(Sumber Gambar: Kuliah Al-Islam) |
KULIAHALISLAM.COM – Kepemimpinan dalam Islam selalu identik dengan istilah khalifah yang berarti wakil. Khalifah diartikan sebagai suatu kaum yang sebagian mereka akan menggantikan yang lain (pengganti atau penerus). Penggunaan kata Khalifah setelah Rasulullah SAW sama artinya yang terkandung dalam kata hakim, sultan, amir, dan imam. Artinya nama-nama tersebut dalam syariat dipakai sebagai julukan untuk setiap orang yang mengurusi urusan manusia dalam pengaturan kekuasaan dan hukum. Selain kata khalifah disebut juga Ulil Amri yang memiliki makna yang sama dengan kata amir sebagaimana di atas. Kata Ulil Amri berarti pemimpin tertinggi dalam masyarakat Islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 59 yang berbunyi: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ayat di atas, menekankan kepada kita untuk berpegang teduh kepada Allah dan Rasulullah, serta mendengarkan dan mentaati ulil amri diantara kita. Namun tatkala ada permasalahan yang tidak ditemukan jalan keluarnya (antara kita dan ulil amri), hendaknya kita mengembalikan masalah kita kepada Al Qur’an dan Sunah.(KEUTAMAAN PRIA SEBAGAI PEMIMPIN. Dedi Masri1, FITK UIN Sumatera Utara, Indonesia. Hlm 156-157).
Pemimpin dalam Pandangan Islam
Arti Kepemimpinan
Pemimpin merupakan bagian dari sebuah kelompok yang memiliki wewenang, kekuasaan dan kekuatan untuk mempengaruhi serta memerintah orang lain (bawahan) dalam rangka melakukan upaya bersama untuk mencapai tujuan bersama. Pemimpin memiliki peran penting dalam merumuskan atau mencapai tujuan kelompok. Hal tersebut sejalan dengan Suradinata (1997:11) yang mengartikan pemimpin sebagai orang yang memimpin kelompok dua orang atau lebih, baik organisasi maupun keluarga. Sedangkan Kepemimpinan adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mengendalikan, memimpin, mempengaruhi fikiran, perasaan atau tingkah laku orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam pengertian secara umum, kepemimpinan berarti proses ketika seseorang memimpin (directs), membimbing (guides), mempengaruhi (infuences), atau mengontrol (controls) pikiran, perasaan dan perilaku orang lain atau kelompoknya untuk bergerak ke arah tujuan-tujuan tertentu(Kayo, 2005:7).
Dalam kepemimpinan terdapat penyerahan wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh bawahan kepada pemimpinnya, yang meliputi kekuasaan atas harta, keselamatan pribadi, harapan perbaikan nasib dan sebagainya dengan penuh kepercayaan (Mashyur, 1987: 179).(KEUTAMAAN PRIA SEBAGAI PEMIMPIN. Dedi Masri1, FITK UIN Sumatera Utara, Indonesia. Hlm 158).
Konteks pemimpin dalam Islam dikatakan sebagai khâlifah atau imâm. Secara terminologi, kedua kata tersebut berasal dari Bahasa Arab. Khâlifah berarti pemimpin tertinggi (al-sulthân al-a’dzhâm) atau pengganti seseorang (pemimpin) yang telah pergi, sedangkan imâm yang berarti pemimpin (al-ra’îs) (Al-Anshari, Lisânu al-‘Arab). Sedikit berbeda, namun jika ditarik secara garis besar, kedua kata tersebut memiliki makna, yaitu pemimpin. Dalam al-Qur’an kata khâlifah disebutkan pada QS. al-Baqarah [2] ayat 30, yang berbunyi: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”(QS. al-Baqarah (2): 30).
Ibnu Katsir dalam kitabnya berjudul “Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzhîm”, menjelaskan bahwasannya khalifah adalah sebagai pengganti nabi sebagai pemimpin yang mentaati perintah Allah dan menegakkan hukum secara adil. Bahkan menurutnya, seorang al-sulthân al-a’dzhâm (re: pemimpin tertinggi di suatu negara) juga disebut khalifah. Sebab, ia juga berdiri sebagai pengganti kepemimpinan sebelumnya yang akan menegakkan perintah-perintah yang telah ditetapkan(Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzhîm). Dengan begitu, kata khalifah dalam ayat tersebut bukan hanya diperuntukkan kepada khulafâ al-rasyidîn saja, melainkan juga kepada seluruh muslim yang menjadi pemimpin. (PRINSIP ETIKA POLITIK PEMIMPIN DALAM ISLAM. Oleh: Farhah*, Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor dan Achmad Farid*, Universitas Indonesia. Dauliyah, Vol. 4, No. 2, Juli 2019. Hlm 70-71).
Makna dan Karakter Pemimpin
Makna Ra’i
Diksi kata yang digunakan Rasul ketika menggeneralisir fungsi dan tanggungjawab setiap individu sebagai seorang pemimpin pada segala strata adalah ra’i. Kata ini dapat dirujuk dalam penggalan hadist Rasul yang berbunyi…”Kullukum ra’in, wakullukum mas’ulun ‘an raiyaitihi…”. Secara harfiah kata ini bermakna “penggembala”. Sangat kuat penggunaan kata ini dalam menyebut pemimpin bagi setiap individu umatnya, dinisbatkan pada latar belakang Rasul sebagai seorang penggembala.
Apabila dicermati secara mendalam, profesi sebagai penggembala tersebut ternyata menorehkan banyak pelajaran bagi Rasul dalam membangun fondasi leadership-nya dikemudian hari. Pekerjaan tersebut, menurut Harahap (2004), mengajarkan untuk bertanggungjawab terhadap domba yang digembalakannya agar tertib di dalam kumpulan. Pekerjaan itu pun menuntut cinta kasih, semisal mencari domba yang terpisah dari kumpulan atau pun merawat domba yang sakit. Dengan tanggungjawab dan rasa cinta kasih itu, sang penggembala menggiring hewan yang digembalakan menuju titik yang dituju, termasuk menggiringnya pada saat pulang kandang.
Tugas Melayani Masyarakat
Sejatinya, seorang pemimpin harus berorientasi pada pelayanan terhadap yang dipimpinnya. Dalam istilah arab dikenal dengan sebutan al-Imamu khodimul ummah, yang artinya seorang pemimpin itu adalah pelayan bagi rakyat yang dipimpinnya. Terkait dengan hal tersebut, berikut akan diuraikan mengenai konsep al-Imamu khodimul ummah tersebut.
a. Hati yang Melayani
Kepemimpinan yang melayani dimulai dari dalam diri sendiri. Kepemimpinan menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam dan kemudian bergerak keluar untuk melayani mereka yang di pimpinnya (al-Imamu Khodimul Ummah). Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh rakyat yang dipimpinnya.(FILOSOFI DAN ETIKA KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM. A. F. Djunaedi*. Al-Mawarid Edisi XIII Tahun 2005. Hlm 56).
Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian, dan harapan dari mereka yang dipimpinnya. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang dapat mengendalikan ego dan kepentingan pribadinya melebihi kepentingan publik atau mereka yang dipimpinnya. Mengendalikan ego berarti dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun tantangan yang dihadapi menjadi begitu berat. Seorang pemimpin sejati selalu dalam keadaan tenang, penuh pengendalian diri dan tidak mudah emosi.
b. Kepala yang Melayani
Seorang pemimpin sejati tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter semata, tetapi juga harus memiliki serangkaian metoda kepemimpinan agar dapat menjadi pemimpin yang efektif.
Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang yang sangat responsif. Artinya dia selalu tanggap terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan dan impian dari mereka yang dipimpinnya. Selain itu, Ia selalu aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap permasalahan ataupun tantangan yang dihadapi organisasinya.
Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang pelatih atau pendamping bagi orang-orang yang dipimpinnya (performance coach). Artinya dia memiliki kemampuan untuk menginspirasi, dan mendorong stafnya agar mampu menyusun perencanaan (termasuk rencana kegiatan, target, atau sasaran, rencana kebutuhan sumber daya, dan sebagainya), melakukan kegiatan sehari-hari (monitoring dan pengendalian), dan mengevaluasi kinerja dari anak buahnya.(FILOSOFI DAN ETIKA KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM. A. F. Djunaedi *. Al-Mawarid Edisi XIII Tahun 2005. Hlm 58-59).
c. Tangan yang Melayani
Pemimpin sejati bukan sekedar memperlihatkan karakter dan integritas, serta memiliki kemampuan dalam metode kepemimpinan, tetapi dia harus menunjukkan perilaku maupun kebiasaan seorang pemimpin. Dalam buku Ken Blanchard tersebut disebutkan ada empat perilaku seorang pemimpin, yaitu: Pemimpin tidak hanya sekedar memuaskan mereka yang dipimpinnya, tetapi sungguh-sungguh memiliki kerinduan kepada Sang Khaliq. Artinya dia hidup dalam perilaku yang sejalan dengan ajaran Allah SWT. Dia memiliki misi untuk senantiasa memuliakan Allah SWT dalam setiap apa yang dipikirkan, dikatakan dan diperbuatnya.
Pemimpin sejati fokus pada hal-hal spiritual dibandingkan dengan sekedar kesuksesan duniawi. Baginya kekayaan dan kemakmuran adalah untuk memberi dan beramal lebih banyak. Apapun yang dilakukan bukan untuk mendapat penghargaan, tetapi untuk melayani sesamanya, dan dia lebih mengutamakan hubungan atau relasi yang penuh kasih dan penghargaan, dibandingkan dengan status dan kekuasaan semata.
Pemimpin sejati senantiasa mau belajar dan tumbuh dalam berbagai aspek, baik pengetahuan, kesehatan, keuangan, relasi, dan sebagainya. Setiap hari senantiasa menyelaraskan (recalibrating) dirinya terhadap komitmen untuk mengabdi kepada Allah SWT. Melalui solitude (keheningan), prayer (doa), dan scripture (membaca Firman Allah SWT).(FILOSOFI DAN ETIKA KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM. A. F. Djunaedi *. Al-Mawarid Edisi XIII Tahun 2005. Hlm 60).
Pemimpin Perspektif Filosof Muslim
Dalam buku Sulük al-Mâlik fî Tadbîr al-Mamâlik, Ibnu Abi Rabi’ menjelaskan enam aspek penting yang harus dimiliki pemimpin. Pertama, paternalistic (al-abuwwah), yakni termasuk kalangan kerajaan dan memiliki nasab yang dekat dengan raja. Kedua, Ambisi besar (al-himmah al-kabîroh) yang diperoleh dari pendidikan etika dan penguasaan diri terhadap sifat pemarah. Ketiga, pandangan yang benar (al-ra’yu al-matîn), yang diperoleh melalui hasil penelitian dan pembelajaran terhadap kepemimpinan para raja sebelumnya.
Keempat, kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan (al-mushâbarah ‘ala al-syadâid). Ini dapat dicapai dengan menampakkan keberanian dan kekuatan. Kelima, harta yang berlimpah (al-mâl al-jumm) yang diperoleh atas dasar keadilan bagi rakyat dan terus bekerja dalam memakmurkan kerajaan. Keenam, para pembantu kerajaan yang amanah (al-a’wân al-shadiqün). Pemimpin harus bersikap lemah lembut, memerhatikan, dan memuliakan mereka untuk bisa mempertahankan kesetiaan mereka. Sebab, merekalah yang membuat posisi raja semakin kuat (Rabi’, Sulük al-Mâlik fî Tadbîr al-Mamâlik).
Tidak puas dengan enam aspek tersebut, Abi Rabi’ menambahkan syarat kepribadian seorang pemimpin (siyasat nafsihi). Ia menambahkan sembilan kriteria yang dimiliki pribadi pemimpin, yaitu pandai membagi waktu, bijaksana, teladan, tidak bahagia terhadap pujian, tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas, pandai bersyukur, mempunyai intuisi yang baik, menempatkan kebenaran dan keadilan di depan, serta membalas kesalahan orang lain dengan kebaikan. Paling tidak ia mensyaratkan bahwa mengurus kerajaan tidak boleh keluar dari empat unsur, yaitu akal (al-‘aql), kedermawanan (al-jüd), politik (al-siyasâh), dan ketegasan (al-hazm) (Rabi’, Sulük al-Mâlik fî Tadbîr al-Mamâlik).
Filosof muslim selanjutnya adalah Al-Farabi, yang memiliki pandangan sedikit berbeda dengan Ibnu Abi Rabi’. Dalam menentukan syarat pemimpin utama, manusia yang paling sempurna, ia mengkolaburasikan dua aspek yang saling berkaitan yaitu (1) fitrah dan tabiat, serta (2) talenta (malakah) dan kehendak (iradah). Menurutnya, ada 12 karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin, yaitu (1) anggota badan yang sempurna; (2) pemahaman dan daya hafalan yang baik; (3) intelektualitas yang tinggi; (4) pandai mengemukakan pendapat dan uraiannya mudah dimengerti; (5) mencintai pendidikan; (6) tidak tamak dalam hal-hal yang bersifat materi; (7) mencintai kebenaran; (8) berjiwa besar; (9) tidak memandang penting kekayaan dan kesenangan dunia; (10) mencintai keadilan dan membenci keburukan; (11) tanggap dan tidak sukar diajak menegakkan keadilan; serta (13) mempunyai pendirian yang kuat atau istiqomah (Al-Farabi, 1995).
Ibnu Taimiyah melihat kepemimpinan lebih kepada konteks amanat. Menurutnya, pemimpin harus mengangkat para pejabat berdasarkan kualitasnya yang terbaik, bukan karena kedekatan, uang, atau kedudukan sosial. Bahkan orang yang meminta jabatan, sejatinya tidak berhak untuk diangkat menjadi pejabat (Taimiyah, 1997). Hal ini semuanya dilandaskan atas dasar amanat dari Allah. Singkatnya, jabatan baginya adalah sebuah amanat yang harus dituntaskan dengan baik.
Selanjutnya, pandangan Ibnu Khaldun sedikit memiliki kesamaan dengan pandangan al-Farabi. Khaldun menjelaskan kriteria pemimpin dengan menyebutkan akhlak terpuji yang harus dimiliki serta akhlak tercela yang harus dihindari. Menurutnya, pemimpin ialah ia yang memiliki karakter-karakter yang terpuji, seperti dermawan, pemaaf, sabar, mengagungkan hukum agama, memuliakan ahli agama, bersikap dan berperilaku sesuai dengan perintah agama dan aturan-aturan syariat, serta menjauhkan diri dari pengkhianatan, penipuan, dan monopoli (Khaldun, 2009).
Sejatinya, jika kembali kepada al-Qur’an, terdapat kriteria seorang pemimpin yang belum tersebut oleh para filosof di atas. Kriteria tersebut antara lain bermusyawarah dengan warga (QS. Ali Imran (3):159), menjaga ketentraman atau etika amar ma’ruf nahi munkar (QS. Ali ‘Imran (3):110), dan lain sebagainya. Selain itu, kepemimpinan dalam Islam juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam kepemimpinannya, beliau tidak melupakan empat kode etik yang telah menjadi sifat masyhurnya, yaitu Shiddiq (kejujuran atau kebenaran), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan), dan terakhir Fathanah (cerdas atau berpengetahuan) (Firdaus, 2016).
Prinsip Etika Politik Pemimpin Muslim
Dari pembahasan di atas, penulis melihat bahwa kriteria-kriteria yang disebutkan sangat berkaitan dengan etika politik pemimpin dan para politisi negara. Dengan itu, seorang pemimpin dan para politisi harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu untuk mewujudkan suatu negara yang baik. Maka dalam hal ini, penulis akan meringkas beberapa prinsip penting etika politik seorang pemimpin dan para politisi Muslim.
Dengan demikian, ada lima prinsip etika politik Islam yang harus dimiliki seorang pemimpin maupun politisi sebagai pemegang kekuasaan dalam suatu negara. Prinsip etika politik Islam tersebut antara lain sebagai berikut: (1) Agama sebagai landasan etika pemimpin muslim; (2) Amanat dalam berkuasa; (3) Adil dan bijaksana dalam hukum; (4) Cerdas dan berkompetensi pada bidangnya; serta (5) Bermusyawarah dan toleransi.(PRINSIP ETIKA POLITIK PEMIMPIN DALAM ISLAM. Oleh: Farhah*, Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor dan Achmad Farid*, Universitas Indonesia. Dauliyah, Vol. 4, No. 2, Juli 2019. Hlm 73-75).
Kesimpulan
Islam memandang penting etika dalam berpolitik. Akhlak Siyasah yang berdasarkan panduan al-Qur’an dan al-Hadits menjadi suatu bentuk upaya umat Islam dalam menciptakan kemaslahatan bagi seluruh manusia, baik muslim itu sendiri maupun non�muslim. Maka ada beberapa prinsip etika politik dalam yang harus diperhatikan para pemimpin, politisi, serta masyarakat. Prinsip etika politik pemimpin dan politisi dalam Islam yakni 1) Agama sebagai landasan etika pemimpin; 2) Amanat dalam berkuasa; 3) Bijaksana dan adil dalam hukum; 4) Cerdas dan berkompetensi pada bidangnya; 5) Pandai dalam bermusyawarah.
Seorang pemimpin lebih dituntut untuk cerdas intelektual, kompetensi pada bidangnya, serta dapat melaksanakan proses musyawarah dalam memutuskan suatu kebijakan. Adapun dalam Islam, masyarakat muslim dituntut untuk berbuat baik, bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga berbuat baik serata mencegah perbuatan keji kepada sesama.
Referensi:
FILOSOFI DAN ETIKA KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM. A. F. Djunaedi *. Al-Mawarid Edisi XIII Tahun 2005.
PRINSIP ETIKA POLITIK PEMIMPIN DALAM ISLAM. Oleh: Farhah*, Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor dan Achmad Farid*, Universitas Indonesia. Dauliyah, Vol. 4, No. 2, Juli 2019.
KEUTAMAAN PRIA SEBAGAI PEMIMPIN. Dedi Masri1, FITK UIN Sumatera Utara, Indonesia.