KuliahalislamSyah Waliyullah lahir di Delhi, 4 Syawal 1114 H/21
Februari 1703 M dan wafat 19 Muharam 1176 H/10 Agustus 1762 M. Syah Waliyullah
merupakan salah satu tokoh reformis Islam dari anak benua India pada abad ke-16
M.
Nama lengkapnya adalah Qutubuddin Ahmad bin Abdurrahman bin Wajihuddin bin
Mu’azzam bin Ahmad bin Muhammad bin Qawwamuddin. Syah Waliyullah mempunyai
silsilah yang sampai kepada Khalifah Umar bin Khatab, sehingga dibelakang
namanya sering ditambah dengan al-Umari al-Faruqi.
Namanya yang demikian panjang secara umum
menggambarkan penghormatan kepadanya dan kesalehannya sehingga sejak bayi ia
telah diberi gelar “Wali” berdasarkan petunjuk para Wali kepada orangtuanya
melalui mimpi.
Sewaktu berumur lima tahun, Waliyulah telah memasuki pendidikan
dasar dan pada umur tujuh tahun ia telah menghafal Al-Qur’an. Pada saat berusia
lima belas tahun, ia telah menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti
ilmu hukum, tafsir Qur’an, Hadis, ilmu logika, filsafat, astronomi, kedokteran
dan matematika.
Selain pengembangan intelektual, pendidikan Syah
Waliyullah juga dilengkapi dengan pengembangan rohani melalui
latihan-latihan terekat sebab
orangtuanya termasuk pemimpin lokal Tarekat Naqsyabandiah. Pada tahun 1143
H/1731 M, Syah Waliyulah pergi ke Hedzjaz selama empat belas bulan untuk
mendalami ilmu pengetahuan agamanya terutama dalam bidang fiqih, hadis dan
tasawuf. Dalam bidang ilmu tasawuf, ia mendapat “ijazah” dari Syekh Abu Tahir
al-Madani.
Riwayat lain menyebutkan kepergiannya ke Hedzjaz untuk
menunaikan ibadah Haji. Dan riwayat lain menyatakan kepergiannya ke Hedzjaz
untuk menghindari gelombang reaksi yang amat keras dari Ulama konservatif India
terhadapnya, sebab ia melakukan penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa Persia yang
dianggap tabu saat itu.
Dalam bukunya Fuyud
al-Haramain (Limpahan Dua Kota Suci) dan Al-Fatimah ia menulis pengalamannya ketika di Mekah bahwa ia telah
memperoleh hubungan spritual secara langsung dengan Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wasa llam dan ia telah memperoleh makrifat berupa ilmu dan bimbingan.
Itu sebabnya ia memakai gelar Uwaisy dan mengangkat
dirinya sebagai Mujadid (pembaru), Syah Waliyulah menjelaskan dalam mukadimah
kitabnya Al-Hujjat al-Baligah (Argumentasi
Yang Kuat) bahwa di dalam mimpi ia telah menerima pena dari Imam Hasan bin Ali
bin Abu Thalib dan disebutkan bahwa pena tersebut adalah pena pemberian Nabi
Muhammad Shallallahu aliahi wasallam.
Pemikiran Syah
Waliyullah dalam bidang Al-Qur’an dan Hadis
Pemikirannya dalam bidang studi Al-Qur’an dapat
ditemukan dalam kitabnya Al-Fauz al-Kabir
fi Usul at-Tafsir (Kemenangan Besar dalam Usul Tafsir). Buku ini penting
bukan hanya karena kebaraniannya mengemukakan pendapat yang orisinil melainkan
juga karena pendapatnya dalam bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Menurutnya dalam
memahami pesan-pesan Al-Qur’an, sangat penting mengetahui latar belakang sosial
budaya masyarakat Arab pada masa turunnya Al-Qur’an, di samping Asbab an-Nuzul (Sebab-sebab turunnya
ayat).
Dalam pendahuluan kitabnya Al-Hujjat al-Baligah ia menegaskan bahwa Hadis merupakan dasar bagi
semua cabang ilmu agama, sebab menurutnya tidak mungkin mengetahui syariat
tanpa adanya riwayat dari Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan tidak
mungkin mengetahui riwayat dari Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam tanpa
mengetahui bagaimana peroses riwayat itu sejak dari Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam.
Di tingkat pertama adalah kitab Al-Muwatta, Sahih
al-Bukhari dan Sahih Muslim. Tingkat kedua adalah kitab-kitab yang nilai
kesahihannya berada di bawah tiga kitab tersebut yakni Sunan Abu Dawud, Sunan
at-Tirmizi dan Sunan an-Nasa’i. Tingkat ketiga adalah kitab-kitab Musnad Jami’
dan Musannaf yang ditulis sebelum, semasa dan sesudah Imam Bukhari dan Imam
Muslim yang memuat hadis-hadis sahih,hasan, dan daif misalnya kitab al-Baihaqi,
at-Tahawi, at-Tabrani.
Tingkat keempat adalah kitab-kitab penyusunannya
dimaksudkan untuk mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam Musnad-Musnad
(rawi hadis) yang tidak populer termasuk didalamnya antara lain kitab-kitab Abu
Na’im, Ibnu Asakir dan Ad-Dailami. Dalam bidang fiqih, Syah Waliyullah
menekankan larangan taklid buta. Taklid menurutnya hanya boleh bila seseorang
mengetahui secara jelas apa yang harus diikuti. Syah Waliyullah telah berhasil
menjembatani jurang pemisah antara kaum Fuqaha dan kaum Sufi.
Bahkan ia berhasil mendamaikan pemikiran ajaran
Wahadatul Wujud Ibnu Arabi dengan ajaran Wahdat asy-Syuhud (suatu konsep
keyakinan dalam tasawuf yang menganggap seolah-olah Tuhan bersatu dengan
mahluknya) yang dipelopori Syekh Ahmad Sirhindi (1564-1624 M), seorang tokoh
pembaharuan Islam di India.
Pemikiran Syah Waliyullah memiliki pengaruh besar
di dunia Islam termasuk Indonesia. Syah Waliyullah telah menulis lebih dari
seratus buah dalam bahasa Arab dan Persia.
Pemikiran Syah
Waliyullah dari Delhi dalam Pandangan Prof. Fazlur Rahman
Prof. Fazlur Rahman (Guru Besar Studi Islam terkenal
dari Chicago University) dalam bukunya “Gelombang Perubahan dalam Islam”
menyebutkan terlahir dengan nama Ahmad bin Abdul Rahman, Syah Waliyullah
merupakan seorang penulis yang produktif dan pemikir yang berpengaruh tidak
hanya di India tetapi juga Jazirah Arab. Mayoritas ahli Hadis belajar pada Syah
Waliyullah. Karyanya yang paling terkenal adalah Hujjat Allah al-Baligah, semacam artikel keagamaan yang filosofis
yang diajarkan di Universitas Al-Azhar, Mesir dalam satu periode.
Jika ditinjau dari intisari kualitas pemikirannya,
Syah Waliyullah masuk dalam jajaran top rangking pemikiran Islam. Metode yang
digunakan Syah Waliyullah dan Imam Al-Ghazali cukup menarik untuk
diperbandingkan. Keduanya secara sengaja dan tempramental merupakan perpaduan
semangat yang layak diterima dan ditampung ketimbang ditolak dan ditukar.
Sementara Imam Al-Ghazali beralih dari satu masalah ke masalah lainnya sambil
menampung dan mencocokannya maka Syah Waliyullah menggunakan dan mengambil data
dari segenap pihak secara simultan untuk menghasilkan sistem yang akan berjalan
meskipun kesulitan yang ada itu menyeluruh dan terpadu.
Syah Waliyullah mempersembahkan secara sederhana,
sebuah sintesis seluruh disiplin ilmu yang dimatangkan oleh Muslim lainnya
seperti filsafat, teologi, psikologi, sosiologi, hukum, tasawuf dan sejarah.
Syah Waliyullah mengungkap metafisik dari tradisi Islam yang mistis filosofis
yang ditafsirkan dan diformulasikan ke dalam struktur baru dengan maksud untuk
membawa agama ortodoks, syariat Islam menjadi fokus perhatian. Syah Waliyullah
merangkai seluruh teori yang ia kemukakan dalam beragam disiplin ilmu.