Kuliahalislam. Azab (siksaan) merupakan pembalasan atau hukuman Allah bagi hamba-hamba-Nya yang melanggar peraturan-Nya atau hukuman-Nya. Istilah azab ini sering digantikan dengan istilah Ikab (Hukuman), walaupun sebetulnya terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Ikab dilihat dari sisi bahwa Allah akan menghukum perbuatan-perbuatan hamba-Nya, sedangkan azab dilihat dari sisi bentuk Ikab Allah itu sendiri. Dengan kata lain, Ikab adalah nama bagi hukuman Allah sedangkan azab adalah bentuk dari hukuman Allah.
Dalam Al-Qur’an terdapat tidak kurang dari 300 kata azab yang digunakan dalam berbagai keadaan seperti firman Allah yang artinya : ” Maka rasakanlah siksaan karena perbuatan yang telah kamu lakukan (Q.S 7:35) dan “Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zalim (musyrik) itu; rasakanlah olehmu siksaan yang kekal” (Q.S 10 :52).
Para ulama biasanya membagi azab dalam tiga tahapan yaitu pertama, ‘Azab ad-dunya (azab dunia) yaitu hukuman Allah yang terjadi dunia seperti yang terjadi pada sebagian umat sebelum datangnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Dan kedua, ‘Azab al-qabar (azab kubur) yaitu hukuman Allah yang terjadi di alam barzah (kubur) atau alam sesudah mati dan menjelang hari kiamat. Ketiga, ‘Azab al-akhirah (azab akhirat) yaitu hukuman Allah yang akan berlaku setelah umat manusia dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat.
Dalam kajian teologis terdapat perbedaan antara golongan Asy’ariah dan golongan Muktazilah mengenai human Allah di atas yaitu apakah hukuman Allah itu mesti dilakukan terhadap hamba-hamba-Nya yang melanggar perintah-Nya ataukah hal itu terserah kepada Allah saja.
Bagi golongan Asy’ariah yang melihat persoalan Itu dari sisi kekuasaan mutlak Tuhan, yaitu bahwa kekuasaan Tuhan tidak terbatas lagi Dia Maha berkehendak, maka sesuatu untuk menghukum atau tidak menghukum hamba-Nya yang melanggar perintah-Nya.
Bahkan ada hak Tuhan apabila Dia menghendaki sebaliknya. Artinya azab atau ikab Tuhan itu tidak tergantung pada pelanggaran manusia tetapi pada kehendak-Nya. Adapun golongan Muktazilah yang melihat persoalan Itu dari sisi keadilan dan kearifan Tuhan, menganggap bahwa selama pelaku pelanggar itu tidak bertobat maka Tuhan pasti menghukumnya. Hukuman ini pasti diberikan karena membiarkan orang berbuat salah apalagi memberi pahala bagi perbuatan yang salah itu, bertentangan dengan sifat keadilan Tuhan. Selain itu, menurut Muktazilah apa gunanya Tuhan melarang sesuatu tetapi tidak menindak pelanggaran terhadap sesuatu yang hilang-Nya sendiri.
Adapun mengenai sisa Allah di dunia bagi golongan Asy’ariyah hal itu tidak dapat terjadi bahkan telah terjadi sebagaimana disiarkan dalam Al-Qur’an tentang bencana-bencana yang menimpa sebagian bangsa sebelum Islam. Akan tetapi bagi golongan Muktazilah, hal tersebut lebih bersifat Majazi ( Ungkapan atau kiasan) daripada arti yang sebenarnya karena setiap kejadian di dalam alam semesta ini tidak terlepas dari sunnatullah atau hukuman Allah yang ditetapkan oleh Allah.
Sementara itu, dalam pelaksanaan siksa kubur yang pada dasarnya hanya berlandaskan pada beberapa hadis, karena secara jelas tidak disinggung di dalam Al-Qur’an terdapat perbedaan pemahaman di antara ulama baik pada ulama muktazilah maupun sesama ulama Asy’ariyah.
Dalam hal ini perbedaan tersebut terletak pada apakah ada siksa kubur atau tidak. bagi yang menganggap adanya siksa kubur juga timbul perdebatan apakah siksa kubur itu bersifat fisik atau rohani. Indonesia adanya pembacaan Talkin setelah mayat dikuburkan merupakan indikasi bahwa diantara muslim Indonesia ada yang ada yang meyakini adanya siksa kubur secara fisik.
Perbedaan apakah siksaan itu bersifat fisik atau rohani terjadi juga pada azab akhirat. Akan tetapi perbedaan ini bukan antara sesama kaum mencolok karena mereka umumnya beranggapan bahwa siksa di akhirat itu bersifat fisik, melainkan antara kaum Sufi dan kaum teolog.
Menurut kaum sufi yang berangkat dari keyakinan bawa fisik atau materi itu bersifat sementara, sebenarnya tidak ada kebangkitan jasmani. Yang ada hanyalah kebangkitan rohani. Dengan demikian kau masih saja nanti bagi hamba-hamba Tuhan yang melanggar peraturan-Nya juga bersifat rohani.
Adapun ayat-ayat dalam Al-Qur’an secara tegas menyatakan adanya kebangkitan secara fisik atau siksa fisik yang dijadikan dasar oleh kaum cilok diartikan oleh kaum muslimin sebagai pengertian yang bersifat Majazi. Selain itu menurut kaum Sufi, hal tersebut diperuntukkan bagi golongan awal yang masih mengalami hakikat dan hanya melihat sesuatu dari permukaan

