Oleh: Kiai Enha (Pengasuh Pesantren Motivasi Indonesia, LD-PBNU)
Sore tadi saya diminta pengajian Halal bi Halal di Kafila Group, Jakarta. Di hadapan pimpinan dan para karyawan saya menyampaikan ada tiga syarat untuk bisa menjadi pribadi yang bisa memaafkan dan karenanya akan mendapat keberkahan.
**********
Setiap kita berharap mendapatkan berkat dalam kehidupan, namun seringkali, harapan semacam itu tak terwujud. Tetiba saja sebagian kita segera menyalahkan keadaan dan lingkungan sekitar. Tidak banyak orang yang melakukan introspeksi jangan-jangan penyebab terhambatnya berkat itu justru datang dari dalam, dari diri kita sendiri.
Sebut saja misalnya, paradigma atau peta pikiran. Peta pikiran kita sebenarnya sangat menentukan jalan hidup kita. Bagaimana seseorang bisa berjalan tanpa peta? Jelas akan tersesat. Nah, perbaikan paradigma tentu tidak ada kaitannya dengan lingkungan sekitar karena ia bersemayam di dalam pikiran kita sendiri.
Berkat memang ada di sisi Tuhan, agak misterius, sifatnya berkat itu didatangkan bukan dicari. Kapan saja Tuhan menghendaki, berkat akan dibuka dan diberikan kepada orang-orang terpilih.
Tentu Tuhan punya banyak alasan mengapa berkat diberikan kepada seseorang, bahkan tidak jarang “kerja” Tuhan ini menggoda pikiran kita untuk mempertanyakan, mengapa begini mengapa begitu?
Lalu apa kaitannya dengan halal bi halal?
Singkatnya begini, halal bi halal itu mengubah keharaman hati menjadi halal. Ya, hati yang berisi kemarahan dan dendam berpotensi menjadi dosa dan dosa itu haram, melalui halal bi halal, kemarahan dan dendam diganti dengan kelembutan dan memaafkan.
Memaafkan itu bukan perkara mudah, ia membutuhkan syarat, dan syarat ini menjadi pilar pertama untuk menjemput berkat dalam hidup. Pilar pertama ini adalah Acceptance.
Bagaimana Anda bisa memulai mengerjakan sesuatu bila Anda tidak menerima keadaan itu terlebih dahulu. Untuk dapat menerima, Anda butuh mengerti, sehingga pengertian merupakan langkah pertama untuk menerima, seperti kata JK. Rolling: Understanding is the first step to acceptance, and only with acceptance can there be recovery.
Bisa menerima keadaan sering saya sebut dengan istilah BDK atau Berdamai dengan Keadaan. Ini bukan sikap pasif, justru merupakan strategi hebat. Perlawanan terhebat itu melawan hawa nafsu sendiri. Nabi menyebutnya Jihad Akbar. Dan salah satu nafsu yang harus dikendalikan adalah Nafsu lawwamah; nafsu yang mencela diri yang menimbulkan rasa bersalah (guilty feeling).
Kemampuan menerima keadaan akan melahirkan pilar kedua yaitu berpikir terbuka (open minded). Ia dengan segera akan menerima keragaman di lingkungan sekitarnya. Karena menyadari ada keragaman pemikiran, keragaman pendapat dan bahkan keragaman keyakinan, pikirannya akan bergerak untuk terbuka, akal menjadi sehat, daya jelajahnya juga akan jauh.
Sementara hati yang tertutup tak mampu menerima keadaan dan akibatnya tidak bisa berpikir terbuka dan biasanya akan sensitif dengan keragaman. Bagi dia, sudut pandangnya harus dimengerti oleh orang, dia akan kesulitan beradaptasi karena baginya dunia di luar dirinya adalah kesalahan yang harus dihindari.
Paradigma terbuka adalah prasyarat bagi datangnya berkat. Ia tidak lagi menjadi penunggu berkat, tapi penjemput berkat. Ia siap memancangkan Pilar ketiga yaitu Perubahan Diri. Ia menjadi manusia yang kreatif dan progresif. Ia menyadari bahwa gelombang perubahan dunia begitu massif dan cepat, bila ia tidak beradaptasi dengan perubahan maka dirinya akan tergilas.
Pilar ketiga ini sangat penting, karena disruption tak bisa dihindari, orang yang tak bisa beradaptasi dengan perubahan biasanya akan menyalahkan keadaan, memaki zaman sudah menggila, padahal dirinya yang tidak uptodate.
Disruption bukan sekedar peralihan gelombang ekonomi dari tenaga manusia ke teknologi mesin dan lahirnya unicorn-unicorn berbasis internet dimana industri kreatif memainkan peran dominan, tetapi yang terpenting adalah perubahan budaya dan ideologi bisnis dari kepemilikan (owning) menjadi berbagi peran (sharing-collaborating).
Maka, hijrah adalah suatu kemestian, hijrah adalah kesadaran perennial yang dianut semua orang, dengan latar apapun mereka. Tuhan dengan seluruh cinta kasihNya memerintahkan para hamba untuk bergerak melakukan perubahan. Itu mengapa, Tuhan mengaruniakan akal pikiran tanpa batas.
Manusia yang dikuasai oleh keraguan biasanya menjadi pengecut, akal pikirannya tersumbat, ia membayangkan dunia di luar dirinya bagaikan harimau lapar yang siap menerkam dirinya, maka demi keselamatan dirinya ia membangun dinding tebal dan tinggi, saking tingginya tidak ada celah untuk setitik cahaya masuk.
Ia telah memutuskan hubungan dengan dunia luar (disconnection), padahal syarat menerima berkat adalah connection, keterhubungan. Dalam hadits mengenai jaminan rezeki, Nabi menyebut keharusan membangun silaturahim. Silah adalah keterhubungan, Rahim artinya kasih sayang. Silaturahim adalah keterhubungan yang dilandasi asas kasih sayang.