musuh-musuhMu saja.
Kalau ada nikmat diakhirat aku tidak butuh,
Serahkan sama kekasih-kekasihMu Ya Allah,
Kalau ibadahku karena aku ingin surga, tutup surga itu dariku.
Kalau ibadahku karena takut neraka, bakar aku didalam neraka.
Tetapi kalau ibadahku karena aku rindu kepadamu,
Jangan kau palingkan wajahmu dariku.
Awal Rabi’ah Al-Adawiyah merupakan orang yang awalnya tidak mentaati Allah SWT, kemudian pada akhirnya sangat taat dan sangat jatuh cinta kepada Allah SWT. Rabi’ah Al-Adawiyah dimasa remajanya pernah menjadi seorang hamba sahaya bagi seorang tuan yang sangat kaya raya, sehinga dia berdoa kepada Allah SWT:
Kalau dibebaskan Rabi’ah Al-Adawiyah bisa betul-betul mencintai dan beribadah penuh kepada Allah SWT.
Doa itu dikabulkan oleh Allah dan Rabi’ah Al-Adawiyah dibebaskan oleh tuannya. Beliau wafat ditahun 801 Masehi dan dimakamkan 3 tempat ialah Basrah, Mesir dan di baitul Maqdis Palestina, dan untuk makam yang pasti hanya Allah yang mengetahuinya.
Rabi’ah Al-Adawiyah ketika ditanya menginginkan kematian, beliau menjawab;
Kalau aku maksiat atau khianat sama manusia, aku tidak berani bertemu dengan orang tersebut karena malu, bagaimana kalau aku maksiat dengan Allah SWT bukan karena takut sakaratul maut, Cuma ketemu denga Allah dengan wajah apa dengan modal apa.
Rabi’ah Al-Adawiyah ketika ditanya apakah engkau menginginkan surga, beliau menjawab;
Bukan surga dengan kenikmatan yang rindu, tetapi yang membuat aku rindu karena disurga ada kekasihku Muhammad SAW.
Kesufian, kesucian hati Rabi’ah al-Adawiyah tidak didapatkan secara praktis melainkan perlu proses yang panjang, sehingga Rabi’ah sanggup memperoleh kesempurnaan cinta secara menyeluruh.
Dalam sejarah pertumbuhan Tasawuf masalah ini ialah konsep baru di golongan para sufi kala itu. Konsepsi Rabi’ah tentang al-hubb bisa ditemui dari bait-baitnya tentang cinta. Ada sesuatu kala Rabi’ah ditanya pendapatnya tentang batas cinta. Rabi’ah menjawab:
Cinta berbicara terkait persoalan kerinduan dan perasaan
mereka yang merasakan cinta sajayang dapat mengenal cinta,
Cinta tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata,
tidak mungkin orang dapat menjelaskan sesuatu yang belum dikenal terlebih dahulu,
Untuk mengenali sesuatu yang belum pernah ditemui-nya,
cinta tidak mungkin dikenal melalui hawa nafsu,
terlebih bila tuntutan cinta itu dikesampingkan
Cinta bisa membuat orang menjadi bingung dan akan menutup untuk menyatakan sesuatu,
cinta dapat mengontrol hati.
Penjelasan dari Rabi’ah tentang pembatas cinta ialah ada dua batas ialah:
Pertama, ekspresi cinta seorang hamba yang sangat mencitai Alla SWT, cintanya tertutup dan hanya tertuju kepada sang kekasih dan yang dicintai. Kedua, kadar cinta kepada Allah SWT pada dasarnya tidak mengharapkan balasan pamrih. Sebab yang dicari ialah melaksanakan keinginan Allah dan menyempurnakan amal ibadahnya.