Budaya 5S (Senyum, Sapa, Salam, Sopan, Santun), sebagai Implementasi Kajian Keislaman
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ صَدَقَةٌ
Artinya: “Senyum manismu dihadapan saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi)
Sebagai seorang muslim yang baik dan taat kepada ajaran Islam sudah sepatutnya kita mengikuti segala hal yang diperintahkan dan dianjurkan. Perintah dan anjuran kita sebagai seorang muslim tercantum pada Alqur’an maupun Hadis.
Apa itu Hadis ? Hadis adalah perkataan, perbuatan, ketetapan, atau sikap yang disandarkan kepada Nabi SAW. yang dapat digunakan sebagai sumber hukum Islam selain Alqur’an.
Saya tidak akan membahas semua tentang judul di atas. Saya hanya membahas tentang hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi seperti yang saya cantumkan di atas. Sebagai sesama muslim tentunya kita bersaudara, sampai ada hadis yang mengatakan bahwa muslim satu dengan yang lain bagaikan bangunan yang saling menguatkan.
Maka dari itu sesuai dengan hadis tersebut kita diharuskan tersenyum kepada saudara sesama muslim saat bertemu maupun hanya saling berpapasan.
Dalam Hadis diatas disebutkan hanya dengan tersenyum kita akan mendapat pahala setara dengan sedekah. Padahal dalam benak masyarakat Islam secara umum, sedekah adalah memberi dengan sukarela harta maupun bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Syarat dari sedekah pun tidaklah mudah, kita harus ikhlas dari hati. Tanpa ikhlas kita tidak akan mendapatkan apapun.
Maka dari itu senyum ini adalah amalan terbaik bagi orang-orang yang memiliki perekonomian menengah ke bawah. Meskipun begitu, masih saja banyak orang yang bertemu dengan sesama muslim tidak tersenyum bahkan memasang muka masam. Apakah tidak merugi bagi orang-orang tersebut?
Bahkan hanya beda aliran, beda mazhab, beda pemikiran, bukannya menyapa dan tersenyum malah melihat dengan tatapan sinis. Padahal kita sama-sama makan nasi, syahadat pun masih sama, rukun Islam juga tetap 5. Apa yang harus dibeda-bedakan sih? Kita hanya berbeda sudut pandang, saya memandang dia cantik tapi dia memandang saya bikin muntah.
Kembali kepada topik awal tadi, lalu bagaimana antara muslim dengan non-muslim? Apakah antara muslim dan non-muslim tidak dianjurkan untuk menebarkan senyuman? Sunguh pertanyaan yang kekanak-kanakan tetapi banyak dipertanyakan.
Diihat dari segi sosial, saudara dapat dikelompokan menjadi saudara kandung, saudara senasib, saudara seiman, saudara senegara, saudara sesama manusia.
Muslim dengan muslim lain adalah saudara seiman, Indonesia dengan Palestina adalah saudara senasib yakni sama-sama pernah dijajah.
Sementara itu muslim dengan non-muslim adalah saudara senegara dan sesama manusia. Tentunya kita juga dianjurkan untuk menebarkan senyuman.
Lalu apakah orang yang menebarkankan senyum terhadap non-muslim tadi tetap mendapat ganjaran yang sama dengan senyum dengan sesama muslim? Yak insya’Allah, dengan izin Allah ganjarannya sama, Allah yang maha mengetahui akan perbuatan setiap hambanya.
Dengan ini marilah kita menebarkan senyuman kesetiap orang entah apapun latar belakang mereka. Nabi Muhammad SAW juga senantiasa tersenyum dalam kesehariannya, seperti riwayat hadis ini.
Dari Abdullah bin Al Harits bib Jaz’i dia berkata; “Aku tidak pernah melihat seseorang paling banyak senyumnya selain Rasulullah SAW.” (HR. At-Tirmidzi). Sudah sangat jelas bahwa Nabi Muhammad SAW yang menjadi panutan kita senantiasa tersenyum.
Bukankah kita sebagai umat yang mendambakan beliau juga harus mengikutinya. Kalau tidak dengan mengikutinya, bagaimana jawaban kita saat ditanya bukti cinta kita kepada Rasulullah SAW. Hadis lain juga menyebutkan “Ketahuilah bahwa tidaklah Rasulullah SAW. membicarakan sesuatu kecuali beliau tersenyum” (HR. Ahmad).
Penulis: Muhammad Khafidh Maulana (Mahasiswa UIN Sunan Ampel Fakultas Ushuluddin; Menyukai Sejarah, Film dan Anime)
Editor: Adis Setiawan