Kuliahalislam. Radaah (rada’ah) artinya adalah penyusuan. Masuknya air susu manusia ke dalam perut seorang anak yang umurnya tidak lebih dari 2 tahun. Para ulama Fiqih memberikan batasan usia 2 tahun karena sampai usia tersebut perkembangan biologi anak sangat ditentukan oleh kadar susu yang diterimanya. Dalam Fiqih Islam, persoalan radaah mempunyai dampak terhadap sah atau tidaknya seseorang lelaki menikah dengan seorang wanita.
Apabila seorang lelaki ketika kecil menyusu kepada seorang perempuan ( bukan ibu atau orang yang haram dikawininya), maka ia diharamkan menikah dengan Ibu tempat ia menyusu tersebut serta seluruh perempuan yang mempunyai nasab dengan ibu susuan itu, baik secara vertikal maupun horizontal. Alasannya adalah Firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 23 ;
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِى فِى حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِى دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا۟ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَٰٓئِلُ أَبْنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنْ أَصْلَٰبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا۟ بَيْنَ ٱلْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Arab-Latin: ḥurrimat ‘alaikum ummahātukum wa banatukum wa akhawātukum wa ‘ammātukum wa khālātukum wa banatul-akhi wa banatul-ukhti wa ummahātukumullātī arḍa’nakum wa akhawātukum minar-raḍā’ati wa ummahātu nisā`ikum wa raba`ibukumullātī fī ḥujụrikum min-nisā`ikumullātī dakhaltum bihinna fa il lam takụnụ dakhaltum bihinna fa lā junāḥa ‘alaikum wa ḥalā`ilu abnā`ikumullażīna min aṣlābikum wa an tajma’ụ bainal-ukhtaini illā mā qad salaf, innallāha kāna gafụrar raḥīmā
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sekalipun ayat di atas hanya menyebutkan perempuan yang diharamkan karena susuan itu adalah ibu susuan dan saudara-saudara perempuan sepersusuan, para ulama Fiqih menyatakan bahwa yang diharamkan itu tidak terbatas pada dua pihak itu saja. Dalam hal ibu susuan dan saudara perempuan seperususuan tersebut berlaku hukumnya sebagaimana halnya Ibu dan saudara serta sepersusuan kandung.
Di lain pihak ibu kandung termasuk haram dikawini seorang pria adalah (1). Ke atas : nenek dan seterusnya, (2). Ke bawah : anak perempuan dan seterusnya, dan (3). Ke samping : saudara perempuan. Pemberlakuan hukum menikahi perempuan-perempuan dari pihak ibu susuan dan perempuan sepersusuan di atas didasarkan pada teori kias (analogi).
Dalam hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam diminta menikahi anak Hamzah. Lalu Rasulullah menjawab : “Sesungguhnya dia tidak halal bagiku, karena makanan dia adalah anak saudara sesusuku, dan apa-apa yang diharamkan karena nasab ( keturunan) diharamkan juga karena susuan” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas).
Sekalipun para ulama Fiqih telah sepakat menyatakan keharaman menikahi ibu susuan dan seluruh wanita yang seketurunan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam menentukan kadar susu yang mengharamkan nikah itu, umur anak yang disusui, urgensi saksi dalam masalah radaah. Di kalangan ahli fiqih terdapat tiga pendapat mengenai kadar susuan yang mengharamkan nikah.
Pendapat pertama dikemukakan oleh Imam Daud az-Zahiri (202-270 H/815-884 M). Menurutnya, kadar susuan yang mengharamkan nikah itu minimal tiga kali hisap. Alasan yang dikemukakannya adalah Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang menyatakan : ” Satu dan dua kali hisap tidak mengharamkan”, (HR. Ahmad, Muslim, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Aisyah ; hadits yang senada juga datang melalui jalur Abdullah bin Zubair dan Ummu Fadl). Menurut Daud az-Zahiri, hukum susuan yang ditentukan secara umum oleh ayat Al-Qur’an di atas dibatasi oleh hadis ini.
Pendapat kedua dikemukakan oleh Mazhab Syafi’i dan Hanbali. Menurut mereka, kadar susuan yang mengharamkan nikah adalah 5 kali susuan atau lebih dan dilakukan secara terpisah-pisah. Alasan mereka didasarkan pada hadis rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari Aisyah yang menyatakan : “Ayat Al-Qur’an pernah turun dalam mengharamkan1 wanita tempat menyusu jika susuan itu 10 kali susuan. Kemudian hukum itu dinaskhan (dibatalkan) menjadi 5 kali susuan. Kemudian setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam wafat, hukum 5 kali susuan itu tetap berlaku”, (HR. Muslim, Abu Daud dan an-Nasa’i). Hadis lain dari Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Susuilah ia ( anak kecil) sebanyak 5 kali susuan, maka dia akan menjadi anak karena susuan”, (HR. Malik dan Ahmad).
Pendapat ketiga dianut oleh mazhab Hanafi dan Maliki. Mereka berpendapat bahwa, susuan yang mengharamkan itu tidak dibatasi kadarnya, sesuai dengan umumnya pengertian surah an-Nisa’ ayat 23 di atas. Menurut mereka yang penting air susu yang dihisap itu sampai ke perut anak sehingga memberikan energi dalam pertumbuhan anak.
Selain di atas, pendapat mereka didasari pula oleh riwayat Uqbah bin Haris yang menyatakan : “Aku pernah menikah dengan Ummu Yahya binti Ihab”. Kemudian datang seorang budak perempuan hitam dan berkata : “Aku pernah menyusui kamu berdua”. Kasus ini saya ceritakan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Kemudian Nabi Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Mau bagaimana lagi ?. Ceraikan dia” (HR. Bukhari dan Muslim”.
Dalam hadis ini Rasulullah tidak mempertanyakan berapa kali perempuan itu menyusui Uqbah dan Ummu Yahya. Kalau memang kadar susuan menjadi ukuran haramnya menikah, tentu Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam akan bertanya lebih lanjut sehingga jelas kadar air susu yang dimaksud. Menurut ulama mazhab Hanafi dan Maliki, hadis-hadis yang mencantumkan kadar susuan tiga atau lima kali tidak dapat dijadikan landasan hukum, bukan saja karena terjadinya perbedaan bilangan susuan dalam masing-masing hadis tetapi karena bilangan itu tidak dijumpai di dalam Al-Qur’an.
Berkenaan dengan usia anak susuan, para ulama sepakat menyatakan bahwa umur anak kecil yang menyusui itu tidak lebih dari 2 tahun. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 233 ; ” Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”. Dalam sebuah riwayat dikatakan : “Tidak ada penyusuan kecuali dalam batas usia 2 tahun.” (HR. Daraqutni dari Ibnu Abbas).
Jika anak sudah besar ( di atas umur 2 tahun), timbul perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqih tentang apakah susuan tersebut mengharamkan dia menikah dengan ibu susuan dan perempuan sepersusuannya. Menurut mayoritas ulama, susuan tersebut tidak mengharamkan nikah. Alasan yang mereka kemukakan adalah surah al-Baqarah ayat 233 di atas yang menyatakan bahwa umur 2 tahun merupakan kesempurnaan suatu susuan dan hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menyatakan bahwa susuan yang mengharamkan itu adalah sesuatu yang dapat menguatkan tulang dan menumbuhkan daging (HR Abu Daud dan Ibnu Mas’ud).
Menurut mayoritas ulama, air susu yang diminum anak yang sudah besar tidak menguatkan tulang dan menumbuhkan daging karena makanan mereka sudah bervariasi. Akan tetapi ulama mazhab az-Zahiri menyatakan bahwa radaah tersebut menyebabkan hukumnya haram menikah antara anak dan ibu susuan dan saudara sepersusuannya. Alasan mereka juga didasarkan pada ayat Al-Qur’an yang sama.
Persoalan lain yang dikemukakan para ulama dalam kaitannya dengan susuan yang mengharamkan ini adalah persoalan saksi dalam radaah itu. Para ulama sepakat menyatakan bahwa saksi itu penting karena sering terjadi wanita dan laki-laki yang sesusuannya tidak saling mengenal.
Namun menjadi perbedaan pendapat apakah saksi itu cukup satu atau harus dua. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan saksi itu boleh satu orang saja dan boleh juga seorang perempuan sebagaimana kasus Uqbah bin Haris dengan Ummu Yahya yang dikemukakan di atas. Akan tetapi ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa kesaksian dalam masalah susuan sama saja dengan kesaksian dalam masalah-masalah lain, yaitu harus dua laki-laki atau satu orang laki-laki dan 2 orang perempuan.
Jika kesaksian itu hanya dikemukakan oleh satu orang saja maka ini berarti ia menyaksikan untuk dirinya sendiri. Alasan yang dikemukakan oleh mazhab Hanafi adalah Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 282 : ” Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari seorang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai”. Pendapat ulama mazhab Hanafi ini juga dianut oleh Mazhab Syafi’i.
Bahkan menurut mereka, jika dalam kesaksian itu tidak dapat dihadirkan seorang lelaki pun maka saksinya harus 4 orang wanita. Apabila setelah menikah pasangan suami dan istri baru mengetahui bahwa mereka adalah sepersusuan, maka menurut ulama mazhab Hanafi perkawinan itu batal dengan sendirinya tanpa harus melalui proses talak.Jika perkawinan itu telah membuahkan anak maka anak itu hanya di bangsa kan pada ibunya dan hak waris hanya diterimanya dari ibunya. Pria yang sebelumnya adalah ayahnya kini berstatus sebagai pamannya.

