Kuliahalislam.Kesultanan Ternate merupakan sebuah Kesultanan yang berdiri pada abad ke-15 dengan pusat di Sampalu; pesisir Tenggara Pulau Ternate ( kini masuk Kabupaten Maluku Utara Provinsi Maluku), mempunyai peranan yang besar dalam penyebaran Islam di kawasan Maluku sampai ke Filipina, sejak dahulu terkenal dengan hasil rempah-rempah sehingga menjadi perhatian bangsa-bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda.
Sebelum menjadi Kesultanan, Ternate merupakan sebuah kerajaan yang berdiri kira-kira pada abad ke-13 dan memeluk semacam agama Syamanisme. Ternate bersama Tidore, Bacan, dan Jailolo adalah 4 kerajaan bersaudara yang berasal dari keturunan yang sama.
Menurut HAMKA, setelah kerajaan-kerajaan itu memeluk Islam timbullah penulisan sejarah bahwa pendiri keempat kerajaan itu adalah putra-putra Ja’far as-Sadiq. Raja-raja pertama tersebut adalah Syahdati (Tidore), Kaicil Buka (Bacan) dan Darajati (Jailolo). Dalam catatan silsilah, para raja Ternate adalah : (1). Mashur Maloma, (2). Zaman, (3). Kumalo, (4). Baguhu, (5). Ngora Maloma, (6). Masterdam, (7). Sida Ari Malamo, (8). Paji Malamo, (9). Syah Alam, (10). Tolu Malamo, (11). Kiyo Mabiji, (12). Ngolo Maja, (13). Mamole, (14). Gapi Malamo, (15). Gapi Baguna I, (16). Kumalo II, (17). Gise, (18). Gapi Gaguna II (Zama), dan (19). Zainal Abidin.
Diduga, raja Ternate yang pertama memeluk Islam adalah Zainal Abidin. Tetapi ada juga dugaan, umpamanya oleh F. Valentijin, bahwa raja pertama yang memeluk Islam itu adalah Gapi Baguna, Ayah Zainal Abidin melalui dakwah Datuk Maulana Husain, seorang saudagar dari Jawa.
Setelah memeluk Islam, Raja Gapi Baguna (1485-1486) dikenal dengan nama Marhum. Ketika Sultan Zainal Abidin (1486-1500) memerintah di Ternate, dia mengambil kesempatan untuk belajar mengenal Islam di Gresik. Di sini dia bertemu dengan kepala daerah Hitu dari Ambon yang beragama Islam yaitu Pate Putih, yang datang untuk tujuan yang sama.
Antara keduanya diadakan persetujuan yang berakibat bahwa para Sultan Ternate kemudian mengklaim sebagian pulau Ambon. Sekembalinya ke Ternate, Sultan Zainal Abidin mengukuhkan Islam dengan memasukkannya dalam struktur politik, kemudian berusaha untuk memperluas dan menanamkan ajaran Islam melalui pendidikan.
Kemungkinan dia membawa serta para guru agama dari Jawa, kemudian dia membuka sekolah dan mewajibkan para pegawai daerah untuk mempelajari syariat Islam di Ternate. Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin, Ternate mengalami kemajuan yang pesat bukan hanya di bidang keagamaan melainkan juga di bidang ekonomi.
Perdagangan yang dijalankan oleh orang-orang Ternate, Jawa dan Melayu menjadi lebih ramai dengan datangnya orang-orang Arab. Kemajuan yang dialami oleh Ternate menimbulkan keiri hatian kerajaan-kerajaan di sekelilingnya. Setelah Sultan Zainal Abidin wafat, Bayansirullah naik menjadi Sultan (1500-1522).
Tidak diketahui apakah Sultan yang baru ini adalah anak sultan sebelumnya atau bukan. Sesuai dengan tradisi Ternate, calon Sultan tidak selamanya harus putra Sultan sebelumnya. Meskipun demikian terdapat persyaratan bahwa calon Sultan harus anak bangsawan yang mempunyai seorang ibu terhormat atau bangsawan pula.
Pada masa Sultan Bayansirullah, yang disebut juga dengan nama Abu Hayat, Armada Spanyol di bawah pimpinan Carvalhinho dan Goncalo Gomes tiba di Maluku pada 8 November 1521 dan di Tidore mereka disambut ramah oleh penguasa. Sementara itu, armada Portugis pun tiba di Ternate dan pada tahun 1522, Antonio de Brito mendirikan benteng Saint John di Pulau itu.
Ketika Sultan Bayansitullah wafat, putranya yang tertua yaitu Duko Lamo, dicalonkan sebagai Sultan tetapi ditolak oleh Bobatu ( dewan kerajaan). Pada tahun 1522-1535, pemerintahan dipegang oleh suatu komisi yang memerintah atas nama sultan. Pada tahun 1529, Dom Jorge de Maneses atau Malaka dengan sekutu-sekutunya ( Ternate dan Bacan) mengalahkan Tidore dan orang-orang Spanyol.
Akan tetapi sesudah itu Portugis ikut campur dalam urusan pemerintahan dan ambisinya untuk menyebarkan agama Kristen menyebabkan kemarahan banyak penduduk. Pada tahun 1533, tindakan kasar Tristoa de Altaida menimbulkan pemberontakan sehingga Sultan Ternate yang sebelumnya menjadi sekutu berbalik memusuhinya dan penduduk dari Irian dan Jawa dimobilisasi untuk mengusir Altaida dan orang-orang Portugis lainnya.
Orang-orang Ternate kemudian membakar benteng Portugis dan sebagian kota Ternate. Serangan Altaida selalu kandas berhadapan dengan gabungan para penguasa Maluku seperti Tidore dan Jailolo. Kekalahan Altaida membuatnya meminta bantuan kepada Malaka.
Pada tahun 1536, Bobatu menyetujui Kaicil Hairun sebagai Sultan Ternate (1536-1570). Sementara itu, Galvao yang juga berkuasa di Maluku tahun 1536-1540, mengakibatkan rakyat sempat tertindas. Akibatnya rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Hairun melakukan pemberontakan terhadap Portugis.
Serangan terhadap benteng-benteng Portugis terus dilancarkan. Rakyat Ternate semakin marah ketika mengetahui bahwa sultannya ditipu dan dengan diam-diam dibunuh Portugis pada tahun 1570. Pimpinan perlawanan diambil alih oleh Sultan Babullah (1570-1583).
Benteng-benteng Portugis berhasil direbut oleh rakyat Ternate dan pada tanggal 28 Desember 1577 mereka berhasil mengusir Portugis yang kemudian pindah ke pulau lain dekat Tahula, tidak jauh dari Tidore. Babullah adalah Sultan Ternate yang paling besar.
Selama pemerintahannya Kesultanan berekspansi sampai ke Mindanao di utara, Bima di Selatan, Irian Barat di Timur dan Makassar di Barat. Wilayahnya mencakup 72 Pulau antara lain Ternate, Moti, Makian, Kayoa, Kepulauan Sula, Buru dan sekitarnya, Veranula (Seram), Boano dan Manipa, Halmahera, Sulawesi.
Semua pulau itu di bentengi dengan jumlah besar tentara dan pasukan tetap berjumlah 130.300 orang. Setelah menaklukkan Banggai, Tebungku, dan Buru, ekspansi Babullah terbentur pada kekuasaan Makassar. Maka dibuatnya suatu perjanjian persahabatan dengan Kerajaan Goa Tallo dan Selayar.
Hubungan kesultanan Ternate dengan kerajaan itu sangat baik, dan Sultan Babullah mencoba untuk membuat rajanya menganut Islam tetapi tidak berhasil. Akan tetapi, kegemilangan yang dicapai Sultan Babullah ternyata tidak dapat dipertahankan oleh para Sultan sesudahnya.
Ketika kekuasaan di Lissabon dipegang oleh Raja Felipe II, Portugis dan Spanyol dipersatukan pada tahun 1582. Raja ini menyuruh Gubernur Jenderal Spanyol di Filipina untuk memberi bantuan kepada orang-orang Portugis di Maluku. Tetapi usaha Spanyol untuk merebut kembali ternyata tidak berhasil karena Belanda mulai muncul di perairan Maluku.
Steven van der Haghen berhasil merebut benteng Portugis di Ambonia tahun 1605 dan Cornelis Bastians berhasil merebut benteng Tidore. Akan tetapi, karena pertahanan Belanda belum kuat, Spanyol kembali mengukuhkan kekuasaannya. Daerah kekuasaan Sultan Ternate jatuh ke tangan Spanyol.
Sultan dan beberapa putranya ditawan ke Manila dan yang memihak Spanyol mendapat pembebasan kembali. Pada tahun 1607, Belanda kembali ke Maluku. Dengan bantuan Ternate yang membenci Spanyol, Belanda kembali menduduki Ternate dan kemudian mendirikan benteng-benteng. Pada suatu perjanjian antara Cornelis Matelief de Jonge yang Sultan Mudaffar pada 26 Juli 1607 ditetapkan bahwa Belanda bertindak sebagai pelindung Ternate terhadap Spanyol.
Kemudian mereka menyerang Spanyol di Tidore dan Belanda berhasil merebut Makian dan Moti sehingga di tempat ini pula mereka mendirikan benteng. Sekitar tahun 1624-1639, sering terjadi pertempuran antara Spanyol dan Belanda di daerah Maluku dan pihak Spanyol mengalami kekalahan. Pada tahun 1639 antara Ternate dan Tidore terjadi suatu persetujuan persahabatan.
Pada awal abad ke-17 Ternate lepas dari cengkraman Spanyol tetapi mulai jatuh ke dalam cengkraman Belanda. Sultan-sultan yang berkuasa lebih sibuk di daerah pusat pemerintahannya. Mereka terbius oleh kesenangan, kemewahan, dan kebesarannya di dalam istana.
Orientasi kepada rakyat diganti dengan orientasi kepada Belanda. Sultan Mudaffar setelah wafat digantikan oleh Sultan Hamzah (1627-1648), yang kemudian digantikan oleh Sultan Mandarsah (1648-1675). Melalui suatu perjanjian dengan Gubernur Jenderal Karel Reinierszoon pada tanggal 31 Januari 1652, Sultan Mandarsah melepaskan Ambon untuk kompeni Belanda.
Dalam pada itu perlawanan rakyat terhadap Belanda meluas dari daerah Ambonia sampai ke Ternate. Sultan Mandarsah yang dianggap rakyat dekat dengan Belanda, diusir dan digantikan oleh saudaranya yang juga tidak bijaksana. Sementara itu, Saidi yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda tertangkap dan dibunuh oleh de Vlanmingh van Oothoorn yang datang ke Maluku sejak tahun 1655.
Sultan Ternate dipaksa membuat suatu perjanjian bahwa dia tidak perlu lagi menempatkan walikotanya di Ambon yang akan diurus oleh kompeni Belanda sendiri. Pada tahun 1683, Sultan Sibori yang dikenal dengan sebutan Sultan Amsterdam mengakui kekuasaan VOC.
Sejak saat itu pengangkatan sultan-sultan Ternate ditentukan oleh Belanda dan para Sultan terikat dengan penandatanganan kontrak serta perjanjian sumpah setia kepada Belanda. Hubungan intim para sultan dengan Belanda di satu pihak dan kerengganan hubungan mereka dengan rakyat menyebabkan mereka kehilangan kepercayaan dari rakyat.
Oleh sebab itu terjadi pemberontakan rakyat antara abad ke-17 dan abad ke-19. Pada tahun 1817, setelah kekuasaan Inggris berakhir, Belanda kembali mengokohkan kekuasaannya di Ternate dengan menempatkan seorang Residen di sana. Keresidenan Ternate yang berada di bawah gubernemen Maluku meliputi wilayah-wilayah kesultanan Ternate Tidore dan Bacan.
Meskipun demikian, Belanda tetap mengakui dan menghormati para sutan atas daerahnya. Pada abad ke-19, wilayah kesultanan Ternate meliputi Pulau Ternate dan sekitarnya, sebagian pulau Halmahera, Kepulauan Sula, serta Kepulauan Banggai dan Tobungku di pantai Timur Sulawesi Tengah.
Ketika berkunjung ke Ternate Gubernur Jenderal Van der Capellen membuat perjanjian dengan sultan Ternate dan Tidore pada tanggal 27 mei 1824, yang menetapkan kekuasaan tertinggi di tangan pemerintah Belanda. Belanda mendapatkan hak untuk melantik Sultan, menyusun wilayah administrasi di daerah Sultan serta menempatkan Amtenar di sana.
Waktu itu sultan yang berkuasa adalah Muhammad Zain (1823-1859), seorang yang cukup radikal dalam memegang paham agama. Dia berpendapat bahwa pemakaman Sultan secara besar-besaran dengan aneka ragam upacara kebesaran merupakan cara yang berlebihan dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam.
Pada tahun 1844 setelah musyawarah dengan Bobatu, sultan memutuskan untuk menghapus beberapa tradisi pemakaman yang bertentangan dengan agama Islam. Apa yang dilakukan oleh Sultan itu dapat dilihat sebagai usaha pemurnian ajaran Islam yang digalakkan pada permulaan abad ke-20.
Muhammad Zain digantikan oleh sultan yang lemah yaitu Muhammad Arsad (1861-1873). Kemudian Kesultanan dipegang oleh komisi pemerintahan yang terdiri dari Jogugu-Mayor Prang, Kapitan Laut Ayanhar, Imam-Sekretaris Abdul Aziz, dan Hukum-Sangaji Makdum. Akhirnya kuma pada awal abad ke-20 kesultanan Ternate dihapus.
Sehubungan dengan peranan kesultanan Ternate dalam penyebaran agama Islam, hal itu baru dilakukan ketika Sultan Zainal Abidin memeluk Islam. Sultan Zainal Abidin dipandang sebagai sultan yang pertama-tama berjasa dalam hal ini dengan dibukanya tempat-tempat untuk mempelajari ajaran Islam pada akhir abad ke-15.
Selanjutnya ekspansi kekuasaan Ikut andil dalam penyiaran Islam ke daerah taklukan. Meskipun demikian, perkembangan Islam berjalan lambat dan mendapat tantangan dari penduduk yang masih terikat dengan kepercayaan lama, sehingga menyebabkan penyembahan patung-patung masih terus berlangsung bercampur dengan ajaran Islam dan menyebabkan alam pikiran rakyat mengambang dalam keraguan.
Kondisi politik dan perdagangan pada abad ke-16 dan ke-17 ikut mempengaruhi konversi keagamaan. Kedatangan bangsa-bangsa barat sejak abad ke-16 selain untuk berdagang juga dimaksudkan untuk menyebarkan agama Kristen. Dengan demikian bangsa-bangsa tersebut ikut memperlambat bahkan menghalangi gerakan dakwah Islam.
Selain itu, kedatangan dan perkembangan agama Islam di Ternate dan daerah-daerah taklukannya berkaitan erat dengan sultan. Penyebaran agama melalui jalur “atas” ini melahirkan kelompok masyarakat yang lebih bercorak formalistis. Pendidikan agama berlangsung secara tradisional anak-anak mengaji pada seorang pegawai masjid. Oleh sebab itu paham keagamaan tampak sempit dan statistik

