Oleh: Sofi
Faiqotul Hikmah (Mahasiswi PKU Masjid Istiqlal)
Politik
ekonomi tidak terlepas dari pemikiran Adam Smith, yaitu pemikir klasik yang
mengatakan bahwa pemerintah tidak perlu ikut campur tangan (invissible hand)
dalam penentuan harga di pasar, karena pasar yang baik merupakan pasar
persaingan bebas yang siapapun bisa berjualan dan bisa menjadi pembeli dalam
pasar, sehingga harga pasar murni ditentukan dengan keadaan pasar, yaitu
banyaknya permintaan dan penawaran yang ada di pasar, peristiwa ini disebut
dengan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalisme merupakan sistem
ekonomi yang memberikan kebebasan bagi siapapun untuk melakukan usaha,
berkreasi, berinovasi dan tidak membatasi kekayaan seseorang dalam hal urusan
usaha, tetapi dalam sistem ini terdapat dua kelas yang mengalami kesenjangan
sosial, yaitu kelas Borjuis (orang kaya/ pemilik modal/ juragan) dan kelas
Proletar (orang miskin/ buruh), tetapi dalam sistem ini tidak bertahan lama
karena kaum Borjuis bertindak semena-mena kepada kaum Proletar, mereka memeras
tenaga kerjanya kaum Proletar tetapi tidak menggajinya dengan gaji yang sesuai.
Menurut Adam
Smith kebebasan dalam berekonomi sangat penting ditarapkan oleh pelaku-pelaku
usaha karena usaha merupakan kepentingan pribadi yang terbaik baginya (Invividual
Freedom Action) yang perlu diapresiasi jika dapat membuka lapangan
pekerjaan baru. Kebebasan dalam berekonomi, baik bagi penjual maupun bagi
pembeli dikarenakan karena mereka mencari kepuasan (Utility Maximization),
kepuasan bagi konsumen jelas berbeda dengan kepuasan bagi penjual, kepuasan
bagi konsumen jika mereka merasa barang atau jasa yang mereka beli mendatangkan
manfaat guna yang luar biasa bagi mereka. Sedangkan kepuasan bagi penjual jika
penjual bisa menjual semua dagangannya dan meraup keuntungan yang fantastis,
karena dalam prinsip ekonomi kapitalis yaitu jika penjual bisa mengeluarkan
modal yang sedikit-dikitnya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang
sebanyak-banyaknya.
Dalam perkuliahan
di PKU-Masjid Istiqlal, Prof. Ali Munhanif mengatakan bahwa kesenjangan kelas
Borjuis dan Proletar menyebabkan semakin melemahnya sistem ekonomi kapitalis
dan berevolusinya sistem ekonomi sosialis yang dipelopori oleh silsuf Karl
Mark, disebut sebagai bapak sistem ekonomi sosialis karena berpikir bahwa kaum Proletar
berhak mendapatkan keadilan, menikmati kekayaan dan memperoleh pekerjaan yang
layak. Sistem ekonomi sosialis merupakan kebalikan dari sistem ekonomi
kapitalis, ekonomi sosialis tidak membiarkan bagi siapapun untuk melakukan
kebabasan dalam usaha, semua usaha ditentukan pemerintah, semua pekerjaan
ditentukan oleh pemerintah, bahkan gaji dan tunjuangan diatur oleh pemerintah.
Dalam sistem ekonomi sosialis, masyarakat tidak diberikan kebebasan dalam
usaha, berkreasi, berinovasi dan menyalurkan bakatnya dalam suatu perekonomian
yang berarti dalam sistem ekonomi sosialis tidak ada si kaya dan si miskin,
tidak ada kaum Borjuis dan kaum Proletar karena semua jenis usaha dikuasai oleh
pemerintah dan harga-harga barang juga ditentukan oleh pemerintah.
Ekonomi
Islam datang dengan membawa sifat rahmatan lil’alamin, yang dibawa oleh
Nabi Muhammad dengan risalah ketauhidannya yang memberikan contoh-contoh yang
baik dalm usaha dan berekonomi, memberikan batasan-batasan untuk kebebasan yang
tidak terkendali, memberikan kebebasan-kebebasan untuk usaha yang terbatas yang
sesuai dengan kaidah-kaidah dalam Islam. Dalam hal berekonomi, Islam merupakan
agama yang membebaskan bagi siapapun untuk melaksanakan usaha, menciptakan
kreasi, berinovasi, berdagang, bertani dan usaha-usaha lainnya, tetapi Islam
tetap membatasi kebebasan-kebebasan tersebut, seperti dalam usaha tidak boleh
mengambil keuntungan yang berlipat ganda karana itu disebut sebagai riba, dan keharaman
riba tertuang dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron Ayat 130, dalam Islam juga
dilarang melakukan tadlis (penipuan), gharar (ketidakjelasan
dalam bertransaksi), maysir (judi), dhulm (tidak menempatkan
sesuatu pada tempatnya), bay’ najasi (rekayasa penawaran), risywah (suap),
serta transaksi-transaksi lain yang dilarang dalam Islam, transaksi tersebut
dilarang dalam Islam karena dapat merugikan salah satu pihak dan pihak yang
dirugikan biasanya tidak tau akan hal itu.
Transaksi-transaksi
dalam usaha yang dilarang dalam Islam dapat menyebabkan Distorsi pasar, yaitu
dimana keadaan harga di pasar mengalami ketidakseimbangan sehingga pemerintah
diharuskan ikut campur tangan ketika harga barang di pasar terlalu tinggi/
terlalu rendah. Dalam suatu Riwayat, ada seorang sahabat yang mendatangi nabi
dengan meminta pertimbangan atas harga barang-barang yang melonjak tinggi di
pasar, nabi memberikan jawaban bahwa “Semua harga barang di pasar yang
menentukan Allah”, nabi menolak untuk menentukan harga barang di pasar karena
mahal dan murahnya harga barang di pasar itu sudah sesuai dengan hukum
permintaan dan penawaran di pasar, yang dimaksud Allah yang menentukan harga
diartika sebagai hukum pasar, tidak ada siapapun yang boleh menentukan harga
barang di pasar, oleh karena itu politik dan ekonomi pada masa nabi tidak bisa
disatukan, karena politik itu adalah kekuasaan, sedangkan ekonomi itu adalah
kekayaan.
Dalam buku
muqaddimah, Ibnu Khaldun memberikan landasan bahwa salah satu keadaan ekonomi
politik adalah berkaitan dengan masalah tentang “Harga”. Ibnu Khaldun
mengatakan bahwa terbentuknya harga barang-barang di pasar itu berdasarkan
banyaknya permintaan dan penawaran di pasar kecuali untuk emas dan perak yang
merupakan standard moneter di suatu negara. Permintaan dan penawaran yang
dimaksud Ibnu Khaldun merupakan sejumlah barang yang dibeli oleh masyarakat dan
sejumlah barang yang dijual kepada masayarakat dengan tujuan mendapatkan
keuntungan. Cendekiawan Muslim yang lahir sebelum Adam Smith (dikenal sebagai
bapak ekonomi klasik) mencurahkan seluruh pendapatnya dalam kitabnya yang
berjudul Muqaddimah tentang hubungan perekonomian dengan politik yang secara
tidak langsung melibatkan pemerintah sebagai pihak pengambil kebijakan.
Ekonomi
politik direlefansikan sebagai hubungan antara kekayaan dengan kekuasaan,
ekonomi politik sudah menjadi pembahasan pada masa Yunani Kuno yaitu pada abad
ke-14 pada masa era kaum sodagar (marchant) yang menguasai sebuah
perekonomian, sodagar atau pedagang mereka menjadikan petani sebagai sumber
keberuntungan atas hasil pertanian yang mereka hasilkan, namun para petani
dituntut untuk membayar pajak tinggi agar barangnya bisa dijual kepada
pedagang, keadaan ini disebut sebagai sistem ekonomi marchantilisme, yaitu
pedagang yang menjadi kuasa dan menguasai sistem perekonomian.
Ibnu Khaldun
juga menjelaskan dalam bukunya “Muqaddimah” bahwa harga suatu barang itu
ditentukan dari gaji pegawai, pajak, laba. Gaji merupakan biaya produksi yang
wajib diberikan kepada pegawai, karena tenaga kerja merupakan faktor produksi
utama. Sedangkan pajak merupakan kewajiban pembayaran kepada negara atas
keuntungan yang diperoleh oleh pedagang, disini peran pemerintah yang dianggap
tidak aktif terlalu mengurusi harga barang pasar, tetapi menentukan besaran
pengeluaran pajak dari masing-masing usaha. Pengaruh harga yang terahir yaitu
laba, karena tujuan utama orang berusaha adalah untung, jadi laba merupakan
salah satu hal yang bisa digunakan untuk menganalisis penetapan harga suatu
barang, semua hal itu tetap faktor utama yang dapat mempengaruhi harga adalah
banyaknya permintaan dan penawaran.
Ibnu Khaldun
tidak berpihak pada kapitalis maupun sosialis, pemerintah tidak harus turut
mengintervensi harga barang di pasar, tetapi pemerintah juga tidak begitu saja
melepas tangan tentang keadaan pasar. Pemikiran Ibnu Khaldun tidak berpusat
pada keadilan saja melainkan juga kesejahteraan yang tetap berpegang pada
ketauhidan. Selain itu Ibnu Khladun juga berpendapat bahwa standard nilai
keuangan itu disetarakan dengan harga emas dan perak, karena emas dan perak
cenderung tetap dan tidak berfluktuasi, pemerintah yang tidak ikut campur
tangan dalam menentukan harga pasar, hanya megatur besaran pajak yang merupakan
salah satu pendapatan negara yang wajib dikeluarkan bagi pemilik usaha.