Opini

Meditasi atas RKUHP, Minerba, dan KPK dalam Bayang Negara

3 Mins read

Meditasi atas RKUHP, Minerba, dan KPK dalam bayang negara. Ada satu keheningan yang terasa ketika kita membicarakan reformasi hukum di Indonesia-hening yang bukan sekadar sepi, melainkan sejenis letih yang tertumpuk dari generasi ke generasi. Kita hidup dalam negara yang kerap mengganti undang-undang, tetapi jarang mengganti cara pandang.

Setiap revisi terlihat seperti lembar baru, tetapi ketika dibaca lebih seksama, kita menemukan naskah lama yang kembali dipentaskan, dengan aktor berbeda namun dengan alur yang sama.

Mungkin inilah mengapa publik semakin jarang terkejut. Kita sudah hafal pola itu: rapat yang tergesa, pasal yang muncul dari bayangan, lobi yang tak pernah benar-benar terang, dan kesenjangan yang makin lebar antara aspirasi warga dan desain legislasi. Kita berdiri sebagai penonton, berharap sesuatu bergerak, namun mengetahui bahwa panggungnya tidak pernah benar-benar berubah.

Dan di tengah kelelahan itu, kita diingatkan pada satu hal: hukum tidak bekerja dengan cara manusia berharap. Dalam pandangan Niklas Luhmann, hukum adalah sistem yang menutup diri, mengatur dirinya sendiri, dan hanya tunduk pada logika yang ia ciptakan. Ia tidak bergerak karena tekanan moral, tidak selalu sejalan dengan dinamika politik, dan sering membangun dinding untuk melindungi dirinya dari tuntutan sosial.

Barangkali, dari sinilah kita harus memulai. Reformasi hukum bukan sekadar soal pasal dan sanksi, tetapi soal memahami struktur yang membuat hukum tampak kokoh namun mudah retak, bergerak namun tetap berada di tempat yang sama.

Ketika RKUHP akhirnya disahkan, ada yang mengira Indonesia sedang menutup lembar kolonialisme dan membuka narasi hukum baru. Namun setelah rasa bangga itu mereda, muncul kegelisahan yang tak pernah sepenuhnya hilang: mengapa hukum baru itu terasa seperti hidup di masa yang berulang?

Baca...  Kata Kita: Plato dan Surga Jannat Al Mawahib

Diskusi publik memusat pada pasal-pasal karet, ancaman kriminalisasi terhadap kebebasan sipil, dan masuknya negara hingga ke kamar-kamar privat warganya. Namun RKUHP bukan hanya kumpulan pasal; ia adalah refleksi dari cara negara memandang dirinya dan rakyatnya.

Ia memperlihatkan negara yang masih ragu – apakah ia harus menjadi pelindung kebebasan atau penjaga ketertiban. Ia menampakkan negara yang masih belum sepenuhnya percaya pada kedewasaan sosial masyarakat, sehingga memilih pendekatan pidana daripada pendidikan warga.

Reformasi, dalam konteks ini, tampak seperti renovasi rumah tua. Catnya diperbarui, jendela dipoles, namun pondasinya tetap yang dulu: ketakutan pada kebebasan yang terlalu luas.

Ketika kepentingan menemukan jalannya

Jika RKUHP adalah ruang panjang yang dihantui bayangan masa lalu, maka revisi UU Minerba adalah ruang gelap tempat kepentingan masa kini. Ia tidak berbicara tentang moralitas, tetapi tentang tanah, mineral, dan siapa yang berhak menggali bumi.

Revisi itu bergerak cepat, bahkan terlalu cepat. Draf yang berubah-ubah, pembahasan yang seolah hanya formalitas, dan lobi yang hanya terdengar sebagai desas-desus-semua itu menciptakan kesan bahwa kesimpulan telah dicatat jauh sebelum diskusi dimulai.

Di banyak daerah tambang, warga menyaksikan dua dunia yang berjalan bersisian. Dunia pertama adalah dunia pidato dan konferensi pers-janji kemakmuran yang selalu terdengar meyakinkan. Dunia kedua adalah dunia debu yang menempel di paru-paru, sungai yang berkurang nadinya, dan tanah yang kehilangan maknanya sebagai rumah.

UU Minerba mengingatkan kita bahwa hukum bekerja seperti jaringan listrik yang mencari jalur dengan resistensi paling kecil: ia mengalir menuju kepentingan yang paling kuat, bukan kebenaran yang paling adil. Di sini, reformasi bukan hanya gagal menjadi jawaban; ia menjelma menjadi penegasan bahwa negara belum siap menjadi pendengar masyarakat.

Baca...  Stop Praktik Kotor! SPMB Harus Jujur dan Transparan

Ada satu momen terang dalam sejarah politik Indonesia-ketika ribuan warga menyalakan lilin dan menolak pelemahan KPK. Namun sejarah memiliki cara bekerja yang tak selalu setia pada suara publik. Revisi UU KPK disahkan cepat, sunyi, dan penuh tanya.

KPK yang dulu menjadi simbol harapan, kini berjalan berliku: pegawai dialihkan menjadi ASN, kewenangan disusutkan, dan ruang geraknya dipersempit oleh desain kelembagaan yang baru.

Dalam terminologi Luhmann, yang terjadi bukan sekadar pelemahan lembaga, tetapi perubahan relasi antar-sistem. Politik memasuki ruang hukum dengan cara yang tidak bising, tetapi sangat efektif. Hukum, yang seharusnya menjaga jarak dari kekuasaan, justru merapat pada pusat kendali.

Reformasi dalam episode ini menunjukkan wajahnya yang paling jujur: ia bukan soal argumen yang kuat atau demonstrasi yang ramai; ia soal struktur kekuasaan yang tak ingin melepaskan dirinya pada kontrol independen.

Mengapa reformasi selalu gagal?

Ini bukan lagi pertanyaan politis, tetapi pertanyaan yang bersifat filosofis. Dalam kerangka Luhmann, hukum hanya mengenali satu kode: legal atau ilegal. Ia tidak mengenal rasa keadilan warga, tidak memahami luka sosial, tidak mendengar bisik publik. Ia memandang masyarakat sebagai lingkungan yang mengganggu stabilitasnya.

Reformasi gagal karena kita membayangkannya terlalu linear: kita pikir mengganti pasal berarti mengganti dunia. Padahal perubahan sejati hanya terjadi jika cara negara berkomunikasi berubah-cara ia mendengar, menafsirkan, dan merespons warganya.

Kita lupa bahwa reformasi hukum adalah proses kultural, bukan administratif. Ia membutuhkan transparansi, media yang kritis, dan lembaga yang tidak dikendalikan oleh kepentingan. Tanpa semua itu, reformasi hanya akan menyentuh kulitnya, bukan tubuhnya.

Namun bahkan dalam gelap, selalu ada celah tipis tempat cahaya masuk. Harapan itu tampak pada publik yang semakin kritis, jurnalisme yang tidak berhenti menggali, dan warga desa yang berani mempertanyakan izin tambang yang mengubah hidup mereka.

Baca...  Kasus Gus Miftah dan Penjual Es Teh: Pelajaran tentang Adab dan Kepemimpinan dalam Islam

Saya teringat seorang ibu di pedalaman yang menolak ekspansi tambang di tanahnya. Dalam dokumenter itu, ia berkata pelan: “Kami bukan menolak pembangunan. Kami hanya ingin rumah kami tetap rumah.” Kalimat itu sederhana, tetapi di sanalah inti reformasi hukum hidup. Bahwa hukum semestinya melindungi ruang yang kita sebut rumah-ruang aman tempat masyarakat menata hidupnya.

Mungkin kita tidak melihat perubahan besar hari ini. Tetapi seperti sungai yang mengikis batu, perubahan lahir bukan dari kekuatan tiba-tiba, melainkan dari konsistensi yang sabar.

Reformasi hukum yang kita cari mungkin tidak dramatis. Ia mungkin tumbuh perlahan, dari kesadaran warga, dari tekanan moral, dari keberanian bertanya, dari media yang setia menggali.

Karena negara tanpa pertanyaan adalah negara tanpa masa depan. Dan reformasi, betapapun sering gagal, tetap merupakan permintaan manusia yang paling tulus: keinginan untuk hidup dalam keadilan.

19 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Malang dan Alumni PP Darurrahman, Pangarangan, Sumenep, Alumni PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Articles
Related posts
KATA KITAOpini

KATA KITA: Refleksi Hari Guru

1 Mins read
Hari Guru adalah kesempatan untuk berpikir bersama, menilai sistem pendidikan, dan memperkuat posisi guru sebagai pendidik. Menurut perspektif Islam, pendidikan bukan hanya…
Opini

Generasi Yang Lelah Sebelum Bertanding: Mengapa Anak Muda Makin Takut Gagal?

2 Mins read
Generasi yang lelah sebelum bertanding: mengapa anak muda makin takut gagal? Tidak ada yang lebih ironis daripada hidup di era yang serba…
Opini

Sekolah Full Day: Antara Ambisi Pendidikan dan Tubuh Anak yang Kelelahan

2 Mins read
Perdebatan soal full day school dalam beberapa tahun terakhir terasa seperti gema yang tak pernah benar-benar hilang dari ruang publik Indonesia. Setiap…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Tokoh

Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun Terhadap Peradaban Islam Kontemporer

Verified by MonsterInsights