Keislaman

Taqiyyah dalam Kacamata Sunni Menelusuri Penafsiran Al Qurthubi dan Al Tsa‘labi

4 Mins read

Dalam sejarah Islam, nama ‘Ammar bin Yasir menjadi ikon keberanian. Ia pernah dipaksa oleh kaum musyrik untuk mengingkari keimanannya kepada Nabi Muhammad. Tubuhnya disiksa dan nyawanya di ujung tanduk, ‘Ammar akhirnya mengucapkan kalimat kufur.

Namun setelah bebas, ia mendatangi Nabi, takut bahwa dirinya telah keluar dari Islam. Nabi menenangkan: “Jika mereka mengulanginya lagi, maka ulangilah apa yang mereka minta.” Nabi mengulanginya hingga tiga kali.

Dari peristiwa ini melahirkan konsep yang kini dikenal sebagai taqiyyah sebuah keringanan ketika seorang muslim dipaksa menyembunyikan atau mengingkari imannya demi keselamatan nyawa.

Melalui dua karya tafsir monumental Al-Jami‘ li Aḥkam al-Qur’an karya al-Qurṭhubi dan Al-Kasyf wa al-Bayan karya al-Tsa‘labi kita dapat melihat bagaimana ulama Sunni memahami, menjelaskan, dan menempatkan taqiyyah dalam bingkai syariat.

Taqiyyah dalam Pandangan Sunni

Taqiyyah secara istilah menyembunyikan dan berhati-hati dalam masalah agama disebabkan adanya larangan atas kebebasan beragama, beribadah, oleh penguasa yang zalim.

Dalam pandangan sunni, taqiyyah dipahami sebagai rukhsah yang dibenarkan oleh syari’at dalam kondisi terpaksa dan darurat untuk melindungi jiwa dan agama.

Al-Maraghi dan sebagian ulama bersepakat akan kebolehan untuk ber-taqiyyah ketika dipaksa, namun dengan syarat tidak diyakini dan hatinya tetap berimanan.

Begitu juga dalam tafsir al-Qurṭhubi melarang orang mukmin untuk berbuat baik kepada orang kafir yang dapat menjadikan mereka sebagai pemimpin.

Menurutnya taqiyyah hanya dibolehkan sebelum kejayaan Islam, karena pada saat itu Islam belum mempunyai kekuatan yang sempurna berbeda dengan zaman sekarang, yang mana Allah telah memberikan kekuatan yang luar biasa kepada kaum muslimin hingga mereka tidak perlu lagi “berbohong” untuk menjaga diri karena khawatir akan dibunuh.

Kitab al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an Karya al-Qurṭhubi

Al-Qurṭhubī merupakan ulama dari Andalusia yang terkenal sebagai ahli tafsir yang mempunyai karya tafsir berjudul al-Jami‘ li Aḥkam al-Qur’ān. Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad Abu Bakar bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurṭubi, lahir di Cordoba, Andalusia pada 1214 M/ abad ke-13. Ia bermazhab Sunni-Maliki, akan tetapi dalam tafsiranya ia tidak fanatik terhadap pendapat yang sesuai dengan mazhabnya.

Baca...  Kontestasi Teologi dalam Penafsiran Sifat Tuhan: Studi atas Sekte-sekte Islam

Kitab tafsir al-Jami‘ li Aḥkam al-Qur’ān pertama kali di cetak di Kairo pada tahun 1933-1950 M oleh Dar Al-Kutub Al-Mishriyah sebanyak 20 jilid. Kemudian pada tahun 2006 Muassisah Ar-Risalah Beirut menerbitkannya lagi sebanyak 24 jilid lengkap beserta tahqiq dari ‘Abdullah bin Muhsin At-Turki.

Kitab tafsir ini menggunakan metode tahlili, yang dibuktikan dengan penjelasan al-Qurthubi dalam menguraikan tafsirnya dari berbagai aspek yang dimulai dari kajian kebahasaan, penyebutan asbab an-nuzul, penjelasan masalah ushuliyyah mengenai berbagai perbedaan ideologi, balaghah, lalu menyebutkan syair Arab sebagai penguat argumentasi, menyebutkan qira’at, serta mengutip hadits-hadits Nabi dan urutannya sesuai tartib mushaf al-Qur’an.

Kitab al-Kasyf wa al-bayan Karya al-Tsa‘labī

Berbeda dengan al-Qurṭhubi, al-Tsa‘labi adalah mufassir klasik yang lebih tua dan terkenal dengan gaya penafsiran yang berbasis riwayat. Nama lengkapnya Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ibrahim al-Naisaburi al-Shafi’i Abu Ishaq al-Tsa’labi, beliau hidup pada akhir abad keempat Hijriyah hingga awal abad kelima Hijriyah dan tidak diketahui pasti kapan ia dilahirkan.

Kitab tafsir al-Kasyf wa al-bayan disusun berdasarkan urutan mushaf Utsmani yang menggunakan metode tahlili dan muqarran dengan memadukan sumber penafsiran bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi yang bercorak fiqhi, dan kitab ini tidak mengutip pandangan ahli bid’ah dan menolak pandangan golongan yang menyimpang.

Adapun sistematika penulisan kitabnya dimulai dengan menjelaskan Makkiyah/Madaniyyah, menjelaskan jumlah huruf, kalimat, dan ayat, menyertakan riwayat keutamaan surah beserta perawinya, kemudian dalam menafsirkan ayat ia mengutip pandangan mufassir lain, dan menutup ulasan dengan pentarjihan mayoritas ulama yang dianggap unggul.

Penafsiran Ayat Taqiyyah Menurut al-Qurṭhubī

Dalam kitab tafsir al-Qurthubi dan tafsir al-Tsa’labi, keduanya memiliki kesamaan dalam konsep taqiyyah, akan tetapi penjelasan al-Qurthubi lebih terperinci. Dalam kitab tafsirnya salah satu penafsiran ayat tentang taqiyyah terdapat pada QS. Ali Imran:28 yang berbunyi:

Baca...  Makna Ahlul Bayt dalam Tafsir Syiah dan Sunni

لَّا يَتَّخِذِ ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلْكَٰفِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ ٱللَّهِ فِى شَىْءٍ إِلَّآ أَن تَتَّقُوا۟ مِنْهُمْ تُقَىٰةً وَيُحَذِّرُكُمُ ٱللَّهُ نَفْسَهُۥ وَإِلَى ٱللَّهِ ٱلْمَصِيرُ

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).”

Dalam ayat ini, al-Qurthubi menegaskan bahwa taqiyyah adalah keringanan bagi seorang mukmin yang mendapatkan ancaman. Ia menjelaskan bahwa hukum ini berlaku ketika seseorang berada dalam situasi yang benar-benar mengancam nyawa, dengan syarat ber-taqiyyah hanya dengan lisan dan hatinya tidak meyakini apa yang diucapkan, maka tidak ada dosa dan hukuman baginya.

Apabila seorang mukmin dipaksa untuk membunuh orang, maka ia tidak boleh melakukannya sekalipun terancam dibunuh, lebih baik dia mengorbankan dirinya daripada menebus dirinya dengan orang lain.

Penafsiran Ayat Taqiyyah Menurut al-Tsa‘labī

Sementara dalam kitab al-Kasyf wa al-bayan memberikan penafsiran yang lebih historis dan naratif. Dalam membahas ayat ini, ia mengutip sejumlah riwayat yang menceritakan berbagai sahabat yang menjalin hubungan dengan orang Yahudi dan sahabat yang dipaksa menyembunyikan iman pada masa awal dakwah. Kemudian ia menjelaskan makna dari QS. Ali Imran:28 sebagai berikut:

فَقَالَ الْمُفَسَّرُوْنَ: نَهَى اللهُ الْمُؤْمِنِيْنَ عَنْ مُلَاطَفَةِ الْكُفَّارِ, وَمُوَالَاتِهِمْ, ومداهنتهم, ومباطنتهم. اِلَّا أَنْ يَكُوْنَ الْكُفَّارُظَاهِرِيْنَ غَالِبِيْنَ, أَوْ يَكُوْنَ الْمُؤْمِن في قوم كفار, لَيْسَ فِيْهِمْ غيره فيخافهم فيخالطهم, ويدارهم باللسان, وقلبه مطمئن بِالْاِيْمَانِ, دَفْعًا عَنْ َنفْسِهِ, مِنْ غَيْرِ أَنْ يستحل دما حَرَامًا, أَوْ مَالَا حَرَامًا, أَوْ يَظْهَرُالْكَافِرِيْنَ عَلَى عَوْرَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ, فَلْتَقِيْهِ لَا تَكُوْنَ اِلَّا مَعَ خَوْفِ القَتْلِ, وَسَلاَمَةِ النِيَّةِ, كَفِعْلِ عَمَّار بن يَاسِر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ:

Baca...  Kiyai Syukron Makmun, Ulama Singa Podium Yang Melegenda

“Para mufasir berkata: Allah melarang kaum mukmin untuk bersikap lembut kepada orang-orang kafir, menjalin loyalitas, bersikap pura-pura ramah yang berujung pada kedekatan batin, kecuali jika orang-orang kafir berada dalam posisi dominan dan kuat, atau jika seorang mukmin hidup sendirian di tengah kaum kafir sehingga ia terpaksa bergaul dan berbicara kepada mereka demi menjaga keselamatan dirinya, sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan. Taqiyyah tidak dibolehkan kecuali jika terdapat rasa takut terbunuh dan dengan syarat niatnya tetap lurus, sebagaimana yang terjadi pada ‘Ammār bin Yāsir.”

Dari kedua contoh penafsiran QS. Ali Imran:28 tentang taqiyyah, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kitab al-Kasyf wa al-bayan diperbolehkan ber-taqiyyah jika takut akan terbunuh dengan syarat hatinya masih dalam keimanan. Begitu juga dengan kitab al-Jami‘ li Aḥkam al-Qur’an yang hampir sama dengan al-Tsa’labi diperbolehkan ber-taqiyyah akan tetapi hanya dalam lisan ketika waktu terdesak dan hatinya tidak meyakini apa yang diucapkan.

Related posts
KeislamanSejarah

Mengenal Mur'jiah Dalam Sejarah Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Murji’ah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti tetapi Imam Syahrastani menyebutkan…
Keislaman

Adat Atau 'Urf Dalam Fiqih Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Adat (‘adah) secara bahasa berarti sesuatu yang dikerjakan atau diucapkan berulang-ulang, sehingga dianggap baik dan diterima oleh jiwa dan akal sehat. Istilah…
Keislaman

Dua Ayat Satu Ruh, Membaca Al-Qur’an Bersama Al Razi

3 Mins read
Ada kata-kata dalam Al-Qur’an yang selalu terasa lebih dalam dari bahasa. Ruh adalah salah satunya. Ia sering disebut, tetapi jarang benar-benar dipahami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Taqiyyah di Antara Sunni–Syiah: Membuka Tafsir Al Razi dan Al Kasyani

Verified by MonsterInsights