Salah satu rukun salat adalah tempatnya harus suci. Bukan hanya karena agar salatnya sah, tapi karena yang menjadi pertimbangan juga kekhusyukan. Nabi Muhammad Saw menyebut secara khusus beberapa lokasi yang tidak layak dijadikan tempat salat.
Sekalipun sebagian dari hadisnya tergolong lemah secara sanad, tapi ulama sudah mendukungnya dengan dalil-dalil yang lain. Dan itu sudah dijelaskan oleh ulama, dalam kitab-kitab fikih yang muktabar.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَيُّوبَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ جَبِيرَةَ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ يُصَلَّى فِي سَبْعِ مَوَاطِنَ: فِي الْمَزْبَلَةِ، وَالْمَجْزَرَةِ، وَالْمَقْبَرَةِ، وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ، وَالْحَمَّامِ، وَمَعَاطِنِ الْإِبِلِ، وَفَوْقَ الْكَعْبَةِ
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ibrahim ad-Dimasyqi, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid, dari Yahya bin Ayyub, dari Zaid bin Jubairah, dari Dawud bin al-Hushain, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, beliau berkata: “Rasulullah Saw melarang salat di tujuh tempat: di tempat sampah (al-Mazbalah), tempat penyembelihan (al-Majzarah), kuburan (al-Maqbarah), di tengah jalan (Qari’ah at-Tariq), kamar mandi (al-Hammam), di tempat berkumpulnya unta (Ma’atin al-Ibil), dan di atas ka’bah (Fawqa al-Ka’bah).” (al-Ḥalabī, Burhān al-Dīn Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn Khalīl (Sibṭ Ibn al-‘Ajamī). al-Ḥawāshī ʿalā Sunan Ibn Mājah. vol. 1, Dār Aṭlas al-Khaḍrāʾ, 2017, hlm. 392,).
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan Ibn Majah, no. 747. Namun hadis ini dinilai lemah oleh Syaikh al-Albani dalam Da‘if Sunan Ibn Majah, dan mendapat kritik secara teliti oleh Dr. Fadhil bin Khalaf al-Hammadah ar-Raqqi. Hadis serupa yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi, no. 346, juga dinilai lemah dalam Irwa’ al-Ghalil oleh al-Albani, no. 287.
Mereka memandang lemah lantaran ada Zaid bin Jubairah dalam jalur periwayatan. Namun penjelasan dari ulama klasik, seperti Sibth Ibnu al-‘Ajami sangat penting dalam memahami bagaimana ulama dulu memahami hadis-hadis seperti ini.
Misalnya dalam beristidlal, ulama langsung mengambil dari sisi makna umum syar’inya. Atau melihat apakah dari keseluruhan redaksi hadisnya itu ada yang sahih, atau tidak. Seperti ulama fikih klasik memandang, bahwa larangan salat di kuburan dan kamar mandi, itu hadisnya memang sahih.
Al-Mazlabah
Salat di atas atau dekat kuburan dilarang keras dalam syariat karena dua alasan. Pertama, karena kuburan adalah tempat setan bersemayam. Kedua, supaya terhindar dari kesyirikan, yaitu menjadikan kuburan sebagai sesembahan mereka. Dalam Sahih Muslim, Nabi Saw bersabda:
لا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا
“janganlah Kalian duduk di atas kuburan dan jangan salat menghadapnya.”(HR. Muslim, no. 972). Ulama seperti Imam an-Nawawi dalam al-Manhaj Syarh Sahih Muslim menjelaskan bahwa larangan ini bersifat tegas, karena menyerupai perilaku kaum musyrik dulu. Beliau berkomentar:
فيه تصريح بالنهى عن الصلاة إلى القبر قَالَ الشَّافِعِيُّ رحمه الله وَأَكْرَهُ أَنْ يُعَظَّمَ مَخْلُوقٌ حَتَّى يُجْعَلَ قَبْرُهُ مَسْجِدًا مَخَافَةَ الْفِتْنَةِ عَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ بَعْدَهُ مِنَ النَّاسِ
“Di dalamnya (hadis), terdapat penegasan larangan untuk salat menghadap kuburan. Imam Syafi’i berkata: “aku membenci jika ada makhluk yang diagungkan, sehingga kuburannya dijadikan sebagai masjid. Karena khawatir terjadi fitnah terhadap dirinya (yakni orang yang dikuburkan) maupun terhadap orang-orang setelahnya.” An-Nawawi, al-Minhāj Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin al-Ḥajjāj, Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, cet. 2, 1392 H, juz 7, hlm. 38.
Imam al-Shan’ani dalam Subul as-Salam juga ikut berkomentar bahwasanya salat di kuburan mengandung unsur tasyabbuh (penyerupaan) terhadap penyembah berhala. Karenanya, dilarang keras walaupun salatnya sendiri bisa sah jika memang terpenuhi syarat dan rukun, tetapi tetap berdosa jika sengaja dilakukan.
Al-Majzarah
Alasan sederhananya kenapa salat makruh di tempat penyembelihan, karena rentan terkena darah, dan ada bau tak sedap yang dapat mengganggu kekhusyukan. Dalam al-Majmu’ (juz 2), Imam an-Nawawi menyatakan bahwa najis yang pasti ada di tempat semacam ini tidak layak untuk salat.
Di samping itu, disebutkan bahwa tempat ini juga menjadi tempat setan berkumpul, karena banyaknya darah dan kotoran yang tercecer.
Sehingga, kalau misalnya, tempatnya itu bersih, suci dan tidak bau maka tidak ada problem. Sepertimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Utsaimin:
المَجْزَرَةُ: نَفْسُ الشَّيْءِ، غَالِبًا تَكُونُ مُنْتِنَةً، فِيهَا الدِّمَاءُ وَفِيهَا الأَوْسَاخُ وَفِيهَا الأَقْذَارُ، فَلَا تَلِيقُ الصَّلَاةُ فِيهَا. بِنَاءً عَلَى هَذَا، إِذَا كَانَتِ المَزْبَلَةُ وَاسِعَةً، وَجَوَانِبُهَا كُلُّهَا نَظِيفَةٌ، هَلْ يُصَلَّى فِيهَا أَوْ لَا؟ يُصَلَّى فِيهَا. وَكَذَلِكَ يُقَالُ فِي المَجْزَرَةِ: فِيهَا غُرَفٌ أَوْ حُجُرَاتٌ نَظِيفَةٌ، لَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ، لَكِنَّهَا دَاخِلَ المَجْزَرَةِ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ فِيهَا صَحِيحَةٌ
“Al-Majzarah pada umumnya memiliki bau yang tidak sedap, ada darah, kotoran, dan najis. Maka tidak layak untuk dijadikan tempat salat. Berdasarkan hal itu, jika sebuah tempat pembuangan sampah (mizyalah) sangat luas dan bagian-bagian sampingnya bersih seluruhnya, apakah boleh salat di sana atau tidak? Maka jawabannya: boleh salat di sana.
Demikianlan juga berlaku untuk majzarah, apabila ada ruangan atau kamar yang bersih dan tidak terdapat najis apapun, meskipun masih bagian dari bangunan majzarah, maka salat di ruangan itu tetap sah.” Al-‘Utsaimin, Fatḥ Dhī al-Jalāl wa al-Ikrām bi-Syarḥ Bulūgh al-Marām, Kairo: al-Maktabah al-Islāmiyyah li al-Nasyr wa al-Tawzī‘, cet. 1, 1427 H / 2006 M, juz 1, hlm. 520.
Al-Hammam
Terkait larangan salat di kamar mandi, didukung oleh hadis Nabi dalam Musnad Ahmad no. 14265 yang menyebut bahwa itu termasuk tempat setan. Imam al-Kasani dalam Bada’i al-Shana’i (juz 1, hlm.114) menyebutkan bahwa tempat seperti ini tidak memenuhi syarat thaharah tempat.
Yang keren itu argumen dari pendapatnya Ibnu Qudamah kenapa salat di tempat mandi itu dilarang, beliau menyatakan:
وَالْحَمَّامُ مَوْضِعُ الْأَوْسَاخِ وَالْبَوْلِ، فَنُهِيَ عَنْ الصَّلَاةِ فِيهَا لِذَلِكَ. وَتَعَلَّقَ الْحُكْمُ بِهَا وَإِنْ كَانَتْ طَاهِرَةً لِأَنَّ الْمَظِنَّةَ يَتَعَلَّقُ الْحُكْمُ بِهَا وَإِنْ خَفِيَتْ الْحِكْمَةُ فِيهَا، وَمَتَى أَمْكَنَ تَعْلِيلُ الْحُكْمِ تَعَيَّنَ تَعْلِيلُهُ، وَكَانَ أَوْلَى مِنْ قَهْرِ التَّعَبُّدِ وَمَرَارَةِ التَّحَكُّمِ، يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ هَذَا تَعْدِيَةُ الْحُكْمِ إلَى الْحُشِّ الْمَسْكُوتِ عَنْهُ، بِالتَّنْبِيهِ مِنْ وُجُودِ مَعْنَى الْمَنْطُوقِ فِيهِ، وَإِلَّا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ تَنْبِيهًا، فَعَلَى هَذَا يُمْكِنُ قَصْرُ الْحُكْمِ عَلَى مَا هُوَ مَظِنَّةٌ مِنْهَا، فَلَا يَثْبُتُ حُكْمُ الْمَنْعِ فِي مَوْضِعِ الْمَسْلَخِ مِنْ الْحَمَّامِ، وَلَا فِي وَسَطِهِ، لِعَدَمِ الْمَظِنَّةِ فِيهِ، وَكَذَلِكَ مَا أَشْبَهَهُ
“Pemandian adalah tempat kotoran dan air Seni. Maka dilaranglah salat di dalamnya. Larangan ini tetap berlaku sekalipun tempat tersebut tampak suci, sebab hukum dalam syariat kerap dikaitkan dengan dugaan kuat terjadinya najis atau penghinaan terhadap kesucian (mazinnah), meskipun hikmah atau alasan logis di baliknya tidak selalu terlihat secara jelas. Apabila sebuah hukum diberi alasan (‘illat), maka menetapkan hukum berdasarkan ‘illat itu lebih utama daripada sekadar menerima secara ta’abbudi dan penghakiman sewenang-wenang yang pahit. Yang menguatkan kebenaran pendekatan ini adalah larangan tersebut juga berlaku terhadap toilet (al-Husy) (yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam redaksi hadis) melalui metode tanbih (penegasan dengan analogi dari yang disebutkan), yang tentu hanya sah dilakukan apabila dalam kasus yang dianalogikan terkandung makna yang sama dengan yang diucapkan secara eksplisit. Jika tidak, maka itu bukanlah tanbih. Oleh karena itu, hukum larangan bisa dibatasi hanya pada bagian-bagian dari pemandian yang memang menjadi tempat yang dikhawatirkan adanya kotoran. Maka tidaklah berlaku larangan untuk salat di tempat yang bersih seperti bagian bilasan atau pertengahan bangunan pemandian yang tidak menjadi tempat najis, atau tempat yang serupa. Ibn Qudāmah, al-Mughnī, Kairo: Maktabat al-Qāhirah, cet. 1, 1388 H / 1968 M.juz 2, hlm. 53.
Ma’atin al-Ibil
Salat di tempat unta juga dilarang. Kalau ini bukan karena najisnya, tetapi karena alasan spiritual dan keamanan. Dalam hadis sahih riwayat Muslim (no. 360), Nabi Saw bersabda, “janganlah kalian salat di kandang unta karena itu tempat jin.” Kebanyakan ulama Hanbali, seperti dijelaskan oleh al-Bahuti dalam Syarh Muntaha al-Iradat (juz 1 halm. 108), menganggap najis unta tidak najis, karena Nabi pernah memerintahkan sekolompok orang dari ‘Uraynah untuk minum susu dan air kencing unta sebagai pengobatan (HR. Bukhari, no. 233; Muslim, no. 1671).
Tapi, alasan utama pelarangan salat di tempat unta adalah karena jin yang bersemayam di sana dan potensi gangguan dari sifat liar unta itu sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Taymiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa (Juz 21).
Qari’ah al-Thariq
Salat di jalan umum dilarang karena memang mengganggu kelancaran lalu lintas pejalan kaki (kalau sekarang pengendara juga masuk) dan rentan najis. Akan tetapi, jika seseorang salat di bagian jalan yang tinggi atau di pinggir dan tidak menghalangi orang, maka mayoritas ulama membolehkan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Kasani dalam Bada’i al-Shana’i’.
Dalam al-Mughni, Ibn Qudamah juga menyebutkan bahwa hal ini dimaafkan jika kondisi darurat. Asalkan tidak ada najis dan tidak menghalangi orang lain.
DI atas Ka’bah
Larangan salat di atas Ka’bah juga disebutkan dalam hadis, walau sanadnya lemah. Meski demikian, sebagian ulama tetap menganggap tidak layak, karena bertentangan dengan kehormatan Baitullah. Imam al-Suyuthi dalam al-Asybah wa al-Naza’ir menyatakan bahwa posisi di atas Ka’bah membuat seseorang tidak menghadap ke arah kiblat dengan sempurna, karena kiblat justru ada di bawahnya. Hal ini bisa mengganggu kesempurnaan pada niat dan arah salah.
Jadi, meski sebagian hadis larangan salat di tujuh tempat ini tergolong lemah, mayoritas ulama tetap memahaminya sebagai tindakan preventif untuk menjaga kesucian, kekhusyukan, dan adab dalam beribadah. Sebagaimana diuraikan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, tempat ibadah yang bersih, hening, dan penuh adab akan lebih mendekatkan hati kepada Allah. Sebaliknya, tempat yang hina, kotor, atau mengandung unsur syubhat dapat merusak ruh ibadah meski secara teknis tetap sah.

