Untuk melacak pengaruh atau implikasi gerakan pembaharuan pendidikan Islam sebenarnya cukup menarik, karena masing-masing wilayah yang ada tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang mendasar.
Disparitas latarbelakang daerah bisa pluralitas budaya, politik, sejarah, tradisi intelektual dan sebagainya. Tetapi hampir semua gerakan pembaruan dalam dunia Islam mempunyai persoalan yang sama ketika pada saat awal ide-ide pembaruan itu digagas.
Secara otomatis ide-ide itu tidak langsung mendapat respons positif dari berbagai elemen di masing-masing wilayah, akibat kemajemukan masyarakat dan beragamnya aliran dalam Islam.
Salah satu dari beragamnya masalah itu, secara realitas di masyarakat pada masa awal gagasan pembaruan pendidikan digulirkan, terdapat asumsi bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Ini merupakan salah satu penyebab kemunduran tradisi intelektual dan menciptakan kondisi stagnasi pemikiran dalam Islam.
Nah, sejak saat itu mulailah zaman gelap dalam dunia intelektual Islam, dan keadaan itu dilengkapi dengan terjadinya taklid buta yang menjadi panutan dan pandangan umum.
Sehingga umat Islam menjadi statis dan hanya mengikuti pendapat-pendapat atau fatwa ulama, tanpa ada usaha untuk memahami Islam dari sumber utamanya Alqur’an dan al-Sunnah.
Namun keadaan ini berubah pada periode modern pada abad 18 M. Pertemuan Islam yang mengalami kemunduran dengan Barat yang maju. Ide-ide pembaruan kemudian muncul, yang dipelopori sejumlah tokoh pembaru, semisal Abduh, Jamaluddin Afghani dan sebagainya. Termasuk berbagai usaha pembaruan (modernisasi) dalam bidang pendidikan Islam.
Implikasi dari pembaruan pendidikan Islam secara umum, diakibatkan adanya kontak umat Islam dengan modernitas Barat. Sebagai konsekuensi logis dari benturan budaya itu, pada perkembangan selanjutnya kemudian timbul di kalangan umat Islam istilah “Intelektual Baru” yang sering disebut “cendekiawan sekuler”.
Kaum intelektual baru ini menurut H.J. Benda adalah “sebagian besar dari mereka yang dididik dari lembaga pendidikan Barat. Pengertian “Intelektual Baru” ini berbeda dengan “Intelektual Lama” di zaman klasik Islam. Intelektual baru seolah terpisah dari kaum intelektual agama (ulama).
Bahkan, pengertian ulama pun mengalami penyempitan pengertian sebagai orang yang menguasai ilmu-ilmu agama saja. Ditambah lagi sistem pengajaran dan pendidikan baru yang menimbulkan perpisahan antara ulama dan intelektual.
Rupanya, asumsi ini bisa dibenarkan dengan melihat realitas empiris dalam sejarah Islam. Hampir semua proses pembaruan Islam, dihadapkan pada dua kutub kekuatan (modernis dan tradisionalis) yang berseberangan dalam pembaruan berbagai skalanya dalam perspektif intelektualitas para tokoh pembaruan.
Hal ini bisa dicermati dengan melihat berbagai gerakan pembaruan Pendidikan Islam, misalnya yang terjadi di Mesir, secara paradoksal usaha modernisme pendidikan yang dilakukan oleh kelompok “intelektual baru selalu mendapat tantangan dari kelompok ulama tradisionalis atau intelektual lama.”
Misalnya kasus pembaruan di Al-Azhar yang dilakukan Muhammad Abduh yang merepresentasikan diri sebagai kelompok cendekiawan modernis vis-a-vis kelompok Syaikh Al-Azhar yang mewakili ulama konservatif.
Begitu juga nasib pembaharuan di Turki yang dilakukan oleh tokoh-tokoh berpendidikan Barat semisal Shadik Rifa’at dan Sultan Mahmud II secara langsung berhadapan dengan kelompok ulama tradisionalis yang ada dalam institusi Syekhul Islam, yang mempunyai cenderung mempertahankan ortodoksi Islam. Kasus serupa juga terjadi di India-Pakistan, dimana terdapat rivalitas keras antara kelompok modernis Aligarh dengan kelompok Deoband.
Tak berhenti di sini. Implikasi lainnya, sebenarnya pembaruan dalam Islam terutama di negeri-negeri yang berpengaruh tersebut di atas sangat besar sekali efeknya hingga sekarang, termasuk usaha pembaharuan pendidikan di Indonesia, juga terpengaruh oleh pemikiran semacam Abduh, Abdul Wahhab, dan ulama- ulama lainnya baik yang modernis maupun tradisionalis.
Yang jelas bahwa, pembaruan pendidikan Islam akan sukses jika mendapat dukungan dari para penguasa atau pemimpin politik di suatu negara. Di samping itu pembaruan pendidikan Islam telah membuka cakrawala kesadaran umat Islam akan arti penting pendidikan bagi masa depan mereka.
Hal ini ditandai bermunculannya berbagai lembaga pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi yang tidak hanya mengkaji disiplin agama Islam secara an sich, tetapi juga mengkaji berbagai disiplin ilmu lainnya yang bermanfaat bagi kemajuan. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
1 Comment