Fenomena “S Line” yang sempat ramai di media sosial bukanlah hal baru. Sudah banyak orang yang membahas tentang fenomena ini. Sudah sejak lama juga, sebagian warganet mengedit tubuh seseorang dengan tanda merah di atas kepalanya sebagai bahan bercanda.
Foto yang biasa diedit sedemikian rupa hingga menampilkan kesan atau indikasi seseorang pernah berhubungan intim, baik yang halal maupun yang haram. Foto itu kemudian disebarkan di ruang publik digital. Meski bagi orang yang mengedit mungkin dianggap “sekadar lucu-lucuan”, tindakan ini sesungguhnya memiliki dimensi hukum yang tidak bisa diabaikan.
Dalam perspektif hukum Islam, tindakan tersebut berpotensi masuk dalam kategori tuduhan atau isyarat kepada perbuatan zina (qadzaf), terutama jika hasil editan atau caption yang menyertainya memberi kesan bahwa orang dalam foto tersebut melakukan perbuatan zina.
Qadzaf secara syar‘i berarti menuduh seseorang berzina tanpa bukti yang sah (empat saksi). Namun, ulama juga menjelaskan bahwa bentuk tuduhan tidak selalu berupa ucapan eksplisit, bisa juga melalui isyarat, tulisan, atau gambar yang mengandung makna penghinaan atau pelecehan kehormatan.
Dalam kitab-kitab Syafi’iyyah dan madhhab lainnya, mendefinisikan qadzaf sebagai menuduh seseorang melakukan zina, baik secara langsung maupun dengan isyarat. Bisa dengan tanda, simbol atau cara lain yang umum dipahami sebagai tanda orang itu melakukan zina. Ibn ‘Abdi as-Salam menyebutkan:
وقوله: (مَا يَدُلُّ) يحتمل بالصريح وعليه اقتصر ابن عبد السلام، ويحتمل ما يدل مطلقاص فيشمل التعريض ويكون التشبيه لبيان التعريض إن كان دالاً فكالصريح، وعطف اللواط على الزنى من عطف الخاص على العام لأنه نوع منه
(Ungkapan itu) bisa dimaknai (sebagai) yang jelas (ṣarīḥ), dan atas makna inilah Ibnu ‘Abd al-Salām berpegang. Namun, bisa juga dimaknai sebagai sesuatu yang menunjukkan makna secara umum, sehingga mencakup isyarat (ta‘rīḍ). Maka, perumpamaan (tasybīh) itu berfungsi untuk menjelaskan ta‘rīḍ (ungkapan tidak langsung) tersebut — dan apabila ta‘rīḍ itu menunjukkan makna dengan jelas, maka hukumnya seperti ṣarīḥ (ungkapan langsung). (Ibn ʿAbd al-Salām, ʿIzz al-Dīn ibn ʿAbd al-Salām. Al-Tawḍīḥ fī Sharḥ Mukhtaṣar Ibn al-Ḥājib. al-Maktabah al-Shāmilah, p. 257).
Jadi jelas, bahwa orang (sekalipun niat bercanda) mengedit foto dengan ada indikasi yang sudah diketahui oleh orang banyak, bahwa itu adalah tanda orang pernah melakukan zina dengan orang lain, itu dikategorikan sebagai orang yang menuduh zina. Dan ini bukan main-main, orang yang nuduh zina, itu ada hadnya. Ulama telah menjelaskan dengan jelas bahwa orang yang menuduh zina itu akan dikena had:
لو الزوج بزنا زوجته كان قاذفًا لها فيحد حد القذف، لأن شهادته بزناها غير مقبول عند القاضي للتهمة، وعلى هذا لو شهد عليها دون أربعة حدوا جميعًا لأنهم قذفة، وكذا لو كان شهد أربع نسوة، أو عبيد، أو كفرة، أو أهل ذمة، أو مستأمنين فإنهم في كل هذه المسائل يحدون حد القذف على المذهب، لأنهم ليسوا من أهل الشهادة. فلم يقصدوا بقوله إلا القذف
jika suami menuduh istrinya berzina, maka dia dianggap qāḍif (orang yang menuduh zina), sehingga dikenakan ḥadd al-qazf (hukuman qadzaf), karena kesaksiannya atas zina istrinya tidak diterima oleh hakim untuk membuktikan tuduhan tersebut. Berdasarkan hal ini, jika yang bersaksi terhadapnya kurang dari empat orang laki-laki, maka semuanya dikenakan hukuman qadzaf, karena mereka termasuk qāḍif. Demikian juga jika yang bersaksi adalah empat wanita, atau budak, atau orang kafir, atau ahli dzimmah, atau orang yang mendapat jaminan keamanan (mustā’min), maka dalam semua kasus ini mereka dikenakan ḥadd al-qazf menurut mazhab, karena mereka bukan termasuk ahli syahādah. Maka maksud mereka dalam dalil tersebut hanyalah mengenai qazf saja. (Al-Jazīrī, ʿAbd al-Raḥmān. Al-Fiqh ʿalā al-Madhāhib al-Arbaʿah. Vol. 5, p. 206. Died. 1360 AH). Dan para ulama sudah sepakat bahwa perilaku nuduh zina ini termasuk dosa besar.
وفي اصطلاح الفقهاء: نسبة من أحصن إلى الزنا صريحا أو دلالة، فكأن القاذف وضع حجر القذف في مقدمة لسانه ورمى إلى المقذوف، والقذف من الكبائر بإجماع الأئمة.
Dalam istilah para fuqahā’ (ahli fiqh): menuduh seseorang yang bersuami atau bersuami-istri melakukan zina, baik secara langsung (ṣarīḥ) maupun secara isyarat (dalālah). Seolah-olah orang yang menuduh itu meletakkan batu qadzaf di ujung lidahnya dan melemparkannya kepada yang dituduh. Qadzaf termasuk dosa-dosa besar (kabā’ir) menurut kesepakatan para imam. (Al-Bināyah Sharḥ al-Hidāyah, p. 362, Bāb Ḥadd al-Qazf. Al-Maktabah al-Shāmilah).
Dan ini juga bukan hanya soal etika, tetapi menyangkut hak kehormatan (‘irdh) yang sangat dijaga dalam Islam. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa kehormatan seseorang sama sucinya dengan darah dan hartanya. Dari sisi hukum positif, tindakan semacam ini juga dapat dijerat dengan pasal-pasal tentang pencemaran nama baik, pelecehan, dan pelanggaran terhadap hak privasi dalam Undang-undang ITE.
Artinya, baik secara syariat maupun secara hukum negara, tindakan mengedit foto seseorang dengan maksud mempermalukan atau menimbulkan kesan seksual bukanlah candaan yang halal atau sah secara hukum. Fenomena “S Line” menunjukkan bahwa masyarakat digital masih sering mengabaikan batas antara humor dan tuduhan.
Padahal, dalam Islam, menjaga kehormatan orang lain adalah bagian dari menjaga kehormatan diri sendiri. Bagi saya mengedit, membagikan, atau sekadar ikut menertawakan hasil editan semacam itu berarti turut berperan dalam pelanggaran kehormatan seseorang.

