Sudah mafhum bahwa logis dan rasional adalah kata kunci untuk memahami jalan pikiran Nabi Musa. Selama puluhan tahun, Nabi Musa hidup bersama bangsanya, kaum Israel. Mereka berpegang teguh pada hukum yang ketat (Torah). Salah satu karakteristik khas dari teori dan implementasi hukum tersebut adalah sifatnya yang logis dan inventif.
Pandangan dunia Musa, termasuk aturan, hukum, dan sanksi, harus bisa dijelaskan secara rasional. Segala sesuatunya harus dapat diterima oleh nalar yang sehat.
Kontradiksi Nalar Musa dan Mistisisme Khidir
Sebaliknya, tradisi mistik atau sufisme yang dipraktikkan oleh Khidir sangat berbeda. Khidir menerima wahyu, revelasi, atau ilham langsung dari Tuhan. Ini adalah fenomena yang tidak bisa diverifikasi maupun diobservasi. Bagi ukuran orang biasa, bahkan bagi para teolog dan filosof, fenomena ini sering kali tidak logis.
Fenomena mistik Khidir kerap terbatas pada kasus-kasus spesifik. Hal ini tidak bisa diberlakukan secara umum dalam batasan waktu, ruang, dan pelaku yang lazim. Dengan kata lain, fenomena Khidir adalah “tradisi kecil”. Ini adalah tradisi orang-orang khusus dalam lingkaran terbatas, meskipun hasil visi elit Sufi ini bisa berdampak besar bagi kemanusiaan.
Iman yang Mencari Rasionalitas
Musa juga menerima wahyu dan ia jelas orang beriman. Namun, ia ingin menunjukkan bahwa pikiran kritis adalah hal yang manusiawi. Naluri bertanya dan rasa ingin tahu (curiosity) adalah insting dasar manusia.
Di Abad Pertengahan, model berpikir Musa ini sering disebut sebagai “fides quaerens intellectum” atau iman yang mencari rasionalitas. Meskipun tidak semua doktrin teologis bisa dijelaskan, semangat untuk mencari penjelasan logis dari iman harus terus ada. Arkoun menyebut iman kritis ini sebagai “iman progresif”. Puncak dari pemikiran ini ada pada sosok Ibn Rusyd.
Ibn Rusyd: Pionir Akal dalam Islam
Kita tahu bahwa Ibn Rusyd adalah salah satu pionir rasionalitas dalam Islam. Ia meninggalkan warisan penting: dorongan bagi kaum Muslim untuk mengembangkan kemanusiaannya dengan cara “bertanya dan mengkritik”, persis seperti Musa.
Bagi Ibn Rusyd, iman dan wahyu sama sekali tidak bertentangan dengan penalaran rasional. Berpikir logis bukan hal di luar syariat, melainkan perintah syariat itu sendiri. Ibn Rusyd sering merujuk pada ayat-ayat yang mewajibkan manusia untuk menalar, berpikir, dan mengambil pelajaran (i’tibar). Baik itu dari fenomena hukum alam maupun struktur makhluk yang rumit.
Oleh karena itu, Ibn Rusyd mendorong penggunaan metode burhany (rasional-demonstratif) untuk mencapai kebenaran definitif. Ia bahkan menggunakan qiyas aqly, yaitu melakukan analogi rasional antara wahyu dan akal secara bersamaan.
Konsep Kebenaran Tunggal
Sekali lagi, bagi Ibn Rusyd, iman dan akal tidak mungkin bertentangan. Al-Quran dan filsafat Aristoteles (yang dianutnya) adalah satu kesatuan, atau “kebenaran tunggal”.
Ibn Rusyd menolak konsep “kebenaran ganda”. Ia tidak setuju jika satu ajaran dianggap benar secara filosofis namun salah menurut agama. Menurutnya, syariat Islam tidak demikian.
Memang sulit bagi banyak orang untuk menjadi “Ibn Rusyd baru”. Namun, kita minimal harus menjaga tradisi berpikir logis, rasional, dan kritis secara proporsional. Sayangnya, tradisi itu kini mulai hilang pada sebagian kaum beriman. Agama sering kali disamakan dengan Tuhan, padahal keduanya berbeda; yang satu ciptaan (agama/tafsir), yang satu lagi Pencipta.
Menjadi Inventors atau Sekadar Followers?
Saat ini, penafsiran keagamaan yang tidak logis sering kali diikuti secara utuh (in toto) tanpa dicerna. Pikiran dan tindakan tokoh agama yang sulit diterima nalar sehat tetap diikuti secara massal tanpa reserve. Alasannya, panutan dianggap “pasti tidak mungkin salah”. Akibatnya, di hadapan nalar, sebagian orang beriman terlihat naif.
Sebaliknya, tradisi kritis dan rasa ingin tahu Nabi Musa justru tetap dijaga oleh bangsa Yahudi dari generasi ke generasi. Inilah yang melahirkan jenius-jenius penemu (inventors) ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka rutin mendapatkan hadiah Nobel karena temuan mereka bermanfaat bagi jutaan manusia.
Dulu saat sekolah di MTs, wali kelas saya pernah berkata, “Kalian tidak boleh banyak bertanya, karena itu perilaku Bani Israel! Dan Bani Israel itu terkutuk!”
Ironisnya, kaum yang kita anggap “terkutuk” itu justru menjadi penentu arah dunia dalam dua abad terakhir. Mereka menjadi pemain dan produsen. Sementara itu, kita tetap menjadi penonton, konsumen, dan sering kali jadi korban. Pilihan kini ada di hadapan kita: mau jadi inventors atau tetap followers (muqallidun)?
Refleksi Kisah Musa dan Khidir
Syahdan, dialog dan perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidir kemudian menjadi dua arus besar dalam tradisi intelektual Islam: Teologi/Filsafat dan Mistisisme.
Singkat kata, ketika Khidir merusak perahu yang memberi tumpangan gratis, Musa merasa heran. Ia penasaran dan memprotes, “Kenapa engkau rusak perahunya? Mau menenggelamkan penumpangnya? Ini kesalahan fatal!”
Kedua, ketika Khidir tiba-tiba membunuh anak kecil tanpa sebab yang jelas, Musa kembali mengajukan pertanyaan logis-kritis. “Kenapa engkau bunuh anak kecil yang masih bersih itu? Ini perbuatan keji yang sulit diterima akal sehat!” Pertanyaan Musa adalah simbol nalar yang terus mencari jawaban. Wallahu a’lam bisshawab.

