Berita

Ketika Rapor Dibagikan, Ranking Dihapuskan: Sebuah Ironi di Akhir Semester?

3 Mins read

Mari kita tinggalkan sejenak riuhnya pemberitaan politik dan intrik para pesohor. Kali ini, kita menyelami dunia pendidikan, sebuah arena yang seharusnya steril dari kepentingan sesaat, namun tak jarang menjadi ajang eksperimen kebijakan yang kontroversial.

Desember tiba, saatnya rapor dibagikan. Bagi sebagian siswa, momen ini adalah saat yang dinanti-nantikan, sebuah bukti konkret atas kerja keras selama satu semester. Namun, bagi sebagian lainnya, rapor bisa menjadi momok yang menakutkan, sebuah pengingat akan kegagalan dan ketidakmampuan. Di tengah hiruk pikuk pembagian rapor ini, sebuah kebijakan kontroversial kembali mencuat: penghapusan ranking di sekolah. Sebuah ironi yang menggelitik nalar, di saat siswa berhak mengetahui posisinya, justru ranking ditiadakan. Mari kita seruput kopi hangat dimanapun kita berada, sambil merenungi, benarkah penghapusan ranking ini adalah langkah yang tepat?

Dunia pendidikan kita memang penuh dengan paradoks. Di satu sisi, kita ingin menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan menyenangkan, di mana setiap siswa merasa dihargai dan didukung. Di sisi lain, kita juga ingin mendorong siswa untuk berprestasi dan bersaing secara sehat. Penghapusan ranking, seolah menjadi jembatan yang menghubungkan kedua kutub yang berlawanan ini. Namun, benarkah demikian? Ataukah kita hanya membangun jembatan di atas ilusi?

Mari kita telaah lebih dalam. Penghapusan ranking, konon, bertujuan untuk mengurangi tekanan dan stres pada siswa. Dengan tidak adanya ranking, siswa diharapkan lebih fokus pada proses belajar, bukan pada hasil akhir. Mereka diharapkan lebih termotivasi untuk mengembangkan potensi diri, tanpa terbebani oleh persaingan yang tidak sehat. Sebuah gagasan yang mulia, memang. Namun, apakah gagasan ini realistis?

Bukankah setiap individu itu unik? Dengan bakat, minat, dan kemampuan yang berbeda-beda? Bukankah tugas pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi tersebut secara optimal? Lalu, bagaimana kita mengukur kemajuan siswa jika tidak ada standar yang jelas? Bagaimana kita memotivasi mereka untuk terus belajar dan berkembang jika tidak ada target yang ingin dicapai?

Baca...  Memasuki Dua Dekade, MAARIF Institute Perkuat Komitmen Mengawal Visi Perjuangan Buya Syafii

Para pendukung penghapusan ranking berdalih bahwa ranking hanya menciptakan stres dan kecemasan pada siswa. Mereka yang berada di peringkat bawah merasa minder dan tidak termotivasi untuk belajar. Sementara yang berada di peringkat atas menjadi sombong dan terlena. Argumen yang masuk akal, memang. Namun, apakah dengan menghapus ranking, masalahnya selesai? Ataukah kita hanya menutupi luka dengan perban, tanpa mengobati akar penyakitnya?

Justru sebaliknya. Dengan menghilangkan ranking, kita menghilangkan salah satu motivasi penting dalam belajar: keinginan untuk menjadi lebih baik. Bukankah kompetisi itu sehat? Bukankah dengan bersaing, kita terpacu untuk mengeluarkan kemampuan terbaik kita? Tentu saja, kompetisi harus dilakukan dengan cara yang sehat, tanpa menjatuhkan orang lain. Namun, menghilangkan kompetisi sama saja dengan menghilangkan semangat untuk berprestasi.

Lebih jauh lagi, penghapusan ranking ini bisa berdampak buruk pada kualitas pendidikan. Jika tidak ada standar yang jelas, bagaimana kita bisa mengevaluasi kinerja guru dan sekolah? Bagaimana kita bisa memastikan bahwa siswa mendapatkan pendidikan yang berkualitas? Jangan-jangan, ini hanya akal-akalan untuk menutupi kebobrokan sistem pendidikan kita. Sebuah upaya untuk menyamaratakan semua siswa, tanpa memperhatikan potensi dan kemampuan masing-masing.

Memang, ranking bukanlah segalanya. Ada banyak faktor lain yang memengaruhi keberhasilan siswa, seperti minat, bakat, lingkungan keluarga, dan kualitas guru. Namun, ranking tetaplah penting sebagai salah satu indikator kemajuan belajar. Dengan menghapusnya, kita seperti membuang kompas dalam perjalanan. Kita kehilangan arah dan tujuan, dan akhirnya tersesat dalam rimba pendidikan yang penuh dengan ketidakpastian.

Kebijakan penghapusan ranking ini seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menciptakan suasana belajar yang lebih menyenangkan dan inklusif. Di sisi lain, ia bisa menghilangkan motivasi belajar dan menurunkan kualitas pendidikan. Semua tergantung pada bagaimana kita mengimplementasikannya. Namun, yang jelas, kebijakan ini tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus diimbangi dengan upaya-upaya lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.

Baca...  Putri Bill Gates Nikahi Seorang Pemuda Muslim Secara Islam

Kita perlu melakukan reformasi yang lebih komprehensif, mulai dari peningkatan kualitas guru, perbaikan kurikulum, hingga pemerataan akses pendidikan. Kita perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, di mana setiap siswa merasa dihargai dan didukung untuk mengembangkan potensi mereka. Kita perlu mengubah paradigma pendidikan, dari yang berorientasi pada hasil menjadi berorientasi pada proses.

Para pembuat kebijakan mungkin punya niat baik. Mereka ingin menciptakan pendidikan yang lebih humanis dan berkeadilan. Namun, niat baik saja tidak cukup. Kita perlu berpikir kritis dan mempertimbangkan segala konsekuensi sebelum mengambil keputusan. Jangan sampai, kebijakan yang seharusnya membawa kebaikan, justru menjadi bumerang bagi dunia pendidikan kita.

Kita sebagai penikmat kopi hanya bisa geleng-geleng kepala. Kenapa kebijakan yang terkesan instan selalu menjadi pilihan? Kenapa tidak duduk bersama, berdiskusi, dan mencari solusi yang lebih komprehensif? Sayang sekali. Terlalu sayang. Dunia pendidikan kita kehilangan arah, lagi. Sebuah logika sesat yang dipaksakan menjadi kebijakan, tanpa mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh.

Di bulan Desember ini, ketika rapor dibagikan tanpa ranking, mungkin ada siswa yang merasa lega karena terhindar dari tekanan. Namun, ada juga siswa yang merasa kehilangan arah karena tidak tahu di mana posisinya. Sebuah ironi yang menyakitkan, di saat siswa berhak mengetahui sejauh mana mereka telah melangkah, justru hak itu dirampas.

Untung saja, masih banyak guru yang berdedikasi dan mencintai profesinya.

Benar bro. Mereka adalah harapan terakhir bagi dunia pendidikan kita.

8 posts

About author
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum
Articles
Related posts
Berita

Tiga Tahun, Tiga Anugerah Bergengsi: UNUJA Berjaya di Panggung Riset, Abdims, dan Publikasi Nasional

2 Mins read
Jakarta (19/12/2025)— Universitas Nurul Jadid (UNUJA) kembali menorehkan prestasi membanggakan di tingkat nasional. Selama tiga tahun berturut-turut, kampus berbasis pesantren yang berlokasi…
Berita

IMM Bekasi Raya Angkat Bicara: Apresiasi Kepada KPK Terkait OTT Bupati Bekasi

1 Mins read
Salah satu kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Bekasi Raya Muhammad Ja’far Shodiq angkat bicara terkait penangkapan OTT KPK Bupati Bekasi, ini adalah…
Berita

Keren ! Tim Padus Kemenag Sumedang Raih Juara 2 Lomba Padus HAB ke-80 Kemenag RI

1 Mins read
Sumedang — Tenaga Pendidik dan Kependidikan Madrasah yang tergabung dalam tim paduan suara (padus) Kemenag Sumedang ikut serta dalam lomba padus yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Berita

Tiga Tahun, Tiga Anugerah Bergengsi: UNUJA Berjaya di Panggung Riset, Abdims, dan Publikasi Nasional

Verified by MonsterInsights