Penulis: Naufal Robbiqis Dwi Asta*
Perang dalam Islam sering kali dihubungkan oleh banyak orang sebagai makna dari adanya perintah jihad yang diturunkan oleh Allah Azza Wa Jalla. Term-term tentang jihad banyak dijelaskan pada ayat-ayat Alqur’an seperti pada ayat-ayat berikut.
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۙ اُولٰۤىِٕكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَتَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah (2): 218)
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Artinya:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali ‘Imran (3): 142)
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ ۚ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً ۚ وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ ۚ وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya:
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar,” (QS. An-Nisa’ (4): 95)
Jika kita mencoba memaknai ayat-ayat Alqur’an tentang jihad dengan penafsiran secara tekstual, maka pemaknaan terhadap jihad dapat juga dipahami sebagai perang. Tidak jarang juga dalam memaknai jihad secara tekstual akan menghantarkan pemahaman yang menuju pada upaya untuk membenarkan adanya kekerasan atas nama agama Islam.
Adapun secara etimologi, jihad berasal dari kata “juhd” yang memiliki makna “sungguh”. Para ulama membagi jihad kedalam tiga jenis. Pertama, jihad dimaknai sebagai upaya bersungguh-sungguh untuk mendapatkan rida dari Allah SWT. Kedua, jihad dimaknai secara rasional sebagai upaya untuk berijtihad. Ketiga, jihad dimaknai untuk kesungguhan untuk membela dan mempertahankan ajaran agama Islam.
Lantas, apakah jihad di era saat ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk mempertahankan agama yang berimplikasi pada peperangan dan kekerasan atas nama agama ?
Ir. Ashgar Ali (1980-2013) atau yang sering kali dikenal sebagai Ashgar Ali Engineer memberikan jawaban yang unik terhadap jihad untuk era saat ini. Ashgar Ali merupakan seorang pemikir sekaligus teolog Muslim yang memberikan kontribusi besar terhadap kajian Islam pada era kontemporer. Corak pemikiran progresifnya berimplikasi pada pemaknaan ulang dari term jihad yang banyak dijelaskan dalam Alqur’an.
Konsep dasar dari pemikiran Ashgar Ali terdiri dari tiga jenis, yaitu tauhid, iman, dan jihad. Menurut Ashgar Ali, bertauhid meniscayakan adanya hakikat semua manusia adalah sama dan yang paling tinggi adalah Allah SWT.
Tidak ada pihak yang tertindas atau secara struktural di bawah, juga tidak ada masyarakat yang secara struktural di atas. Baginya, membiarkan struktur penindasan sama halnya dengan membiarkan ada yang lebih tinggi atau di atas selain Allah SWT.
Membebaskan umat Islam dari penindasan juga merupakan upaya untuk beriman kepada Allah. Ashgar Ali menjelaskan definisi iman diambil dari kata “amn” yang artinya yakin, perlindungan, dan dapat diandalkan. Iman menurutnya bukan hanya soal kepercayaan pada Allah, tetapi juga menjadi seorang yang dapat diandalkan oleh sesama Muslim.
Konsep dasar yang terakhir adalah mengenai jihad yang dimaknai olehnya sebagai perjuangan. Lebih jelasnya, Ashgar Ali dengan kacamata pembebasannya memaknai jihad sebagai perjuangan untuk menghapus eksploitasi dan berbagai bentuk kezaliman terhadap sesama manusia. Ashgar Ali memberi landasan terhadap penafsirannya tentang jihad dengan QS. An-Nisa (4): 75, Allah telah berfirman:
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱلْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلْوِلْدَٰنِ ٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَخْرِجْنَا مِنْ هَٰذِهِ ٱلْقَرْيَةِ ٱلظَّالِمِ أَهْلُهَا وَٱجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا وَٱجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيرًا
Artinya:
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!.”
Ashgar Ali juga berpendapat bahwa perjuangan untuk melakukan pembebasan terhadap penindasan umat Islam harus dilakukan secara dinamis dan istiqomah agar kezaliman dapat dikalahkan dengan pendekatan yang baik.
Oleh karena itu, Ashgar Ali tidak memaknai jihad sebagai upaya untuk berperang dan bermiliter, melainkan sebuah aktivitas yang bersifat dinamis dan progresif untuk membebaskan masyarakat dari penindasan yang menimpa mereka.
*) Mahasiswa Prodi Akidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.