(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam) |
KULIAHALISLAM.COM – Al-Qur’an banyak berbicara tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tata cara berbicara yang mengandung kebenaran dan keadilan. Makna ini secara sederhana mengacu pada sejumlah istilah yang dibahas dalam Al-Qur’an. Menurut Al-Qur’an kata qawlan sadida, qawlan ma’rufa dan al-haq, dapat diartikan menjadi suatu pengertian yang berkaitan dengan pemanfaatan fungsi lidah sebagai alat komunikasi. Bahkan Al-Qur’an meyakini bahwa setiap istilah hendaknya tidak hanya berfungsi menyerap sejumlah informasi dan membentuk ilmu pengetahuan, namun juga berfungsi membentuk keyakinan berupa perbuatan itu sendiri, dalam arti luas seperti mengandung nilai keadilan. dan kebenaran.
Kehidupan masyarakat modern yang sibuk dengan berbagai aktivitas membuat masyarakat haus akan berbagai jenis hiburan. Mulai dari media sosial, tempat rekreasi hingga acara televisi. Berbagai acara disusun sekreatif mungkin untuk menarik penonton dan mendapatkan rating tinggi. Termasuk salah satu acara informasi seputar dunia hiburan atau dikenal dengan infotainment. Dalam acara tersebut, kehidupan para pelaku dunia hiburan kerap diberitakan, mulai dari kehidupan pribadi, keluarga hingga aib rumah tangga. Tak sedikit pemberitaan yang terpengaruh dengan adu domba antar figur publik. Semakin lama peristiwa ini terpengaruh seperti “fitnah” dalam versi modern tanpa disadari oleh masyarakat yang menikmatinya.
Media sosial merupakan media elektronik, yang digunakan untuk berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi dalam bentuk blog, jejaring sosial, forum, dunia virtual, dan bentuk lain. Di media sosial orang-orang bebas berinteraksi dan berinteraksi. Bagi mereka yang peduli dengan batasan syariat maka mereka akan patuh dengan aturan syariat. Bagi yang tidak, maka aturan syariat akan diterjang. Akhir akhir ini media sosial semakin tidak terkontrol bahkan pada tahapan bias menjerumuskan seseorang pada perangkap kuat setan. Betapa tidak, media sosial (medsos) yang seharusnya dijadikan wahana untuk mempererat tali silaturahmi, berbagi pengalaman dan berita yang mencerahkan serta menyejukkan, justru digunakan secara masiv menyebar berita bohong untuk melancarkan serangan kepada pihak lain.
Dari sudut pandang hukum agama, setiap muslim yang berinteraksi melalui media sosial diharamkan atau dilarang memproduksi, menyebarkan dan membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat, hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi kepada orang lain dan khalayak umum. Sedangkan dari sudut pandang etika Islam melihat bahwa media sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk menjalin silaturrahmi, menyebarkan informasi, dakwah, pendidikan, rekreasi, dan
Salah satu penyakit masyarakat yang dianggap sepele tapi sangat berbahaya dan dapat mengakibatkan ketegangan dalam suatu masyarakat, adalah kecenderungan menyebarkan isu atau dalam istilah masyarakat adalah gosip, yaitu obrolan tentang orang lain atau cerita negatif tentang seseorang dan dalam bahasa agama (Islam) disebut gibah.
Dinamika Etika Manusia
Zaman sekarang ini, membicarakan keburukan atau keburukan sesama manusia sudah menjadi panorama yang tidak asing lagi. Ghibah dimanapun dan kapanpun merupakan suatu perilaku tercela yang tidak boleh kita jadikan budaya sebagai budaya di tengah masyarakat atau keluarga. Dalam hadits yang tertera pada HR Muslim No 2589 telah dijelaskan dan dimuat larangan gibah. pentingnya menjaga lidah dari bahaya membicarakan orang lain, baik yang dikenalnya maupun yang tidak dikenalnya. Pentingnya menjaga lidah dari bahaya membicarakan orang lain baik dengan sepengetahuannya maupun tanpa sepengetahuannya. Akhir-akhir ini banyak permasalahan dalam penggunaan internet terutama fitnah, pencemaran nama baik dan cyberbullying.
Dalam hukum positif, fitnah termasuk dalam dasar hukum UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 Pasal 27 ayat 3. Dasar hukum tindak pidana fitnah atau bisa dikatakan dengan ujaran kebencian adalah KUHP pada pasal 156 KUHP.
Di zaman modern seperti sekarang ini, masyarakat semakin mudah mengetahui apa saja yang diinginkannya melalui media sosial, baik itu pernyataan yang benar, kemudian dapat menimbulkan fitnah atau pernyataan yang salah atau tidak sesuai dengan fakta yang ada, maka dapat menimbulkan fitnah. Setiap manusia mempunyai organ tubuh masing-masing, salah satunya adalah lidah yang berfungsi menjelaskan sesuatu secara verbal. Lidah merupakan nikmat dari Allah SWT agar kita dapat menjelaskan sesuatu yang terkandung dalam pikiran dan hati.
Di era globalisasi seperti sekarang ini, banyak sekali masyarakat yang tidak bisa menutup mulut, apalagi jika berbicara di depan media sosial yang mana beritanya mudah tersebar luas. Ghibah atau yang biasa kita sebut dengan gosip atau rumpi merupakan suatu perbuatan yang dilarang keras dalam ajaran Islam, adapun larangan ghibah terdapat dalam Al-Qur’an Surat al-Hujurat ayat 12, dan juga dalam sebuah hadits Rasulullah SAW melarang keras fitnah. Agar terhindar dari terjadinya gosip atau rumpi, maka kita harus mempelajari tentang larangan fitnah, bahaya fitnah dan dampak negatif fitnah.
Seiring dengan perkembangan jaman yang serba modern ini, banyak sekali sindiran, makian, makian, dan makian yang beredar dimana-mana terutama di media sosial. Padahal akibat perbuatannya akan terjadi konflik panjang antara pelaku dan korban. Bahkan ghibah yang jelas-jelas dilarang agama, bahkan sudah menjadi tradisi yang ditampilkan di media sosial. Bangsa kita sudah tidak asing lagi dengan gosip yang beredar di media sosial. Mulai memfitnah tokoh politik, tokoh ekonomi, bahkan tokoh agama.
Pesatnya perkembangan teknologi saat ini membawa masyarakat pada era globalisasi informasi yang berarti pada era tersebut terjadi hilangnya ruang dan waktu sebagai akibat dari berkembangnya teknologi komunikasi. Masyarakat mendapat fasilitas untuk mengakses informasi seluas-luasnya tanpa batas. Masyarakat dapat dengan mudah memperoleh ilmu pengetahuan dimana saja dan kapan saja tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Pemanfaatan perangkat teknologi sebagai media penyampaian informasi kepada masyarakat sepertinya sudah tidak bisa dibendung lagi.
Etika Dalam Media Sosial
Etika penggunaan media sosial merupakan tindakan seseorang dalam media sosial yang harus mempertimbangkan nilai baik dan buruk. Seseorang yang beretika dalam menggunakan media sosial mencerminkan nilai-nilai baik dalam masyarakat. Namun saat ini masih banyak masyarakat yang mengabaikan akhlak atau etika yang baik dalam kesehariannya, seperti dalam penggunaan media sosial, ada pula yang menggunakan media sosial hanya untuk menyebarkan berita bohong, dan media sosial dijadikan sebagai platform. untuk fitnah, namimah (mengadu domba) dan sejenisnya. Al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 6, 11-13 telah mengajarkan bagaimana umat Islam harus menjaga etika dalam bersosialisasi, dan dari sini diharapkan dapat mengembangkan pemahaman tentang tata cara bermedia sosial secara akurat dan benar.
Bahaya Mulut Berbicara Ghibah
Mulut merupakan bagian tubuh manusia yang cukup kecil dibandingkan bagian tubuh lainnya. Namun dapat menyebabkan pemiliknya ditetapkan sebagai penghuni surga atau bahkan menyebabkan pemiliknya dilempar ke dalam api neraka. Seseorang tidak boleh berbicara kecuali perkataannya baik, sehingga terlihat manfaatnya. Jika dia meragukan munculnya maslahat, maka dia sebaiknya tidak berbicara. Karena diam bisa menjadi langkah awal yang mudah untuk menjauhkan kita dari hal-hal yang mungkin merugikan diri sendiri. Orang yang menjaga lidahnya akan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama. Selain itu orang lain pun akan terhindar dari kejahatan lisannya.
Berbicara tentang seseorang yang tidak dikenalnya, Berprasangka buruk terhadap perbuatan atau perbuatan seseorang yang tidak pasti, Mencari dan membicarakan kesalahan orang lain, Fitnah adalah sama saja dengan merugikan nyawa seseorang, Ghibah sama saja dengan memfitnah orang lain.
Ghibah terkadang tidak disadari karena hanya bisa dipahami jika bercermin dan menggunakan sudut pandang orang lain (orang ketiga) dalam menilai diri sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman yang mendalam mengenai makna kesombongan dengan upaya pendidikan untuk menghindarinya.
Semasa hidup di dunia, tidak dipungkiri manusia akan melakukan perbuatan buruk, lupa akan perintah-Nya dan malah mengerjakan apa-apa yang dilarang-Nya. Salah satu jalan kesesatan yang sering manusia perbuat yakni perilaku ghibah. Salah satu yang menjadi sebab banyaknya orang yang terjerumus kedalam kemaksiatan tersebut ialah, kurangnya kepedulian mereka terhadap perbuatan yang diharamkan ini, meskipun kita sering kali mendengar berbagai pembahasan dari ayat-ayat dan riwayat-riwayat hadits yang telah mengingatkan orang-orang untuk menjauhi perbuatan tersebut.
Adapun etika berbicara dalam perspektif Islam yaitu 1) Jujur dalam berkata, 2) Melihat wajah atau mata lawan bicara, 3) Berbicara yang baik atau diam, 4) Tidak menggunjing (Ghibah), 5) Tidak memotong pembicaraan, 6) Menunjukan sikap atusias saat berbicara, 7) Berusaha menghindari perdebatan, 8) Menghindari perkataan sarkasme (berkata kasar) dan Perkataan kotor.
Makna Ghibah
Ghibah merupakan perilaku yang selalu mengiringi perbuatan manusia dengan membicarakan keburukan orang lain yang didasari oleh rasa tidak suka atau benci. Sehubungan dengan dampak negatif yang ditimbulkan dalam kehidupan, maka Islam mengharamkan perbuatan tersebut melalui Al-Qur’an, termasuk berlaku bagi remaja dalam pembentukan kepribadian.
Hal ini menjadi penting karena saat ini membicarakan keburukan sesama manusia sudah menjadi pemandangan biasa. Ghibah dimanapun dan kapanpun merupakan suatu perilaku tercela yang tidak boleh kita jadikan budaya sebagai budaya di tengah masyarakat atau keluarga. Berbagai akibat dari bahaya gosip, baik dari lingkungan kita sendiri (lingkungan sosial), atau bahkan dari dalam diri kita secara emosional.
Ghibah berbicara tentang aib orang lain dan orang tersebut tidak senang. Larangan melakukan gi} bah secara tegas disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis. Dampak yang ditimbulkan dari konflik dapat dirasakan secara langsung antara lain perselisihan pendapat, permusuhan, dendam antar masyarakat dan lain sebagainya.
Dalam pandangan Islam fitnah harus dihindari, demi tercapainya kehidupan bermasyarakat yang penuh kedamaian dan ketentraman. Karena tidak ada rasa iri, dengki, fitnah, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk mempertegas banyaknya perundungan dan ujaran kepala yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Sehingga masyarakat dapat memilah dan menyaring informasi yang diperoleh terlebih dahulu sebelum disebarluaskan.
Bentuk-bentuk Ghibah
Diantara bentuk dari ghibah yakni menggunjingkan seseorang baik secara lisan, tulisan maupun dengan cara memberi isyarat seperti kepala, mata dan kedua alisnya, adapun ghibah yang diperbolehkan karena adanya syarat-syarat tertentu seperti meminta fatwa atau nasihat kepada ulama atau orang yang berkompeten dalam bidang agama tentang suatu masalah atau situasi. Adapula dampak dari perbuatan ghibah yakni dapat merusak agama, mendapatkan dosa yang besar, lalu berdampak baik bagi diri sendiri seperti merusak hati nurani, berdampak bagi orang yang dijadikan objek pembicaraan seperti dapat menyebabkan penderitaan emosional, dan dampak bagi lingkungan sekitar seperti memicu konflik, dan perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat.
Setiap manusia dituntut untuk selalu berbuat baik, berbaik sangka, tidak menyakiti orang, ataupun menggunjing orang lain. Tapi pada kenyataannya Ghibah saat ini seperti sudah menjadi hal yang lumrah/biasa pada masyarakat sekarang, tidak jarang kita dapat menjumpai 2 atau pun sekumpulan orang yang sedang gosip/ghibah. Contoh kecilnya adalah ibu-ibu yang sedang membeli sayar dikomplek pasti ada saja yang dighibahkan dan lebih parahnya di dunia televisi sendiri ada acara-acara yang sengaja hanya untuk gosip para selebriti dan memiliki dampak terhadap kehidupan sangat besar diantaranya adalah perselisihan.
Tingkah laku tercela adalah suatu sikap atau tindakan yang tidak baik dan sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan, antara lain yaitu: buruk sangka, ghibah, dan larangan berbuat boros. Dalam Kitab Ihya (al-muhlikat) Imam Al-Ghazali menjelaskan tentang makna akhlak dan hakikatnya. Akhlak yang tercela seperti itu adalah racun yang dapat membunuh, noda yang nyata, dan dapat menjauhkan manusia dari Allah. Meninggalkan amoralitas yang dilarang dan melakukan ketaatan yang diperintahkan merupakan bentuk penerapan moral, dan al-Ghazali menegaskan bahwa meninggalkan amoralitas lebih berat dan lebih sulit daripada melakukan ketaatan.
Menurut imam al Ghazali berakhlak mulia dan terpuji artinya menghilangkan semua adat kebiasaan tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik. sedangkan akhlak tercela dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah pada kebaikan.
Ghibah secara subtansi merupakan pengungkapan aib atau cacat seseorang yang menyebabkan orang tersebut sakit hati. Untuk itu, dalam konteks ke-Indonesiaan yang multi etnik, bahasa, agama, dan adat istiadat, seyogyanya setiap orang mampu menahan diri dari prilaku ghibah yang dapat menyebabkan konflik SARA. Islam mengutuk pelaku ghibah layaknya memakan daging saudaranya yang sudah mati dan dosanya melebihi pelaku riba.
Dampak Buruk Ghibah Dalam Islam
Saat ini masih banyak ditemukan antar tetangga mempergunjingkan tetangganya bahkan anggota keluarganya sendiri. Bahkan masih ada orang yang membeda-bedakan dan kurangnya toleransi antar sesama di lingkungan masyarakat. Perilaku tersebut dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain bahkan dapat memutuskan tali silaturrahim di antara sesama keluarga dan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam Al-qur’an surat Al-Hujurat ayat 11-13 dalam kajian tafsir Al-Azhar karya Hamka yaitu pada ayat 11 surat Al-Hujurat ini terdapat beberapa nilai pendidikan karakter yaitu larangan memperolok-olok, mengejek, menghina, bahkan merendahan diri orang lain, dan selain itu dalam ayat ini juga terdapat perintah untuk bertobat. Pada ayat 12 surat Al-Hujurat ini nilai pendidikan karakter yang terdapat di dalamnya masih bersifat larangan yaitu larangan berprasangka, mencaricari kesalahan dan mempergunjingkan (ghibah). Kemudian, pada ayat 13 surat Al-Hujurat ini terdapat nilai pendidikan karakter yaitu at-taaruf (saling kenal-mengenal), ukhuwah, dan juga terdapat nilai pendidikan karakter yaitu sikap toleransi.
Islam Melarang Keras Ghibah
Islam merupakan agama yang kaffah, lengkap mengatur segala aspek dan lini kehidupan manusia. Segala bentuk amal dan perbuatan manusia baik yang bersifat Hablumminallah selayaknya sholat, puasa, haji dan dzikir maupun amal yang bersifat Hablumminannas seperti muamalah, pernikahan dan bahkan kebudayaan dan hal-hal lain tidak luput dari pandangan kearifan agama islam. Besarnya pengaruh agama dalam mengatur dan mengayomi segala hak dan kewajiban manusia inilah yang kemudian membuat islam menjadi agama yang paling banyak mempengaruhi nilai-nilai kebudayaan yang berlaku ditengah masyarakat.
Fenomena nyata yang terjadi saat ini bahwa generasi muda kurang memiliki tata krama, etika, sopan santun terhadap orang tua, sesamanya, cara bersosial di masyarakat maupun dengan lingkungannya.
Eratnya kaitan agama islam dan kebudayaan memang tidak terlepas dari ketegasan sekaligus kelembutan agama islam dalam mengajarkan manusia menuju jalan kebenaran. Didalam islam, kebudayaan menjadi salah satu sarana dalam menjalankan misi dakwah yang akan membawa manusia ke jalan yang lurus. Sedangkan dari sisi kebudayaan, agama islam menjadi barometer dan sumber inspirasi kekayaan adat istiadat yang berlaku ditengah masyarakat. Maka wajar tatkala pepatah melayu mengatakan:
Islam melarang keras bergunjing (ghibah) karena berpotensi menimbulkan kerugian. Namun Imam al-Ghazali menjelaskan beberapa jenis gosip yang diperbolehkan. Secara sosial, gosip bahkan bisa dianggap sebagai bagian dari persahabatan. Dalam konstruksi infotainment, gosip telah menjadi komoditas dimana selebriti mempunyai peran penting dalam industri tersebut. Para pemimpin agama belum bersaing dengan selebriti untuk menjadi bagian dari dunia hiburan dan tunduk pada tuntutan pasar yang semakin kompetitif.
Jika dilihat dalam Islam, ada sebagian orang yang dapat melakukan perbuatan tajassus, yaitu orang yang mempunyai kewenangan dalam tugasnya melakukan perbuatan tersebut dengan tujuan murni untuk menjalankan tugasnya tanpa ada maksud untuk merendahkan harga diri orang.
Dengan kata lain apabila ada seseorang dengan tujuan menjatuhkan harga diri seseorang tanpa mempunyai tugas dan wewenang untuk tujuan yang benar, maka orang tersebut telah melakukan perbuatan pencemaran nama baik dengan unsur pencemaran nama baik telah terpenuhi baik secara sah maupun menurut hukum. kepada hukum Islam. Dalam Islam, sepanjang unsur tajassus, tahassus, fitnah, dan fitnah dipenuhi dengan maksud untuk merendahkan harga diri seseorang, baik dari segi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Hujurat ayat 9-13 meliputi: sikap adil, persaudaraan, sikap menghargai orang lain, sikap humanis, larangan menggujing/ghibah, dan taqwa.
Penelitian ini mengungkap adanya beragam bentuk hate speech yang disinyalir dalam al-Qur’an dan hadis di antaranya: Sukhriyyah (meremehkan/mengejek) lamzu (mengolok-olok, mencela), ghibah (pencemaran nama baik, gunjingan buruk), fitnah, qadzaf (tuduhan tak berdasar) dan tanabuz (menghina). Sedangkan penanggulangannya dilakukan dengan klarifikasi atau tabayyun dan menganjurkan umat Islam untuk menyebarkan good speech.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam Al-qur’an surat Al-Hujurat ayat 11-13 dalam kajian tafsir Al-Azhar karya Hamka yaitu pada ayat 11 surat Al-Hujurat ini terdapat beberapa nilai pendidikan karakter yaitu larangan memperolok-olok, mengejek, menghina, bahkan merendahan diri orang lain, dan selain itu dalam ayat ini juga terdapat perintah untuk bertobat. Pada ayat 12 surat Al-Hujurat ini nilai pendidikan karakter yang terdapat di dalamnya masih bersifat larangan yaitu larangan berprasangka, mencaricari kesalahan dan mempergunjingkan (ghibah). Kemudian, pada ayat 13 surat Al-Hujurat ini terdapat nilai pendidikan karakter yaitu at-taaruf (saling kenal-mengenal), ukhuwah, dan juga terdapat nilai pendidikan karakter yaitu sikap toleransi.
Temuan penelitian ini menunjukan bahwa konsep pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Hujurat ayat 11-13 meliputi: perintah kepada manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk saling menghormati dan menghargai, larangan memanggil orang dengan gelar yang mengandung ejekan, larangan untuk berburuk sangka, larangan bergunjing/ghibah, perintah untuk taubat, perintah untuk ta‟ aruf/saling mengenal di antara suku dan bangsa, dan perintah untuk meningkatkan ketakwaan.
Serta implikasi konsep pendidikan akhlak dalam surat Al-hujurat ayat 11-13 yaitu pendidikan akhlak dalam Islam telah berimplikasi pada pentingnya pendidikan akhlak saat ini melalui para pendidik yang mumpuni di bidang pendidikan Islam yang mampu mengajarkan fondasi-fondasi ajaran agama Islam yang kuat kepada peserta didik, sehingga dapat diperoleh makna-makna dalam menanamkan konsep pendidikan akhlak dalam Islam yang dapat diadopsi oleh tenaga pendidik sebagai agent of change yakni berperan sebagai agen perubahan yang mentransfer wawasan pendidikan Islam maupun ilmu pengetahuan secara umum kepada para peserta didik menuju perubahan yang mengarah pada peningkatan pengetahuan dan pembentukan akhlakul karimah dan mulia, yaitu melalui keteladanan, nasihat dan pembiasaan.
Dalam percakapan antara Nabi SAW dengan seorang sahabat, Nabi SAW ditanya, “Ya Rasulullah, apa itu ghibah?” Kemudian Yang Mulia menjawab, “Mengatakan sesuatu yang tidak disukai kakakmu di belakang punggungnya!” Kemudian Baginda ditanya lagi, “Bagaimana jika apa yang disebutkan itu benar?” Baginda menjawab, “Jika yang disebutkan itu benar, maka itu ghibah, tetapi jika tidak benar, maka Anda telah melakukan kebohongan besar.” (Hadits riwayat Muslim, Abu Daud dan At-Tarmizi). Hadits di sini dengan jelas menunjukkan kepada kita bahwa berbohong atau memfitnah (mengatakan hal-hal buruk tentang orang lain meskipun benar) adalah sesuatu yang dikutuk dalam Islam. Sedangkan pencemaran nama baik yang berasal dari bahasa Arab yang berarti kekacauan, bencana, coba-coba, sangat dilarang dalam Islam karena dapat berdampak buruk bagi agama dan masyarakat.