Penulis: Muhammad Muslich Aljabbar, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Al-dakhil fi al-tafsir merupakan sebuah disiplin ilmu tentang penafsiran Alqur’an yang mengandung unsur-unsur yang dapat mengakibatkan munculnya suatu kecacatan ataupun keraguan. Pada dasarnya kecacatan tersebut tampak samar sehingga untuk mengetahuinya membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Boleh jadi al-dakhil ini merupakan suatu kesengajaan ataupun murni keterbatasan manusia dalam memahami ayat Al-Qur’an. Pada tulisan ini, penulis mengaitkannya pada salah satu ayat yang dinilai mengandung lahn sesuai yang termaktub dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Jalal al-Din al-Suyuti. Dalam kitab tersebut terdapat suatu riwayat terkait gejala lahn yang menimbulkan beberapa pendapat dari mufasir dengan menggunakan perspektif nahwu, berikut redaksinya:
قال أبو عبيد في فضائل القرآن : حدثنا أبو معاوية، عن هشام بن عروة، عن أبيه قال : سألت عائشة عن لحن القرآن عن قوله تعالى : إِنْ هَذَانِ لَسَجِرَانِ﴾ [طه: ٦٣]، وعن قوله تعالى : وَالْمُقِيمِينَ الصَّلَوٰةَ وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَاةَ﴾ [النساء : ١٦٢]، وعن قوله تعالى : ﴿إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّنُونَ﴾ [المائدة : ٦٩]. فقال : يا بن أخي هذا عمل الكتاب، أخطؤوا في الكتاب. هذا إسناد صحيح على شرط الشيخين.
Abu ‘Ubayd dalam Fadail Alqur’an berkata: Abu Mu‘awiyah menceritakan kepada kami dari Hisham bin ‘Urwah, dari ayahnya berkata: ‘A’ishah ditanya tentang lahn dalam Alqur’an, yakni surah Taha [20]: 63 (…in hadhani lasahirani…), surah al-Nisa’ [4]: 162 (…walmuqimina al-ssalata walmu’tuna al-zakata), dan surah al-Ma’idah [5]: 69 (Inna al-ladhina ’amanu walladhina hadu wassabi’una…). Maka ‘A’ishah menjawab ini adalah kesalahan para penulis Alqur’an.
Adapun sanad dari riwayat ini adalah sahih menurut Bukhari dan Muslim. Berdasarkan riwayat ini, Sayyidah ‘A’ishah mengakui adanya lahn dalam Alqur’an yang disebabkan oleh kekeliruan para penulis Alqur’an.
Dalam hal ini, penulis hanya berfokus pada satu ayat saja yakni surah Taha [20]: 63. Kesalahannya terletak pada setelah dha harusnya ya bukan alif. Secara gramatika setiap kata yang terletak setelah inna berkedudukan mansub (tansibu inna al-mubtada’ isman wa al-khabar tarfa‘uhu).
Oleh karena itu, seharusnya lafaznya hadhayni karena terletak setelah inna. Menanggapi riwayat di atas, Al-Fakhru al-Razi dalam Mafatihu al-Gayb merangkum beberapa varian bacaan surah Taha [20]: 63 sebagai berikut:
(1) Bacaan Abu ‘Amr (inna hadhayni lasahirani). Dikatakan ini adalah qiraah ‘Uthman, ‘A’ishah, Ibn Zubayr, Jabir, dan Hasan.
(2) Bacaan Ibn Kathir (in hadhanni) mentakhfifkan inna dan mentashdidkan hadhani.
(3) Bacaan Hafs dari ‘Asim (in hadhani) mentakhfifkan kedua nun-nya.
(4) Bacaan ‘Abdullah bin Mas‘ud (wa asarrun al-najwa an hadhani sahirani) membuang qalu, memfathahkan alif, dan menjazmkan nun serta membuang lam.
(5) Bacaan Al-Akhfash (in hadhani lasahirani).
(6) Bacaan Ubay b. Ka‘ab (ma hadhani illa sahirani).
Qiraat bacaan yang tidak sesuai dengan in hadhani lasahirani yang secara gramatika keliru memiliki kedudukan ahad sehingga tidak bisa digunakan karena Alqur’an kedudukannya mutawatir.
M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa tidaklah tepat menilai bahwa penulis Alqur’an itu keliru dalam menulisnya. Penulisan ayat-ayat Alqur’an yang telah beredar itu merupakan bacaan yang telah dikenal luas dan dihafalkan oleh banyak para sahabat.
Tentu saja mereka adalah orang-orang yang paham bahasa Arab. Dengan demikian, penulisan dan bacaan mereka yang dinilai tidak sejalan dengan kaidah nahwu sama sekali tidak dapat dinilai keliru.
Mengingat kaidah bahasa Arab dirumuskan jauh setelah Alqur’an diturunkan apalagi kelahiran bahasa Arab. Jika diurai kembali dalam hal nahwu maka lafaz surah Taha [20]: 63 juga tidak bisa dijastifikasi keliru.
Kata inna terbagi menjadi dua, yakni inna nasikhah dan inna nafy. Dalam kasus ayat tersebut inna-nya merupakan inna nasikhah yang kemudian di-takhfif-kan (diringankan) menjadi in kemudian di-muhmal-kan (hukum inna tidak diberlakukan).
Huruf lam pada lafaz lasahirani merupakan lam fariqah atau lam yang menjadi indikasi kalau in-nya merupakan in nasikhah. Dengan demikian, jika menggunakan pola nahwu seperti ini, maka ayat tersebut tidak mengandung lahn sama sekali. Wa Allah a‘lam bi al-ssawab.
Referensi:
Jalal al-Din al-Suyuti. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. (Beirut: Mu’assasah al-Risalah Nashiruna, 2008).
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah Vol. 8 (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
Muhammad al-Razi Fakhru al-Din. Mafatihu al-Gayb Vol. 22 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).
Sharifuddin Yahya al-‘Imriti. Al-‘Imriti.